OLEH : PETRUS SELESTINUS
Pilkada di NTT 2018 saat ini berada dalam kondisi sangat memprihatinkan. Sebab bukan saja Partai Politik peserta Pilkada yang tidak mampu menghadirkan kader berkualitas dan berintegritas atau yang dapat dikualifikasi sebagai kader berkelas “Kapitan Perahu”. Tetapi juga masyarakat pun kesulitan menjagokan tokoh masyarakat yang memenuhi kualifikasi “Kapitan Perahu” untuk menjadi Kepala Daerah melalui pintu Independen.
Mengapa? karena persoalan Pilkada selalu berbiaya tinggi hingga puluhan miliar rupiah. Ini pula yang membuat kondisi Pilkada 2018 di NTT tergolong sangat memprihatinkan. Sebab hanya memberi peluang kepada Pasangan Calon yang punya uang tetapi minim kompetensi. Bahkan berada dalam kriteria minus malum sehingga hanya memberi peluang kepada pemimpin “daur ulang”. Tidak ada satupun yang mendekati kriteria pemimpin “Kapitan Perahu” sesuai pandangan Prof. Matulada yang kemudian dielaborasi oleh Dr. Ignas Kleden dengan sangat tepat.
Kriteria pemimpin “Kapitan Perahu” adalah istilah dari antropolog Prof. Mattulada terkait dengan konsep kepemimpinan Maritim yang menurut Prof. Mattulada hanya bisa tumbuh dari bawah, tidak mungkin didrop dari atas. Dia harus punya pengalaman yang matang terlebih dahulu bagaimana menjalankan perhau, teknik berlayar, membaca arah angin, melihat bintang di langit. Paling penting menurutnya harus bisa bekerja sama dengan seluruh awak perahu yang pada akhirnya bisa memimpin mereka menuju cita-cita bersama.
Jika perahunya karam maka sang Kapitan Perahu harus bertahan hingga penumpang dan awak perahunya sudah selamat atau mendapatkan pertolongan yang dibutuhkan, baru Kapitan Perahu menjadi orang terakhir meninggalkan perahunya.
Pendapat Prof. Mattulada ini kemudian dielaborasi oleh Dr. Ignas Kleden dalam sebuah artikel di Harian Nasional, bahwa seorang “Kapitan Perahu” membutuhkan kompetensi seorang pemimpin yang transparan. Yang diuji sendiri oleh alam. Dengan transparansinya itu maka inkompentesinya tidak akan bisa ditutup-tutupi. Dengan demikian ia tidak boleh bahkan tidak bisa “berpura-pura bisa” dengan kemampuannya. Karena akan terbongkar dalam waktu singkat saat menghadapi badai.
Sulitnya melahirkan kepemimpinan “Kapitan Perahu” maka menjamurlah pemimpin “Daur Ulang” di setiap musim Pilkada. Pemimpin “Daur Ulang” adalah pemimpin yang sudah gagal memimpin dan gagal dalam Pilkada berikutnya karena tidak layak lagi untuk dipilih. Akan tetapi masih muncul tanpa malu-malu sebagai Paslon pada Pilkada berikutnya dengan kemasan lain sedemikian rupa dengan bungkusan yang tambal sulam. Agar bisa tampil dan dipilih kembali sebagai pemimpin untuk menipu pemilih.
Jika kita melihat nilai nominal anggaran untuk Pilkada 2018 di NTT di atas angka Rp. 400 Miliar hanya untuk kebutuhan KPU dan Bawaslu Provinsi, Kabupaten dan Kota. Sebagai outputnya kepemimpinan yang akan lahir dari sosok sosok yang sekarang tampil sebagai Pasangan Calon, maka antara besaran biaya yang digelontorkan negara dengan hasil yang diperkirakan akan dilahirkan dalam Pilkada 2018 di NTT sangat tidak balance dan kompatible.
Apalagi disana sini muncul sikap skeptis masyarakat, tidak nampak atribut Paslon dan Partai Politik pengusung yang seharusnya secara maksimal memperlihatkan adanya upaya maksimal dari Paslon dan Parpol pengusung sedang berjuang melahirkan seorang pemimpin di NTT, baik itu Gubernur-Wakil Gubernur maupun Bupati/Walikota-Wakil Bupati/Wakil Walikota di NTT.
Di sana sini masyarakat dan LSM bahkan Partai Politik mengeluhkan begitu banyak warga yang belum memiliki KTP Elektronik, sehingga berpotensi merugikan Paslon dan Masyarakat. Disini muncul pertanyaan untuk apa dan untuk siapakah biaya begitu besar yang dikeluarkan oleh negara tetapi kualitas pelaksanaan Pilkada di NTT sangat memprihatinkan?
Besarnya anggaran untuk biaya Pilkada 2018 di NTT pun sempat membuat sejumlah Kepala Daerah membuat kebijakan diskresi berupa menunda pembangunan proyek proyek untuk tahun anggaran berjalan. Ini berarti hanya untuk sebuah euforia Pilkada dengan Pasangan Calon yang minus malum, di luar kriteria bersih dan bebas KKN (Korupsi Kolusi dan Nepotisme). Apalagi memenuhi kriteria “Kapitan Perahu”, rakyat harus dikorbankan.
Kita harus jujur mengakui bahwa sistim Pilkada langsung belum mampu mendorong partisipasi masyarakat untuk ikut melahirkan pemimpin daerah dengan kriteria “Kapitan Perahu”. Padahal kondisi NTT terkini sangat membutuhkan model kepemimpinan “Kapitan Perahu”. Sistim Pilkada langsung belum mampu menjawab kebutuhan masyarakat NTT untuk keluar dari kemiskinan, kebodohan dan ketertinggalannya. Kita baru berada dalam taraf euforia sesaat menghamburkan biaya tinggi untuk sebuah Pilkada yang tidak bermutu, sambil menikmati hingar bingar segelintir Paslon dan Parpol membangun janji-janji palsu. Sebab janji – janji itu hanya akan terdengar lagi pada saat kampanye Pilkada dan akan senyap hilang tanpa bekas tatkala kekuasaan diraih.
Oleh karena itu tidak salah munculnya joke di tengah masyarakat saat Pilkada, Pileg bahkan Pilpres tentang “apa beda antara PILKADA dengan PILKABE. Bedanya PILKADA, kalau jadi lupa, sedangkan PILKABE, kalau lupa jadi”. Ini adalah sebuah sinisme yang sederhana tetapi sangat mengena. Karena orang selalu melupakan janji-janjinya setelah terpilih dan menjadi penguasa.
Pemimpin yang gagal total adalah pemimpin yang tidak memampu memberikan kepada seluruh warganya memiliki e-KTP, apalagi e-KTP memiliki nilai dan manfaat yang strategis ke depan serta dijadikan sebagai salah satu syarat bagi setiap warga dalam menggunakan hak pilih dalam Pilkada. Karena itu jangan pilih Paslon Incumbent yang gagal membuat warganya memiliki e-KTP.
PENULIS : PETRUS SELESTINUS
KOORDINATOR TIM PEMBELA DEMOKRASI INDONESIA & ADVOKAT PERADI