Pemimpin itu aset. Ini tesis politik, bukan jargon. Jargon akan selalu macet bila dihadapan dengan tumpukan perbicangan rasional. Jargon pun selalu lumpuh bila berhadapan fanatisme dan mistifikasi. Jargon selalu terhapus bila arogansi pekik kampanye tidak diimbangi dengan realitas politik.
Nah, adalah sangat paradoksal bila seorang yang berasal dari institusi pengguna kekerasan mengklaim diri sebagai sang humanis. Adalah penghinaan terhadap nalar publik apabila mendengar serorang pelaku pelanggar HAM di Papua yang mengaku diri sebagai seorang humanis. Dalam kasus seperti ini, humanis adalah jargon atau “omong kosong” politik.
Kembalilah kita pada tesis “pemimpin itu aset”. Dasarnya, setiap orang memiliki aset terpendam (hidden asset) dalam hal kepemimpinan. Karakater kepemimpinan seseorang akan muncul manakala ia dipercaya dan mengemban tanggung jawab tertentu. Kepribadian seseorang pun berpengaruh pada cara ia memimpin. Budaya, ideologi, agama, lingkungan dan lain sebagainya, juga ikut menjadi pembeda dalam gaya kepemimpinan seseorang.
Seorang yang akrab dengan nilai-nilai budaya memiliki gaya kepemimpinan yang santun, komunikatif dan diplomatis. Seseorang yang akrab dengan kultur militer memiliki gaya kepemimpinan yang bersifat imperatif, keras dan militeristik. Semua gaya kepemimpinan itu memiliki keunggulan dan kelemahannya masing-masing.
Pada konteks kepemimpinan politik, karakter dan sifat kepribadian seseorang perlu menjadi fokus sorotan mata publik. Sebab, pola dan gaya kepemimpinan seorang politisi akan berpengaruh pada pola interaksi antara publik dan sang pemimpin.
Seorang pemimpin yang elitis akan melahirkan rentang komunikasi yang sangat dengan publik. Ada rintangan protokoler jika publik hendak bertemu dan berdialog dengan pemimpin politik tersebut.
Sama halnya juga dengan seorang pemimpin politik yang lahir dari kerangkeng militeristik. Kebijakan publik hanya akan muncul dari keputusan monologis (semau gue!), tak ada komunikasi yang dialogis bersama publik. Pemimpin yang militeristik itu anti kritik. Suara publik hanya akan berhadapan dengan barisan aparat keamanan dan pasal-pasal “Rust en Orde”.
Oleh sebab itu, proksimasi cara pandang “pemimpin itu aset” perlu dicangkokkan ke dalam nalar publik. Bahwa, publik perlu melihat apa yang dimiliki dan melekat pada pribadi calon pemimpin sebagai aset. Sebagai aset, apakah karakter dan kepribadian seorang calon pemimpin bisa melipatgandakan kesejahteraan bersama atau tidak, itu menjadi taruhan publik. Inilah dimensi psikologi politik yang berlu menjadi pertimbangan pilihan politik.
Tentu saja, preferensi pilihan publik jatuh pada calon pemimpin yang “aset” keperibadiannya mampu melipatkan kesejahteraan bersama. Pemimpin seperti itu adalah pemimpin yang melekat dengan nilai-nilai budaya dan mengerti budaya, dekat dengan rakyat, mudah diajak berkomunikasi, gampang ditantang berargumentasi dan arif dalam menilai persoalan.
Memilih pemimpin yang bisa dipercaya melipatgandakan “aset” kesejahteraan bersama adalah cara publik merawat akal sehat politik (mengutip ungkapan Rocky Gerung). Dengan akal sehat politik itu, publik memilih yang terbaik dari calon pemimpin yang hanya sekadar baik. Talam teori elit, pemimpin adalah refleksi rakyat yang dipimpin (bdk. Bambang Purwoko, 2008).
Hanya calon pemimpin terbaiklah yang mampu memahami pikiran, nurani dan kebutuhan publik. Hanya pemimpin terbaiklah yang mampu mengembalikan kedaulatan rakyat dengan kebijakan publik yang rasional dan adil.
Dengan demikian, “aset” rakyat ada pada kepribadian dan langgam kepemimpinan seorang pemimpin. “Aset” pemimpin ada pada setiap sumber daya dan potensi yang dimiliki oleh rakyatnya. Seorang pemimpin harus melihat semua itu meskipun rakyat tak menyadarinya. Mengutip Ann Willets, “effective leaders shoud be able to see potensial that their people themselves may not even see”. Inila cara berpikir “beyond” pada seorang pemimpin.
Ir. Soekrano tak pernah menyadari, bahwa dirinya aset pilihan rakyat untuk menghartarkan NKRI menuju gerbang emas pembangunan. Tetapi Soekarno punya pikiran “beyond”, dengan menemukan aset berharga nusantara yang ia rumuskan dalam Pancasila.
Tentu saja, cara berpikir “beyond” tersebut diikuti dengan pendekatan “think with vision” (istilah Alan Cohen), yakni mendidik rakyat untuk berdaya dan mandiri dalam menfaatkan sumber daya dan potensi yang dimiliki. Dengan itu, rakyat tidak hanya jadi penonton dalam proses pembangun, tetapi menjadi pelaku aktif yang berkontribusi dalam sejarah keadaban politik pembangunan.
Jika seorang pemimpin menyadari dirinya adalah “aset” rakyat, maka ia tidak akan merusak dirinya kebijakan-kebijakan yang tidak adil, koruptif dan menguntungkan diri sendiri. Ia justru menjaga harkat dan martabat rakyatnya dengan terus mencari solusi atas deadlock pembangunan yang sering kali makan ongkos.
Nah, bila mengerucut pada konteks Pilkada/Pilgub, seorang pemimpin tidak lahir dari rekayasa dealership: permainan citra, slogan, jargon dan arogansi kepangkatan dan atau kekayaan. Seorang pemimpin sejatinya sudah ada dalam nurani dan pikiran rakyat. Pemimpin itu sudah ada bersama rakyat, dekat dan lahir dari rakyat. Ia tidak datang dari jauh, dari dunia yang entah dan tidak dikenal oleh rakyat.
Akhirnya, karena pemimpin itu aset, rakyat sudah merasa, melihat dan menentukan pilihan, bahkan sang pemimpin itu tak menyadarinya.
Alfred Tuname
Penulis dan Esais