Oleh Alfred Tuname
Agas Andreas, SH., M.Hum dan Drs. Jaghur Stefanus atau ASET sudah menang. Hari Senin, 13 Agustus 2018, KPU Manggarai Timur menentapakan kedua pasalangan calon tersebut menjadi Bupati dan Wakil Bupati dalam Pilkada 2018. Mereka pemimpin terpilih.
Pemimpin terpilih, Agas Andreas dan Jaghur Stefanus, sah secara politik setelah melewati sengketa “hukum” PHPKada. Mahkamah Konstitusi memutuskan menolak permohonan Pemohon (Paket Tabir: Tarsisius Sjukur dan Yoseph B. Aur). Dengan mempertimbangkan Eksepsi Termohon (KPU Manggarai Timur) dan Pihak Terkait (Paket ASET), putusan dibacakan. Putusan itu final dan mengikat. Inkracht van gewijsde dan adil.
Putusan yang adil itu bisa diterjemahkan sebagai putusan yang didasarkan atas bukti dan nurani politik. Dengan bukti, pihak pemohon keok. Dengan nurani, rakyat menang. Tentu saja, rakyat tak ingin lagi diperdaya. Ketika rakyat sudah memilih, maka politisi ambisi dan pengusaha rakus tak bisa mengubah pilihan itu.
Politik memang kiat untuk mencapai yang tak mungkin. Politics is the art of attacking the impossible. Petuah Alain Badiou itu tampak benar, tetapi sang politisi perlu sadar (politik). Artinya, capaian “the impossible” itu perlu diukur dengan neraca kehendak rakyat. Memaksakan diri sama artinya dengan “zonk” (bahasa prokem orang Jakarta).
Jika saja dalam usaha mencapai “the impossible” itu terdapat antagonisme, itu merupakan hal biasa dalam politik. Dalam bahasa Yunani, “agon” itu mengacu pada pertandingan atletik. Mengutip Goenawan Mohamad, seperti pertandingan atletik, tujuan politik berdemokrasi itu adalah mengalahkan musuh, tetapi juga menghormatinya.
Persoalan demokrasi (lokal) kita, politisi yang kalah jarang mengakui keunggulan yang menang. Kalau bukan mencari-cari persoalan (dan juga menggerakan massa), politisi yang kalah akan menuding siapa pun yang ia curigai. Mungkin itu salah satu cara mencampai “the impossible”, tetapi cara itu lebih dekat dengan politik “machiavellian way”. Yang tak mungkin pun tetap saja menjadi yang tak mungkin.
Hal yang mungkin itu diraih dengan keselarasan kehendak rakyat. Dalam kontestasi politik, kehendak rakyat dimengerti sebagai mayoritas pemilih. Dalam demokrasi elektoral, pemenang politik ditentukan oleh yang banyak. Jadi, yang mungkin itu dimungkinkan oleh yang banyak. Sederhana, bukan?
Nah, dalam Pilkada Manggarai Timur 2018, yang banyak itu sudah memilih Agas Andreas, SH., M.Hum dan Drs. Jaghur Stefanus. Mereka-lah pemimpin terpilih untuk Manggarai Timur yang lebih baik. Di pundak mereka ada tanggung jawab; di kepala mereka ada visi; di dada mereka ada semangat. Semua demi masyarakat Manggarai Timur yang sejahtera, berdaya dan berbudaya.
Masyarakat tentu berharap banyak kepada pemimpin terpilih. Juga, ada harapan agar para politisi (lokal) yang pernah bertikai dalam politik bersatu kembali (kecuali apabila politisi itu beretika jongkok dan berintegritas jongos). Tujuannya, tak ada lagi fragmentasi sosial.
Silaturahmi para politisi akan menjadi moment “de-fragmentation” tiap kubu dalam masyarakat. Tidak mudah memang, tetapi itulah satu-satunya jalan politik (political way) demi harmoni pembangunan Manggarai Timur.
Persoalan politik sudah selesai. Tak usah lagi sedu-sedan. Tak perlu lagi uring-uringan. Mari kita ingat kata-kata saat kampanye, “satu orang ikut yang menang lebih berharga suaranya dari pada 1000 orang ikut yang kalah”. Bersatu kembali lebih baik dari pada tutup pintu karena malu sebab kalah. “Kekalahan itu gelap dan tak ada laron yang mengerubungi kegelapan” (mengutip Burhanuddin Muhtadi).
Bahwa semua masyarakat harus yakin, pemimpin yang terpilih adalah pemimpin dengan integritas dan kualitas etik-moral yang baik. Mereka mampu merangkul masyarakat yang punya visi yang baik. Toh, pembangunan akan nikmati oleh segenap masyarakat.
Jika politik pernah memisahkan masyarakat, pasca politik masyarakat bersatu memaknai kemenangan. Ada petuah arif seorang mantan gubernur New York, Mario Cuomo. “We campaign in poetry. But when we are elected we forced to govern in prose”. Pasca Pilkada, tak ada lagi puisi atau kecap manis. Hanya ada prosa dengan judul “Seber”.
Alfred Tuname
esais