Oleh: Petrus Selestinus
Penulis adalah Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI)
BERITA FLORES — Minuman Keras (Miras) NTT (Moke, Sopi dan/atauTuak) akhir-akhir ini semakin populer dalam perbincangan publik NTT dan menjadi viral di Media Sosial lantaran Gubernur Provinsi NTT Viktor B. Laiskodat mencanangkan akan melegalkan miras asal NTT. Namun dalam waktu yang bersamaan maksud baik Gubernur Viktor Bungtilu Laiskodat untuk melegalkan miras, terjadi operasi yustisi berupa penindakan dari aparat Polri dan Satpol PP merampas peredaran Miras di sejumlah tempat (Manggarai Barat, Flores Timur) di Pasar tradisional.
Padahal miras (moke, tuak atau sopi) adalah produk pengetahuan dan teknologi tradisional yang menjadi bagian terpenting di dalam ritual adat sebagai ekspresi budaya tradisional orang NTT. Ini adalah bagian dari ekspresi budaya tradisional orang NTT yang telah lama mendapat pengakuan dari Hukum Adat dan diperkuat oleh UUD 1945 dan berbagai perundang-undangan lainnya dan terakhir dengan UU Nomor 5 Tahun 2017, Tentang Pemajuan Kebudayaan.
Miras NTT dan juga di tempat lain adalah produk dari pengetahuan dan teknologi tradisional leluhur orang NTT, usianya sudah sangat tua bahkan dalam Undang-Undang miras masuk dalam kategori objek pemajuan kebudayaan yang berasal dari “pengetahuan tradisional” dan “teknologi tradisional”. Generasi milenial tidak mengetahui secara pasti sejarah miras di NTT, tidak diketahui secara pasti sejak kapan nenek moyang kita di NTT mulai memiliki penegtahuan tradisional dan mengembangkan teknologi tradisional untuk selanjutnya dijadikan sebagai bahan untuk dikonsumsi dalam ritual-ritual adat sebagai bagian dari ekspresi budaya tradisional atau kehidupan tradisional sehari-hari. Miras kemudian menjadi simbol dalam ekspresi budaya tradisional masyarakat dan menjadi bagian vital dalam tatakrama kehidupan masyarakat NTT sehari-hari.
Konstitusionalitas Miras (Tuak, Moke, Sopi) dan Peredarannya di NTT
Jika kita memperhatikan proses pembuatan miras mulai dari mengambil nira di atas pohon lontar, enau atau kelapa hingga proses penyulingan untuk mendapatkan alkoholnya dengan peralatan yang sangat sederhana (tungku dari batu-batu, periuk tanah, bambu, lilitan daun untuk menutup rapat mulut periuk dan bambu yang dipasang untuk menyalurkan uap panas ketika dimasak dengan kayu bakar), hingga mendapatkan tetesan alkohol dengan takaran tertentu menggunakan sepotong bambu sebagai alat ukur kadar alkohol, maka serangkaian proses untuk menghasilkan “miras” ini, menggambarkan bahwa para leluhur kita sejak awal telah memiliki pengetahuan tradisional dan menguasai teknologi tradisional dengan logika tinggi, tanpa menggunakan panduan peralatan canggih.
Pertanyaannya, dari mana nenek moyang kita menemukan pengetahuan tradisional untuk membuat miras, siapa yang memberikan mereka pelajaran Ilmu atau tekonologi tradisional menyuling nira (tuak putih) untuk mendapatkan alkohol dengan kadar alkohol tertentu dan terukur dengan peralatan tradisional kemudian diwariskan terus menerus hingga ke generasi sekarang. Tidak banyak orang yang tahu atau tidak ada seorangpun dari kita yang tahu mengenai siapa penemu dan kemudian mengembangkan proses pembuatan miras NTT hingga diwariskan sampai kepada generasi milenial saat ini. Namun demikian miras NTT telah mendapatkan pengakuan di dalam Hukum Adat sebagai salah satu menu utama dalam setiap pesta adat dan ritual adat, karena secara terus menerus dan diwariskan secara komunal pada generasi berikutnya untuk dijadikan sebagai bagian dari kebiasaan hidup masyarakat adat hingga mendapatkan pengakuan di dalam UUD 1945 sebagai kearifan lokal yang harus dilindungi.
