Oleh: Petrus Selestinus
Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI)
BERITA FLORES–Perjalanan kampanye Cawapres Sandiaga Uno ke NTT pada 24-26 Februari 2019 merupakan perjalanan “kontroversi”, “paradoksal” dan menjadi “kontra produktif”, dilihat dari aspek kepentingan pasangan Capres-Cawapres Prabowo Subianto-Sandiaga Uno. Mengapa? karena visi dan misi yang melekat pada Paslon Prabowo-Sandi berbeda dengan visi masyarakat NTT yang sangat “toleran, menjaga pluralitas, harmonis dan berdampingan secara damai serta berkomitmen untuk keabadian Pancasila, NKRI, Bhineka Tunggal Ika dan UUD 1945.
Oleh karena itu, safari politik Sandiaga Uno ke NTT menjadi kontroversi, paradoksal dan sia-sia belaka, sekalipun didukung Gerindra, PAN, PKS dan Demokrat, karena partai-partai politik dimaksud-pun ternyata adalah pendukung HTI (Hizbut-Tahrir Indonesia). Dengan demikian maka, kedatangan Sandiaga Uno ke NTT tidak memberikan nilai tambah apapun dalam pendidikan politik bagi para kader partai dan simpatisannya di NTT.
Sikap politik nasional dari Gerindra, PAN, PKS dan Partai Demomrat selama ini jelas mendukung keberadaan HTI sebagai ormas radikal dan intoleran terutama dalam mendukung perjuangan HTI mengganti ideologi pancasila dengan khilafah islamiyah, sekaligus hendak membubarkan NKRI, Bhineka Tunggal Ika dan UUD 1945 sebagai empat pilar bangsa. Padahal, eksistensi HTI sebagai ormas sudah dibubarkan oleh pemerintah karena terbukti dalam aktivitas keormasannya bertentangan dengan pancasila bahkan hendak menggantikan ideologi pancasila. Begitu juga dengan sikap politik para pengurus HTI dan FPI serta para tokoh yang tergabung dalam GNPF-MUI/GNPF-Ulama 212, secara penuh memberikan dukungan bagi pasangan Calon Presiden-Wakil Presiden Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, sehingga telah memberi stigma buruk bagi pasangan Calon Presiden-Wakil Presiden Prabowo Subianto-Sandiaga Uno sebagai pendukung radikalisme dan intoleransi.
Prabowo Subianto dan Khilafah
Apabila melihat dari sudut kepentingan strategis warga NTT, kedatangan Cawapres Sandiaga Uno ke NTT merupakan, sebuah kunjungan yang kontra produktif, paradoksal dan kontroversial sehingga tidak akan memberikan pendidikan politik yang baik bagi masyarakat NTT. Lebih dari itu, karena membawa agenda gerakan tagar #2019GantiPresiden#, yang selama ini merupakan agenda dari kelompok HTI, FPI dan sebagainya. Gerakan tersebut pun didukung oleh Gerindra, PAN, PKS dan Demokrat. Paslon Prabowo Subianto-Sandiaga Uno juga mendapat dukungan penuh dari kelompok radikal dan intoleran (anggota dan pengurus HTI dan FPI) yang dalam aktivitas politik dan keormasannya berjuang untuk menggantikan ideologi pancasila dengan ideologi khilafah islamiyah.
Karena itu, kunjungan Cawapres Sandiaga Uno ke NTT menjadi kontra produktif dan sama sekali tidak membawa manfaat politik dalam pendidikan politik yang baik bagi warga NTT. Sebab, ciri khas masyarakat di NTT sangat toleran, pluralis dan berkomitmen penuh untuk menjaga dan mempertahankan NKRI, Pancasila, Bhineka Tunggal Ika dan UUD 1945. Agenda dengan gerakan tagar #2019GantiPresiden# adalah agenda “makar” karena hendak menggantikan Presiden Jokowi di luar mekanisme konstitusi. Padahal secara konstitusi kita sedang berada dalam konteks dan proses memilih Presiden dan Wakil Presiden 2019 yang tinggal beberapa minggu lagi dan bukan hendak mengganti Presiden 2019 tanpa melalui amanat konstitusi.
