Oleh : Ferdy Hasiman
Peneliti Pada Alpha Resarch Database, Indonesia
Pemerintah Indonesia resmi mengontrol mayoritas (51.23) persen saham perusahaan yang menambang tembaga dan emas di Grasberg, Papua, PT Freeport Indonesia. Ini ditandai dengan tuntasnya pembayaran divestasi Freeport senilai US$3.85 miliar oleh holding BUMN tambang, PT Indonesia Asahan Alumina (INALUM). Dari total saham sebesar 51,23 persen, INALUM kemudian mengontrol 41,23 persen dan 10 persen sisanya dikontrol Pemerintah Daerah Papua.
Saham Pemerintah Daerah Papua akan dikelola perusahaan khusus, PT Indonesia Papua Metal dan Mineral (IPPM) yang 60 persen sahamnya dimiliki INALUM dan 40 persen milik BUMD Papua. Mekanisme ini sangat tepat, untuk menghindari penjualan saham Freeport oleh Pemda ke perusahaan swasta nasional, seperti dalam divestasi 24 persen saham Newmont Nusa Tenggara.
Pemerintah kemudian menerbitkn Ijin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) dengan catatan, perpanjangan kontrak sampai tahun 2041, wajib membangun smelter tembaga dan jaminan kepastian fiskal dan investasi bagi Freeport. Perpanjangan kontrak sampai tahun 2041 masuk akal, karena INALUM masih membutuhkan Freeport mengolah tambang underground yang berteknologi dan infrastruktur canggih.
Perpanjangan kontrak penting, karena Freeport akan mengeluarkan dana senilai US$20 miliar untuk pembangunan tambang underground dan pembangunan smelter tembaga di Gresik, Jawa Timur senilai US$2.3 miliar. Tanpa perpanjangan kontrak, Freeport tak akan mengeluarkan dana investasi yang berdampak pada perekonomian nasional-daerah, seperti lapangan kerja dan penerimaan negara. Dengan menerbitkan IUPK, rejim Kontrak Karya (KK) Freeport yang dirancang pada jaman Orde Baru yang dipandang merugikan negara berakhir.
Tak Menunggu Kontrak Berakhir?
Debat seputar divestasi Freeport tanpa memahami KK adalah debat kosong. Pihak yang beroposisi dengan pemerintah Jokowi membangun opini dengan logika yang lepas dari konteks sejarah KK Freeport. Bagi mereka, untuk apa INALUM membayar Rp 54 triliuan untuk mendapat saham Freeport.
Sementara jika KK Freeport berakhir tahun 2021, pemerintah akan mendapat konsensi tambang Grasberg dengan zero price, karena setiap tambang yang berakhir kontraknya harus dikembalikan kepada negara, seperti nasionalisasi blok Mahakam di Kalimantan Timur dari perusahaan Prancis, Total E&P ke Pertamina. Di blok Mahakam, Total memegang kontrak bagi hasil Producing Sharing Contract (PSC), sementara, Freeport memiliki payung hukum KK yang tentu sangat berbeda dengan bagi hasil di sektor minyak dan gas.
Sejak mulai beroperasi di Indonesia, Freeport adalah Perseroan Terbatas (PT) yang memiliki aset dan terus bertambah seiring penemuan wilayah-wilayah tambang dan penambahan infrastruktur penunjang. Ketika Freeport hanya mengeksplorasi pegunungan Earstberg, harga saham Freeport masih kecil.
Namun, seiring penemuan tambang open-pit di Grasberg dan pembangunan tambang underground yang dilengkapi terowongan, kereta api bawah tanah dan tunnel (jalan bawah tanah) sepanjang 1000 KM, harga Freeport sangatlah mahal. Pemerintah akan dianggap merampas hak Freeport dan digugat ke pengadilan arbitrase internasional, jika mengambil aset yang sudah dibangun dengan investasi besar, tanpa melalui proses renegosiasi kontrak yang bisa menghasilkan win-win solution.
Semua aset itu sudah diatur dalam KK.
KK adalah dasar hukum bagi Freeport Indonesia untuk memulai operasi tambang di Ertsberg dan Grasberg. KK disusun Freeport Indonesia atas perintah pemerintah Soeharto. KK disusun dengan alasan bahwa investasi di Ertsberg pada tahun-tahun awal Freeport masuk ke Papua menelan biaya besar. Freeport Indonesia harus membawa alat-alat berat dengan helikopeter ke pegunungan Cartens. Demikian juga, setelah selesai digali, tembaga harus dibawa menggunakan helikopter ke pelabuhan Amamapare. Dari pelabuhan Amamapare, barulah konsentrat tembaga diekspor ke buyer mereka di luar negeri.
Freeport meminta kontrak yang agak mudah, tidak dibebani biaya pajak dan royalty tinggi, karena investasi di Earstberg yang sangat mahal tersebut.
