Oleh Alfred Tuname*
Pileg 17 April 2019 sudah dekat. Para caleg (calon anggota legislatif) mulai ketar-ketir. Bukan hanya “the new comers”, caleg “petahana” (:yang masih duduk sebagai anggota dewan) tampak tak tenang. Alasannya, siapa saja punya “chance” untuk merebut kursi anggota dewan terhormat. Semoga “rabu” itu tidak kelabu.
Untuk itu, tak ada caleg yang duduk manis. Janji manis bukan lagi jualan politik yang ideal. Baliho dan stiker bukan senjata utama keterpilihan. Itu hanya berfungsi sebagai “ucapan salam” kepada masyarakat dari para caleg.
Di jalanan, dijumpai bukan hanya barisan baliho, tetapi juga mobil-mobil berstiker caleg beseliweran. Semua itu pertanda “17 April” sudah dekat, dan pesta demokrasi sedang berlangsung.
Suasana “pesta” politik itu sangat terasa di kampung-kampung. Ada mobilisasi massa. Ada sekumpulan massa. Kadang, massa yang sama dimobilisasi untuk mendengarkan kampanye para caleg.
Para caleg, mobilisasi itu tanda-tanda kesuksesan. Bagi timsukses, itu berarti berhasil. Bagi masyarakat, tak ada “makan siang gratis”. Semuanya bermakna ada biaya politik (political cost) yang tak sedikit. Itu biasa dalam politik. Asal, tidak terjebak dalam politik uang.
Jebakan dalam kampanye politik terjadi apabila caleg “menjual” caleg lain. Gosip dan isu tak sedap dimaksudkan untuk menjatuhkan caleg lain. Hal-hal pribadi yang remeh-temeh pun diungkit kembali untuk menundukan lawan politik.
Kampanye ad hominem tersebut, sesungguhnya, adalah “sejata makan tuan”. Bukannya meraih simpati, caleg yang berkampanye ad hominen itulah yang justru mendapat cibiran. Antipati-lah yang didapatkan.
Antipati itu ada karena masyarakat sudah mengerti politik. Pemahaman politik masyarakat terus bertambah seiring pesta demokrasi terus diadakan (Pilkades, Pilkada, Pilpres dan Pileg). Pada masyarakat pemilih yang paling primordial sekali pun, gossip dan isu negatif tidak akan berpengaruh pada pilihan.
Di benak publik, kampanye itu komunikasi politik. Komunikasi berarti dialogis. Isinya, pendidikan dan pencerahan politik. Di sini, rasionalitas politik berbanding lurus dengan tingkat elektabilitas caleg. Semakin logis berkampanye, semakin tinggi pula tingkat keterpilihannya.
Jadi, adalah sebuah anomali politik apabila masih ada caleg yang bermain di zona black campaign. Masyarakatnya sudah maju, tetapi calegnya masih kolot secara politik. Ketika zaman menuntut integritas dan kecerdasan dalam berpolitik, caleg malah menawarkan otot dan modal feodalistik.
Buruknya lagi, apabila ada Panitia Pengawas Lapangan-PPL (:petugas Panwas di desa) yang ikut “bermain”. Apalagi Panwas itu bukannya menjamin keamanan kampanye, malah menjadi “jubir” atau timsukses caleg-caleg tertentu. Misalnya, memberhentikan kegiatan caleg bukan atas perintah undang-undang, tetapi perintah caleg-caleg tertentu.
Demokrasi desa menjadi kian kisruh dengan hadirnya oknum petugas yang tak berintegritas seperti itu. Kadang bukan karena tidak berintegritas, tetap petugas Panwas itu kurang baca dan paham aturan.
Akibatnya, rusak “susu” demokrasi se-desa sebab “setitik nila” petugas Panwas yang tak paham aturan. Jika tak paham aturan, sebaiknya petugas Panwas melakukan pendekatan dialogis, bukan tegas tanpa dasar. Atau, apabila petugas itu benar-benar tidak netral, warga berhak melapornya ke lembaga di atasnya (:Panwascam, Bawaslu Kabupaten).
Itu disebut pengawasan partisipatif. Bahwa semua pihak bertanggung jawab membidani Pileg yang demokratis. Dengang begitu, para anggota dewan yang terpilih adalah politisi-politisi yang benar-benar terhormat, berintegritas dan berpihak untuk rakyat.
Nah, pola kampanye mesti mendukung terciptanya keyakinan akan politisi pro-rakyat, berintegritas dan terhormat itu. Cukup menggunakan perkakas aturan dan etika, masyarakat sudah bisa menilai dan memilah. Itu dasar keterpilihan.
“Election outcomes are not simply the residue of campaign quality plus a dose of chance”, tulis dua profesor politik Robert S. Erikson And Christopher Wlezien (2012). Tentu saja, track record dan persiapan matang juga ambil bagian dalam kesuksesan berpolitik. Bijaknya, siapa yang menabur, dia-lah yang menuai.
Jadi, kampanye hanyalah penegasan. Kampanye-lah dengan santun. Biarkan rakyat yang memilah dan memilih. Optimisme itu penting, asal mawas.
Politik itu berat, caleg perlu punya ‘dua jantung”!
*) Penulis dan Esais