BORONG, BERITA FLORES- Isfridus Sota (54), warga Lingko Lolok, Desa Satar Punda, Kecamatan Lamba Leda, Kabupaten Manggarai Timur-Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) adalah seorang mantan buruh tambang mangan PT Arumbai Mangan Bekti-yang beroperasi selama puluhan tahun di wilayah administrasi Desa Satar Punda.
Isfridus mengakui, dirinya tetap miskin meskipun belasan tahun bekerja sebagai buruh tambang mangan di PT Arumbai Mangan Bekti yang kini berubah nama menjadi PT Istindo Mitra Manggarai. Perusahaan tersebut kata dia, telah melakukan eksploitasi tambang mangan di wilayah Desa Satar Punda sejak puluhan tahun silam.
“Saya bekerja salama 16 tahun di perusahaan tambang mangan. Mulai bekerja di perusahaan sejak tahun 1997 sampai tahun 2013, tetapi hidup kami tetap miskin,” kisah Isfridus saat ditemui awak media di pondok miliknya yang tak jauh dari kampung Lingko Lolok pada Kamis siang, 16 April 2020.
Pria empat anak itu mengungkapkan, dirinya mendapat upah sebesar Rp.2.400 saat mulai bekerja pada tahun 1997 silam. Kini, ia baru menyadari bahwa kehadiran perusahaan tambang mangan itu secara dominan membawa dampak buruk bagi lingkungan maupun kehidupan manusia dari pada dampak positifnya.
“Di samping saya bekerja di perusahaan Arumbai, saya juga belajar apa dampak positif dan apa dampak negatifnya. Ternyata banyak dampak buruk kehadiran perusahaan tambang,” beber dia.
Ia pun mengakui, kehadiran perusahaan tambang menciptakan deretan persoalan. Warga mengalami sejumlah persoalan baik persoalan sosial antarkampung, maupun antarkeluarga, bahkan deretan persoalan secara terus menerus muncul silih berganti karena kehadiran perusahaan tambang mangan di wilayah mereka sebelumnya.
“Demikian juga perselisihan antarkampung Satar Teu dengan Lingko Lolok akibat kehadiran perusahaan tambang mangan,” pungkas dia.
Warga Tolak Pabrik Semen
Dilaporkan sebelumnya, Pemerintah Kabupaten Manggarai Timur akan menghadirkan perusahaan pabrik semen PT Singa Merah bekerjasama dengan PT Istindo Mitra Manggarai. Kedua perusahaan itu akan mendirikan pabrik semen di Luwuk dengan sumber material seperti batu kapur dan batu putih dari kampung Lingko Lolok yang merupakan kampung bekas eksploitasi tambang mangan sejak puluhan tahun silam.
Merespon rencana pendirian pabrik semen, Isfridus Sota lansung menolak secara keras rencana Pemerintah Kabupaten Manggarai Timur itu. Bahkan, dirinya bersama warga lainnya bernama Bonefasius Uden telah menolak menerima uang down payment (DP) lahan warga sebesar Rp10.000.000 dari pihak perusahaan PT Singa Merah dan PT Istindo Mitra Manggarai.
Meskipun sebanyak 89 kepala keluarga (KK) di kampung Lingko Lolok telah menerima uang DP lahan sebesar Rp.10.000.000 dari total Rp.150.000.000 per KK yang akan diberikan kepada warga Lingko Lolok.
Baca: GMNI Soroti Polemik Pabrik Semen di Lamba Leda Manggarai Timur
Isfridus Sota dan Bonefasius Uden merupakan kedua sosok tokoh adat hebat yang secara konsisten menolak kehadiran perusahaan tambang semen di wilayah mereka meskipun awalnya sebanyak 5 orang namun 3 orang lainnya telah menerima uang DP dari perusahaan tambang swasta asal Tiongkok itu.
“Kami tetap menolak. Karena tanah ini tidak berkembang dan beranak pinak sementara manusia terus berkembang. Bila tanah kami dieksploitasi oleh perusahaan, di mana lagi kami tinggal,” cetus pria kelahiran 1966 itu.
Pada kesempatan itu juga, salah satu tokoh adat suku Lantar Lingko Lolok, Bonefasius Uden secara tegas menolak kehadiran pabrik semen di wilayah mereka. Menurut Bonefasius, tanah ulayat merupakan warisan para leluhur yang harus dirawat dan dijaga bentuk keasliannya dan tidak boleh diserahkan kepada perusahaan tambang. Selama ini, kata dia, kehadiran perusahaan tambang mangan sangat merusak lingkungan sekitar kampung mereka.
Lima Pilar Adat Manggarai Terancam
Bone Uden begitu ia akrab disapa menegaskan, pihaknya secara keras menolak rencana perusahaan PT Istindo Mitra Manggarai dan PT Singa Merah merelokasi warga kampung Lingko Lolok ke lokasi lain karena kampung itu merupakan warisan budaya yang sangat berharga dari para leluhur mereka.
“Prinsip kami, lima pilar adat Manggarai antara lain, pertama; natas bate labar beo bate elor (halaman kampung), kedua; gendangn onen (rumah adat dilengkapi alat musik khas Manggarai), ketiga; lingkon pe’ang (tanah ulayat), ke empat; wae bate teku (sumber air minum), kelima; compang beo (mesbah benteng pertahanan) harus dipertahankan,” tegas Bone kepada awak media saat ditemui di pondok miliknya yang tak jauh dari Lingko Lolok pada Kamis, 16 April 2020.