Memilih Presiden dan Wakil Presiden Bukan Ganti Presiden
Di dalam UUD 1945 ada 3 (tiga) nomenklatur terkait kekuasaan pemerintahan negara mengenai kekuasaan Presiden, yaitu Presiden dan Wakil Presiden dipilih secara langsung, Presiden dan Wakil Presiden diberhentikan dalam masa jabatannya dan Presiden digantikan oleh Wakilnya. Kita saat ini berada pada proses memilih Presiden dan Wakil Presiden menurut pasal 6A UUD 1945, di mana hanya ada dua pasangan calon yaitu pasangan Calon Presiden-Wakil Presiden Jokowi-Ma’ruf Amin dan pasangan Calon Presiden-Wakil Presiden Prabowo Subianto-Sandiaga Uno yang akan dipilih melalui pemilu 2019. Oleh sebab itu, gerakan dengan tagar #2019GantiPresiden# adalah gerakan inkonstitusional sebagai upaya makar terhadap kekuasaan Presiden Jokowi.
Maka dari itu, gerakan tagar #2019GantiPresiden# meskipun istilah “ganti presiden” dikenal di dalam UUD 1945, akan tetapi persoalan “ganti presiden” itu adalah pergantian terhadap Presiden RI yang sedang berkuasa melalui mekanisme konstitusi yang sepenuhnya menjadi wewenang MPR RI, bukan pada akhir masa jabatan seorang Presiden melalui proses Pemilu. Dengan demikian “ganti presiden” hanya terjadi kalau pada saat ini Presiden Jokowi mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya, ia digantikan oleh Wakil Presiden sampai habis masa jabatannya (pasal 8 UUD 1945), itu pun kewenangan konstitusionalnya di tangan DPR RI, MK dan MPR RI, bukan di tangan Prabowo Subianto, Sandiaga Uno, Rizieq Shihab, HTI, FPI ataupun Partai Gerindra, PAN, PKS dan Partai Demokrat.
Untuk itu, gerakan tagar #2019GantiPresiden# memberi pesan kuat bahwa selama 2019 atau seandainya Presiden terpilih dalam Pemilu 2019 nanti adalah Jokowi, maka upaya inkonstitusional untuk mendongkel Jokowi dari kursi kekuasaan Presiden hasil pemilu 2019, berpotensi terus menerus terjadi dan akan selalu dicoba dilakukan manakala Gerindra, Demokrat, PAN dan PKS dalam pemilu 2019 memperoleh kursi signifikan di DPR RI.
Upaya ganti presiden dengan gerakan tagar #2019GantiPresiden# akan terus menerus berlanjut mengingat kekuatan penggerak tagar #2019GantiPresiden# berada pada kelompok HTI, FPI dan ormas intoleran lainnya saat ini menjadi pendukung setia paslon Capres-Cawapres Prabowo Subianto-Sandiaga Uno dan dukungan dari Partai Gerindra, PAN, PKS dan Demokrat.
Stigma Prabowo-Sandi: Radikalisme dan Intoleransi
Stigma yang melekat bahkan menjadi label pasangan Calon Presiden-Wakil Presiden Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, adalah karena didukung penuh oleh masa dan tokoh HTI, FPI. Mereka dikenal intoleran dan radikal dengan agenda utama ganti ideologi pancasila. Pola hubungan saling mendukung antara partai politik pengusung Capres-Cawapres Prabowo Subianto-Sandiaga Uno (Gerindra, PAN, PKS dan Demokrat) dengan aktif mendukung upaya HTI mempertahankan eksistensinya melalui upaya hukum/gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (TUN) Jakarta hingga Mahkamah Agung, menyebabkan kunjungan Sandiaga Uno ke NTT justru berpotensi merugikan masyarakat NTT. Bahkan sangat berpotensi mengganggu kerukunan dan toleranasi masyarakat NTT yang plural dan saling berdampingan secara damai, selama ini.