Benarkah program listrik 35.000 megawatt (MW) tidak realistis dan tidak dibutuhkan?
JAKARTA, BERITA FLORES – Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, perlu diketahui bahwa akses terhadap listrik adalah kunci untuk mengurangi kemiskinan sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakat di suatu kawasan.
Ini bukan hanya berlaku di Indonesia, tapi juga di seluruh belahan dunia. Tercantum jelas dalam inisiatif global Sustainable Energy For All pada September 2011 yang memasukkan akses universal untuk layanan energi modern sebagai salah satu komitmen yang harus dipenuhi oleh setiap negara.
Komitmen ini kemudian diadopsi oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan masuk sebagai salah satu 17 program Sustainable Development Goals. Untuk pembangunan yang berkelanjutan (sustainable), listrik dan pelayanan energi modern lainnya harus bisa dinikmati oleh semua penduduk di dunia pada 2030.
Kondisi kelistrikan Indonesia saat ini bisa dibilang sudah maju pesat ketimbang satu dasawarsa lalu. Tahun 2007 rasio elektrifikasi Indonesia masih berada di angka 63,3%, artinya ada 36,7% dari 240 juta penduduk Indonesia yang belum bisa mengakses listrik.
Maslahat Listrik 35 Ribu Megawatt
Setiap tahun, rasio ini digenjot oleh pemerintah, hingga akhirnya bisa mencapai 95% di akhir 2017 lalu. Selisih lebih dari 30% yang dikejar dalam 10 tahun itu bukan dicapai tanpa susah payah.
Langkah mengejar rasio elektrifikasi atau tingkat aksesibilitas listrik di masyarakat ini sudah dilakukan sejak Juli 2006 ketika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menerbitkan Perpres Nomor 71 Tahun 2006 yang memerintahkan PLN melakukan percepatan pembangunan pembangkit listrik sebanyak 10 ribu Megawatt (MW) dalam 5 tahun.
Program ini dikenal kemudian dengan nama FTP I. FTP 1 saat itu digagas karena terjadinya defisit listrik di beberapa wilayah di Indonesia. Sumatera contohnya, yang bisa terkena pemadaman berhari hari akibat defisit listrik hingga 330 MW saat itu.
Belum lagi proyeksi akan terjadinya krisis di Pulau Jawa pada 2018 yang rata-rata rasio elektrifikasinya baru di kisaran 85%. Proyeksi inilah yang kemudian menyebabkan proyek FTP 1 memfokuskan pembangunan 35 PLTU batu bara di Jawa.
Progress tahap I berjalan lambat, namun pertumbuhan ekonomi dan penduduk kian melonjak membuat pemerintah menggagas kembali percepatan proyek listrik yang dikenal FTP II. Melalui Permen ESDM Nomor 15 Tahun 2010, proyek 10 ribu Megawatt yang kedua pun diresmikan. Kali ini dengan sedikit perbaikan di porsi bauran energi, jika di FTP I seluruhnya mengandalkan batu bara, FTP II mulai memasukkan pembangkit berbahan bakar gas, hidro, dan panas bumi.
Dua proyek ini kurang berakhir ciamik, hingga 2014 diketahui masih menyisakan 7.000 MW pembangkit yang belum dibangun. Ini belum ditambah dengan adanya beberapa pembangkit dari program percepatan yang mengalami kerusakan dan tak berfungsi sesuai harapan.
Pembangunan yang meleset dari target ditambah pembangkit yang tak berfungsi kemudian membuat konsumsi BBM untuk pembangkit pun meningkat di periode 2012-2013. Untuk menyalakan listrik, negara terpaksa membakar minyak jenis HSD dan MFO hingga 55 juta barel setara minyak (BOE).
Inilah kondisi yang terjadi hingga 2014, hingga akhirnya pemerintah merancang kebutuhan energi dengan asumsi-asumsi ekonomi yang dipatok pada saat itu. Badan Pusat Statistik (BPS) memproyeksi pertumbuhan ekonomi bisa mencapai 8% pada 2020 dengan laju pertumbuhan penduduk 1,3% per tahun.
Dengan angka itu, kebutuhan listrik diperkirakan bisa mencapai 5.000 MW per tahun, sementara kemampuan PLN hanya bisa menyediakan sebanyak 4.000 MW. Artinya jika tidak dikebut, setiap tahun Indonesia kekurangan listrik 1.000 MW.
Defisit listrik, asumsi pertumbuhan ekonomi yang tinggi, pembangkit yang malfungsi, laju pertumbuhan penduduk, konsumsi BBM untuk pembangkit yang masih besar, segala hal inilah yang akhirnya mendorong Presiden Joko Widodo mencetuskan program 35.000 MW pada Mei 2015.
Keputusan yang wajar jika melihat kondisi kelistrikan yang terjadi saat itu. Segala upaya dilakukan pemerintah untuk mengentaskan kekhawatiran defisit listrik di masa depan. Mulai dari penerbitan aturan untuk pembebasan lahan yang kerap jadi hambatan, kebijakan revaluasi aset dan skema pendanaan, serta membuka kesempatan lebih banyak untuk swasta berpartisipasi membangun pembangkit.
Soal daerah yang defisit listrik, solusi sementaranya adalah menyewa kapal pembangkit MVPP untuk mengaliri setrum ke daerah tersebut, sambil menunggu rampungnya pembangunan pembangkit. Kondisi pun mulai membaik, dari puluhan daerah yang berstatus siaga dan belasa yang berstatus defisit per 2016 tersisa 14 wilayah yang siaga listrik dan 5 wilayah yang defisit.
Dari rasio elektrifikasi 85% di 2015 menjadi 95% di 2017, dan akhirnya tak ada lagi wilayah di Indonesia yang masuk kategori defisit listrik. Kondisi berubah lagi dengan melambatnya laju pertumbuhan ekonomi dari semula 6% setahun jadi di rata-rata 5% per tahun. Ini membuat proyeksi kebutuhan dan konsumsi listrik berubah. (Sumber : CNBC Indonesia)