Oleh : Hironimus V. Jenamu, S. Pd
Investasi leher ke atas merupakan istilah baru yang kita kenal. Istilah ini mungkin telah lama terngiang di telinga dan selalu singgah di bibir para motivator. Mery Riana sang motivator sekaligus penulis besar dalam program Talk Show I”m Possible di Metro TV beberapa waktu yang lalu mengangkat tema “Investasi Leher ke Atas”. Istilah ini cukup asing di telinga kaum awam, namun konsep yang dibicarakan pada tema ini yakni melakukan atau mengerjakan dua hal (profesi) secara bersamaan.
Hal ini dapat mecerminkan diri saya yang berprofesi sebagai guru, sekaligus membantu ibu untuk mepromosikan hasil tenun (bagian pemasaran). Dua hal yang kontradiktif bagaikan merah dan putih, guru menawarkan konsep pendidikan sedangkan penjual semacam stereotip yang melekat dengan istilah makelar. Bukankah merah dan putih bagian yang tak terpisahkan dengan tubuh yang diselimuti oleh kulit kita? Merah darah dan putih tulang tetap satu. Demikian saya menjalani dua profesi ini begitu mengalir tak bedanya dengan teman-teman pelaku bisnis lainnya yang berprofesi sebagi guru tetapi masih berjualan di etalase facebook atau marketplace seperti berjualan perlengkapan kosmetik sampai furniture lainnya.
Saya dilahirkan dan dibesarkan dari keluarga sederhana, bukan dari keluarga yang digaji oleh negara yang setia menggunakan seragam produksi massal. Proses pendidikan saya sampai lulus perguruan tinggi dibiayai oleh orangtua tidak semulus teman-teman seperjuangan. “Towe” (Istilah kearifan lokal Manggarai untuk sarung tenunan) merupakan salah satu usaha unggulan dari orangtua saya untuk membiayai anak-anaknya untuk menyelesaikan proses pendidikan sampai Perguruan Tinggi. Berkat usaha dari orangtua saya ditahbiskan menjadi sarjana di Universitas 45 Makasar (Universitas Bosowa) pada Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia tahun 2015. Tahun 2016 saya mulai mengabdikan diri di SMA Negeri 2 Lembor Selatan, Kabupaten Manggarai Barat, NTT dan mengampuh mata pelajaran Bahasa Indonesia serta membantu mata pelajaran Antropologi.
Mengulas kembali peristiwa yang telah berlalu pada Maret 2019, tanpa direncanakan saya bersua dengan seorang anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bukan dewan pengkhianat rakyat asal kabupaten Manggarai Timur yang namanya telah usang dalam ingatan saya dihempas majas dan perangkat pembelajaran yang terus berkutat dengan regulasi. Map merah menjadi saksi mati awal perjumpaan dan perkenalan dengan anggota dewan yang dipandang terhormat. Beliau pergi ke Jakarta untuk keperluan kedinasan sementara saya diundang dan difasilitasi oleh BEKRAF (Badan Ekonomi Kreatif) untuk mengikuti kegiatan pameran kain tradisional dari seluruh indonesia pada acara Adiwastra 2019. Beliau lebih awal berangkat dengan menggunakan pesawat Garuda dan saya pesawat Lion Air, dua maskapai beda kelas. Sebelum berangkat ke Jakarta tepatnya di Bandara Komodo Labuan Bajo, beliau lupa menenteng berkas yang paling penting untuk agenda kegiatannya di Jakarta, namun atas bantuan pihak bandara, Map Merah yang berisi berkas penting dari anggota dewan yang lebih dahulu terbang dan tinggal didalam perut Garuda menuju Jakarta dititipkan pada saya. Singkat cerita kami bertemu di Jakarta dan berbincang-bincang (do ganda) sekaligus mengambil Map Merah beliau.
Judul tulisan ini terinspirasi dari diskusi saat berjumpa anggota dewan yang terhormat. Beliau menanyakan profesi saya dan apa tujuan saya datang ke Jakarta kala itu, dengan lugas saya menjawab profesi guru honorer sementara tujuan datang di Jakarta untuk mengikuti pameran sekaligus menjual hasil tenunan. Spontan beliau mengucapkan sebuah kalimat kolaborasi “Guru Pika Towe”. Ungkapan ini tidak mengurungkan niatku untuk menjalani dua hal ini sekaligus, karena ‘Towe” kain songke tenunan menjadi usaha unggulan keluarga. Saya sungguh berterima kasih berkat “Towe” Kain tenunan kami mendapat bantuan pemerintah melalui Badan Ekonomi Kreatif berupa bangunan dan sarana lainnya, dan sebagai orang biasa saya bisa berkali-kali bertemu orang luar biasa seperti bapak Triawan Munaf (Kepala Badan Ekonomi Kreatif) Indonesia.
“Kawe neho pale, lako neho palo” merupakan ungkapan kearifan lokal bahasa Manggarai yang menggambarkan curahan hati saya bahwa selama satu pekerjaan tidak mengganggu pekerjaan lain apa salahnya dilakukan sekaligus yang penting sesuai koridor. Saya menyadari dua hal yang saya geluti ini bukan seperti mimpi sastrawan besar Khairil Gibran yang mempertemukan malaikat dan setan di depan rumahnya dan memperdebatkan satu hal, yang satu menyatakan ini kebajikan dan yang satu lagi menyatakan ini keburukan, tapi mimpi yang sedang saya jalani bukan tentang kebajikan dan keburukan melainkan kisah yang berbarengan tentang panggilan hidup.
Dalam lingkungan masyarakat terutama di kampung kecil Daleng Sampa, Desa Wae Mose saya dan ibu Viktoria berhasil merangkul ibu-ibu pelaku kreatif dalam bentuk wadah (Pusat Kreatif Tenun Songke kelompok Dahlia) yang mempunyai keahlian dalam memulung benang menjadi sarung tenunan dengan kekhasan menggunakan pewarnaan alam. Mereka terus berkarya dalam melestarikan warisan budaya, menjawab kebutuhan pasar sekaligus menambah penghasilan, sehingga tak jarang konsumen lokal, nasional, bahkan internasional memberikan apresiasi. Di balik itu semua ada rasa kekhawatiran akan keterlibatan kaum milenial yang begitu apatis dalam kegiatan menenun yang merupakan warisan budaya titipan leluhur yang kaya akan seni dan penghasilan.
Kurikulum 2013 menawarkan konsep kewirausahaan. Realita dalam dunia pendidikan, konsep wirausaha masih terbilang slogan dan dijadikan pelengkap terstruktur dalam menguras uang negara. Penerapannya masih sangat minim, keterlibatan siswa dan peran metode keilmuan hanya sekedar teori. Harapan penulis agar siswa-siswi di SMA Negeri 2 Lembor Selatan tidak hanya berkutat dengan teori-teori akademik tetapi mulai dilatih menjadi pribadi yang tangguh dengan menanamkan nilai-nilai wirausaha dan disertai aksi nyata, karena bukankah lebih baik mencoba daripada tidak sama sekali.
Penulis merupakan Pengajar di SMA Negeri 2 Lembor Selatan