Berdasarkan ketentuan pasal 18B ayat (2) UUD 1945 dan beberapa pasal lainnya dengan tegas mengatakan bahwa “negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya dstnya.”, kemudian pengakuan itu dipertegas lagi dalam ketentuan UU No. 5 Tahun 2017, Tentang Pemajuan Kebudayaan, maka proses pembuatan miras NTT, peredarannya dan budaya meminum moke merupakan perbuatan yang sejak dahulu kala mendapat perlindungan dari hukum adat dan kemudian mendapat pengakuan di dalam UUD 1945 serta diperkuat kembali melalui UU No. 5 Tahun 2017, Tentang Pemajuan Kebudayaan. Ini merupakan bagian dari obyek pemajuan kebudayaan sekaligus merupakan ekspresi budaya tradisional yang mendapat pengakuan dan perlindungan dari negara, bahwa negara melindungi kesatuan-kesatuan hukum masyarakat adat dan hak-hak tradisionalnya dstnya.
Konstitusionalitas proses menghasilkan produksi miras dengan beragam kadar alkohol, berbeda cita rasa dan warna tergantung pada daerah asal Kabupaten pembuatanya dan asal usul bahan baku niranya dari pohon apa, hal itu telah dijamin oleh Hukum Adat dan diperkuat oleh UUD 1945. Dengan demikian pernyataan sejumlah pihak tentang “melegalkan” miras meskipun dengan tujuan baik, akan tetapi istilah melegalkan itu menjadi tidak tepat bahkan menghina, karena berimplikasi menempatkan Moke, Tuak atau Sopi yang dikonsumsi selama ini sebagai barang ilegal sehingga membawa konsekuensi merendahkan budaya NTT, seolah-olah selama ini masyarakat NTT memproduksi miras ilegal hingga mengkonsumsi miras (moke, sopi, tuak) yang ilegal yang diperdapatkannya melalui cara-cara melanggar hukum sehingga berimplikasi kepada penguasaan dan peredarannya di pasar bahkan pada ritual-ritual adat menjadi barang terlarang.
Produk Pengetahun dan Teknologi Tradisional yang Sah
Miras (Moke, Sopi dan Tuak) adalah produk hasil olahan pengetahuan dan teknologi tradisional warisan nenek moyang yang merupakan buah dari ide, gagasan dalam masyarakat yang mengandung nilai-nilai setempat sebagai hasil pengalaman nyata dalam berinteraksi dengan lingkungan, pemilikan dan pewarisannya secara komunal, diakui, dirawat bahkan dijadikan sebagai salah satu menu wajib dalam setiap pesta atau pertemuan adat keluarga baik dalam skala besar maupun skala kecil, baik acara resmi maupun tidak resmi. Karena itu miras yang tumbuh dan berkembang di NTT jangan dipandang sebagai sebuah menu pelengkap hanya dari sudut kuliner apalagi sebagai produk ilegal, akan tetapi ia mempunyai nilai magis dalam ritus upacara adat, ia bahkan merupakan salah satu unsur terpenting dalam setiap aktivitas ekspresi budaya tradisional masyarakat NTT dalam kehidupan ritus sehari-hari.