Geolog yang bekerja untuk Freeport, George A. Mealey dalam bukunya Grasberg (1999) mengungkapkan, pemerintah Soeharto tidak memiliki rujukan dalam penyusunan kontrak. Pemerintah kemudian menyerahkan pembuatan KK ke Freeport Indonesia. Alasannya, kontrak bagi hasil di sektor minyak dan gas yang dirancang pada jaman Soekarno tidak menarik minat Freeport Indonesia yang harus mengeluarkan dana investasi awal senilai US$300 juta.
Ahli hukum Freeport, Bob Duke dan Ali Budiardjo kemudian merancang payung hukum bagi Freeport Indonesia. KK adalah jalan tengah antara model konsensi pada jaman kolonial Belanda dan model bagi hasil. KK memberi ruang bagi korporasi asing untuk mendapat hak penuh atas mineral dan tanah. Ini berbeda dengan kontrak bagi hasil di sektor minyak dan gas di mana negara tuan rumah langsung mendapatkan hak atas peralatan dan sarana dan dalam waktu singkat seluruh operasi menjadi milik Negara. Itu yang membedakan KK Freeport dengan kontrak-kontrak lain di sektor migas.
Dari pengakuan Mealey, Negara ternyata tak hadir dalam penyusunan KK. Negara dikuasai korporasi hanya demi membuka keran investasi untuk pembangunan. Kontrak Karya yang dirancang korporasi dan orang-orang yang bekerja untuk korporasi, tentu menghasilkan kontrak yang timpang dan tidak menguntungkan Indonesia. Mereka pasti sudah mengantisipasi masa depan investasi mereka di Indonesia dan bagaimana caranya agar mereka menjadi permenen di republik ini. Itulah sebabnya, rezim yang datang kemudian, seperti pemerintahan Jokowi-JK saat ini, sangat sulit mengutak-atik lagi KK Freeport Indonesia. Pemerintah tidak bisa memutus KK begitu saja, meskipun kontrak perusahaan tembaga dan emas itu berakhir tahun 2021. Sebab, ternyata, ada klausal dalam Kontrak Karya yang memberi ruang kepada Freeport Indonesia untuk memperpanjang kontrak 2 x 10 tahun atau sampai tahun 2041.
Mealey mengaku, KK dirancang dalam kondisi Negara tidak siap dan kacau. Demokrasi tidak berjalan dan politik tidak stabil. Tetapi, dalam kondisi itu, kontrak masih dipaksa dibuat demi investasi dan pembangunan. Negara tidak paham ke mana ekonominya berjalan. Dalam ketidakberdayaan Negara seperti itu, Freeport Indonesia masuk bak penyelamat yang bisa mendatangkan investasi besar bagi negeri ini.
Negara tidak pernah berpikir panjang dan beranggapan bahwa investasi tambang Ertsberg hanya berlaku satu atau dua tahun saja. Negara tidak membayangkan bahwa ekonomi itu soal masa depan.
Seandainya saja sedikit berpikir lebih bijak saat Kontrak Karya ditandatangani, pemerintah pasti akan berpikir bahwa di suatu saat nanti tambang ini sangat potensial dan menguntungkan. Pemerintah seharusnya mengevaluasi data cadangan tembaga dan emas di Ertsberg atau membaca hasil penelitian para geolog yang selama beberapa tahun melakukan penelitian di Gunung Ertsberg. Dari hasil evaluasi itu, barulah pemerintah mendesain kontrak yang luwes, lentur, fleksible agar tidak merugikan kepentingan rakyat Indonesia. Kerangka aturan yang dibangun di atas pemahaman yang baik dan kehendak politik yang kuat, pasti menguntungkan Indonesia.
Bagi saya, rezim yang berani mengubah Kontrak Karya menjadi IUPK adalah pemerintah yang tegas dan berdaulat. Belum ada satupun rejim yang berani mengubah Kontrak Karya, karena kekuatan pengusaha lokal dan global yang banyak mendapat untung dari Freeport. Selain itu, Freeport berani menekan pemerintah dengan cara mengancam merumahkan karyawan yang berakibat pada masalah sosial-politik di Papua dan penerimaan negara. Hanya rejim kuat yang berani mengubah Kontrak Karya Freeport.
Jika melihat kondisi keuangan Freeport Indonesia saat ini, sebagai anak bangsa, kita boleh cemburu. Tambang Grasberg di Papua adalah tambang yang paling menguntungkan. Grasbreg boleh dikatakan sebagai tambang uang bagi Freeport McMoRan. Angkatlah contoh keuntungan Freeport Indonesia dalam beberapa tahun terakhir. Tahun 2010, misalnya, Freeport McMoRan membukukan laba bersih sebesar US$2.6 miliar. Penjulan dari tambang Grasberg pada tahun 2010 tersebut mencapai 1.1 miliar pound untuk tembaga dan 497.000 ons emas. Tahun 2011, Freeport Indonesia masih berkontribusi sebesar US$3.45 miliar dari pendapatan Freeport McMoRan.