Ia menegaskan, lima pilar adat Manggarai di kampung Lingko Lolok tidak boleh dipandang enteng oleh siapa pun. Para leluhur terang dia, akan marah kepada warga kampung apabila mengikuti kemauan perusahaan tambang untuk direlokasi. Maka dari itu, pihaknya secara konsisten menolak keras kehadiran perusahaan tambang PT Singa Merah dan PT Istindo Mitra Manggarai di kampung bersejarah itu.
Bone pun mengungkapkan, kehadiran perusahaan tambang di lokasi itu dapat merusak kehidupan warga setempat. Bahkan menambah pencemaran lingkungan akibat aktivitas pertambangan sebelumnya. Menurut mantan buruh tambang mangan itu, kehadiran perusahaan tambang malah akan membawa masalah utama karena aktivitas pertambangan tidak bisa mengatasi persoalan ekonomi masyarakat. Ia pun meminta Pemerintah Kabupaten Manggarai Timur untuk mendorong warga bertani dan beternak secara profesional bukan membawa tambang pabrik semen ke Lingko Lolok.
“Memang awalnya perusahaan meminta persetujuan kepada warga secara santun, setelah itu perusahaan tekan warga dengan kekuatan uang yang mereka miliki nantinya. Setelah itu warga yang kocok lime (permohonan belas kasihan-red) ke perusahaan. Ibu-ibu kalau mau kerja kita kocok lime terlebih dahulu, kalau tidak perusahaan tidak mau terima jadi pekerja,” ungkap Bone penuh kecewa.
Usai menemui Isfridus Sota dan Bonefasius Uden di kebun milik mereka, awak media pun melanjutkan perjalanan melakukan pemantauan lokasi bekas tambang mangan di Lingko Neni. Sementara jarak dari kampung Lingko Lolok menuju lokasi itu sekitar 4 kilometer ditempuh dengan waktu sekitar 30 menit dengan menggunakan sepeda motor.
Pantauan wartawan pada Kamis sore, 16 Kamis April 2020 sekitar pukul 17.00 waktu setempat bahwa, sejumlah lokasi sepanjang jalan menuju Lingko Neni itu dihiasi bekas penggalian tambang mangan. Kira-kanan jalan dipenuhi batu cadas mulai dari batu berukuran kecil hingga batu berukuran besar. Lubang besar pun masih menganga di beberapa lokasi tanpa dilakukan reboisasi oleh perusahaan tambang mangan.
Kondisi terparah terdapat di Lingko Neni, Sirise bekas eksploitasi tambang milik PT Arumbai Mangan Bekti kini berubah nama menjadi PT Istindo Mitra Manggarai. Lokasi ini terdapat beberapa jurang yang cukup dalam akibat penggalian tambang mangan. Bahkan, hingga saat ini tidak ditumbuhi rumput meski sudah memasuki musim hujan. Bekas pos penjagaan petugas dan peralatan tambang bak kota mati dibiarkan begitu saja. Sungguh menyeramkan kondisi di lokasi bekas eksploitasi tambang mangan itu.
Secara terpisah, seorang warga Lingko Lolok Vitalismus Seldi mengakui bahwa dirinya telah menerima uang DP lahan sebesar Rp.10.000.000 dari perusahaan tambang PT Istindo Mitra Manggarai dan PT Singa Merah.
“Benar. Kami sudah menerima uang kompensasi sebesar Rp.10.000.000 dari perusahaan tetapi bukan uang DP lahan,” ujarnya.
Vitalis begitu ia akrab disapa mengisahkan, awalnya saat bersosialisasi di rumah adat, pihak perusahaan berjanji tidak akan merelokasi kampung Lingko Lolok. Mereka hanya bersosialisasi akan mendirikan perusahaan pabrik semen di Luwuk dengan sumber material batu kapur diambil dari kampung Lingko Lolok.
“Pihak perusahaan juga berjanji apabila kampung Lingko Lolok terkena dampak, maka mereka akan menyediakan hunian baru bagi warga tetapi tempatnya belum ditentukan,” papar dia.
Baca: Strategi Perampasan Sumber Daya dan Kewenangan Desa di Satar Punda
Perusahan itu pun ungkap dia, berjanji Lingko Lolok akan dijadikan bangunan museum bersejarah. Pihak perusahaan mengklaim, jelas dia, kampung mereka juga bakal dibangun tembok keliling untuk melindungi kampung tersebut agar tetap terjaga keasliannya.
Vitalis menegaskan, meskipun dirinya telah menerima uang DP lahan sebesar Rp.10.000.000 dari perusahaan, namun ia secara tegas menolak apabila kampung Lingko Lolok direlokasi. Karena menurut dia, pihak perusahaan awalnya berjanji bahwa tidak melakukan relokasi kampung bersejarah itu.
“Awalnya, perusahan mengatakan tidak akan merelokasi kampung. Tetapi akhir-akhir ini malah kampung akan direlokasi. Karena itu kami tolak,” kata dia.
Sementara itu, hingga berita ini dirilis, pihak perusahaan PT Istindo Mitra Manggarai dan PT Singa Merah belum berhasil dikonfirmasi. Meski awak media telah berupaya mendatangi kantor kedua perusahaan itu yang terletak di Reo, ibu kota Kecamatan Reok, Kabupaten Manggarai, namun pimpinan kedua perusahaan tersebut tidak ada di tempat.
“Pimpinan perusahaan tidak ada di tempat pak,” ujar seorang pegawai keamanan di kantor itu. (R11).