Munculnya operasi penindakan atas penjualan moke di pasar-pasar tradisional akhir-akhir ini yang dilakukan oleh aparat Kepolisian di beberapa Kabupaten, dimana polisi menyita dan merampas miras yang diperjualbelikan di pasar tradisional, dalah tindakan yang bersifat menghina budaya NTT, oleh karena miras bagi masyarakat NTT tidak sekedar alat untuk memenuhi kebutuhan ekonomi tetapi labih daripada itu miras adalah bagian dari ekspresi budaya tradisional yang dilindungi oleh Hukum Adat dan UUD 1945. Dengan demikian tindakan kepolisian berupa penyitaan, perampasan dan pemusnahan terhadap miras NTT adalah perbuatan melawan hukum yang sangat merugikan dan melukai harga diri dan martabat orang NTT, menghina tradisi budaya Masyarakat NTT, karena Hukum Adat, Konstitusi 45 dan Hukum Nasional tidak melarang tindakan memproduksi, mengkonsumsi, jual beli di pasar atau di kios-kios demi memenuhi kebutuhan ekonomi masyarakat dan ekspresi budaya masyarakat.
Generasi Milenial Wajib Lindungi
Generasi Milenial memiliki kewajiban konstitusional untuk menjaga dan melestarikan tradisi budaya yang menjadi objek pemajuan kebudayaan, karena Hukum Adat dan Konstitusi 45 kita memberikan pengakuan dan jaminan berikut biayanyapun dijamin oleh Pemerintah emalui APBN dan APBD. Konsekuansi yuridis dari pengakuan negara sebagaimana tertera dalam UUD 1945, maka negara telah menempatkan kebudayaan sebagai investasi untuk membangun masa depan dan peradaban bangsa demi terwujudanya tujuan nasional sebagaimana diamanatkan oleh UUD 1945. Oleh karena itu keberagaman kebudayaan daerah merpakan kekayaan dan identitas bangsa yang sangat diperlukan untuk memajukan kebudayaan nasional di tengah dinamika perkembangan dunia. Termasuk dapat dijadikan sebagai kekuatan penangkal paham radikal yang mencoba mengamputasi empat pilar bangsa khususnya Bhineka Tunggal Ika.
Jika pemerintah menyatakan akan melegalkan miras, maka pertanyaannya adalah, apakah konstitusionalitas miras NTT selama ini tidak ada, apakah miras yang memenuhi kebutuhan tradisi masyarakat NTT selama ini adalah produk ilegal yang disetarakan dengan narkoba, hukum mana yang dijadikan acuan ketika miras diposisikan sebagai barang terlarang. Jika pemerintah ingin meningkatkan kualitas produksi miras, baik kadar alkoholnya maupun kemasannya, maka nomenklaturnya bukan melegalkan tetapi mengubah kemasan dan brandingnya agar lebih keren dan elok dalam rangka meningkatkan produksivitas dan kualitas olahan dan pemasarannya demi melestarikan pengetahuan tradisional, teknologi tradisional, adat istiadat ll., melalui ekspresi budaya tradisional orang NTT karena produksi miras merupakan obyek pemajuan kebudayaan yang mendapat pengakuan dan perlindungan hukum dari Hukum Adat, UUD 1945 dan UU Pemajuan Kebudayaan.
Oleh karena itu, aparat Kepolisian dan Satpol PP di seluruh NTT supaya berhentilah melakukan operasi Yustitie atau langkah penindakan berupa merampas miras yang sedang diperjualbelikan di pasar, kemudian menghancurkan atau memusnahkan seluruh miras hasil rampasan tanpa mempertimbangkan kerugian masyarakat, nilai ekspresi budaya tradisional dari miras dan tanpa mempertimbangkan dasar hukum atau konstitusionalitas dari miras itu sendiri. KUHP hanya melarang setiap orang yang meminum miras sampai mabuk dan mengganggu ketenteraman umum, termasuk tidak boleh mengemudikan kendaraan bermotor. Mari kita jaga bersama kearifan lokal dan semua obyek kebudayaan dalam rangka penguatan ekspresi budaya tradisional di seluruh NTT, karena kebudayaan adalah investasi bangsa untuk kesejahteraan umum dan memperkokoh peradaban bangsa.