Kontrak Karya menjadi alat hukum bagi Freeport Indonesia untuk mendulang banyak uang dari tembaga dan emas di Erstbrg, Grasberg dan tambang underground (tambang bawah tanah) di Papua. Dengan Kontrak Karya, Freeport Indonesia dapat dengan leluasa melakukan ekspansi bisnis dan mengeksplorasi tembaga dan emas di Papua tanpa membangun smelter tembaga dalam negeri. Freeport sejak tahun 1998, hanya mengirim sekitar 36 persen konsentrat tembaga ke PT Smelthing Gresik, untuk diolah dalam negeri dan sisanya diangkaut ke Atlantik Copper, smelter mereka di Spanyol.
Setelah menambang habis emas dan tembaga di Ertsberg (1971 – 1988), Freeport Indonesia meninggalkan lubang menganga tanpa reklamasi pasca tambang. Setelah itu, perusahaan tambang ini berpindah mengeksplorasi pegunungan emas dan tembaga di Grasberg (1988 – sekarang). Kita masih menunggu, apakah nasib Grasberg nantinya akan sama seperti Erstberg: tanpa reklamasi pasca tambang dan kerusakan ekosistem alam dibiarkan begitu saja. Mulai tahun 2019, Freeport Indonesia menambang di pertambangan underground. Kita juga akan menunggu, setelah tahun 2041 nanti, seperti apa kondisi tambang-tambang underground itu. Disksusi seputar Freeport Indonesia hanya berputar-putar pada soal investasi bisnis dan cara membangun tambang underground.
Sementara, investasi untuk membaharui kerusakan lingkungan dan keberlanjutan lingkungan luput dari perhatian. Alokasi dana Abendon Site Restoration atau reklamasi pasca tambang misalnya nyaris tidak ada selain biaya investasi untuk mengeruk emas dan tembaga saja.
Untuk itu, dengan mengontrol 51,23 persen saham Freeport Indonesia, pemerintah melalui INALUM memiliki hak suara dalam manajemen dan keputusan-keputusan penting terkait masa depan tambang Grasberg. Dengan menjadi pemegang saham, Indonesia bisa melihat dari dekat dapur Freeport di tambang Grasberg dan belajar bagaimana cara Freeport mengolah tambang underground yang mewah itu daripada hanya berteriak dari luar dan meraba-raba apa yang dilakukan Freeport.
Divestasi Menguntungkan Indonesia
Dengan menjadi pemegang saham mayoritas di Freeport, Indonesia akan diuntungkan secara finansial.
Tahun 2019, tambang open-pit Grasberg memang mencapai titik puncak. Dalam perkiraan Freeport Indonesia, produksi Freeport pun ikut menurun. Namun. Yang perlu dicatat adalah tambang open-pit hanyalah 7 persen dari total cadangan Freeport. Cadangan terbesar sebesar 93 persen tambang Grasberg ada di tambang underground, mencakup wilayah Kucing Liar, Grasbreg Open-pit, DOZ Block Cave, Big Gosan, Grasberg Blok Cave dan DMLZ Block Cave. Sampai tahun 2017, cadangan terbukti dan terkira di Grasberg sebesar 38,8 miliar pound tembaga, 33,9 juta ons emas, dan 153,1 juta ons perak.
Mulai tahun 2021, Freeport akan menikmati produksi dari tambang underground yang dalam perkiraan mencapai 160.000-200.000 ton konsentrat tembaga. jika harga metal di pasar global naik, tentu itu akan menguntungkan Freeport dan INALUM sebagai pemegang saham. Boleh jadi, Indonesia akan mendapat keuntungan besar, karena pendapatan Freeport dari tambang Grasberg ke depan bisa berada di atas US$3 miliar per tahun. Dengan begitu, 51 persen dari pendapatan itu akan kita peroleh sebagai dividen.
Kontribusi penerimaan negara juga akan semakin besar, karena ke depan, Freeport akan membangun pabrik smelter tembaga dan emas di Gresik, Jawa timur. Dengan keuntungan yang begitu besar, INALUM akan mengembalikan dana pinjaman dari penerbitan obligasi global dalam rentang waktu 3-5 tahun dan menikmati keuntungan besar dari operasi tambang Grasberg di Papua. Selain itu, Indonesia boleh berbangga, karena perusahaan tambang milik BUMN menjadi besar besar dan mulai menjadi pusat perhatian investor global. Indonesia melalui INALUM bisa mengontrol tembaga dan menjadi penentu di pasar global. Jadi, kita perlu mengapresiasi langkah berani pemerintahan Jokowi yang telah menyelesaikan divestasi saham Freeport dengan mekanisme korporasi.
Artikel ini sebelumnya telah dimuat di Harian Kompas Edisi Kamis, 27 Desember 2018.