Oleh Bertolomeus Jematu
[Alumnus STF Driyarkara, Ketua PP PMKRI 2006 – 2009]
Menjelang pemilihan penerus Paus Benediktus XVI pada bulan Maret 2013, muncul sejumlah nama yang dianggap calon kuat paus baru. Nama-nama calon paus itu disebut 𝘱𝘢𝘱𝘢𝘣𝘪𝘭𝘪.
Salah satu nama yang muncul adalah Kardinal Jorge Mario Bergoglio dari Argentina. Namun, sejauh yang saya ikuti, Kardinal Bergoglio tidak sepopuler 𝘱𝘢𝘱𝘢𝘣𝘪𝘭𝘪 lain, seperti Kardinal Angelo Scola dari Italia, Kardinal Marc Ouellet dari Kanada, atau Kardinal Christoph Schonborn dari Austria.
Setelah sepintas mempelajari latar belakang dari 𝘱𝘢𝘱𝘢𝘣𝘪𝘭𝘪 yang beredar, perhatian saya tertuju pada Kardinal Bergoglio. Dari bacaan, saya memperoleh gambaran yang mengesankan mengenai Uskup Agung Buenos Aires, Argentina itu.
Hidupnya sederhana. Besar kepeduliannya pada orang-orang kecil dan terpinggirkan. Ia menjalankan _preferential option for the poor_ (opsi berpihak pada kaum miskin) yang lantang disuarakan Teologi Pembebasan, teologi yang lahir dan berkembang di Amerika Latin itu.
Sejak menjadi Uskup Agung Buenos Aires pada tahun 1998, misalnya, ia tidak menempati istana uskup agung yang megah. sehari pun tidak. Ia memilih tinggal di apartemen kecil bersama seorang uskup yang sudah tua dan sakit-sakitan. Pada malam hari, ia sendiri yang memasak untuk mereka berdua.
Mobil untuknya yang ditinggalkan pendahulunya ia jual. Sopirnya ia carikan pekerjaan baru. ia memilih menggunakan sarana transportasi publik seperti bis atau kereta api untuk bepergian di Buenos Aires.
Tahun 2001, menjelang pengangkatannya secara resmi sebagai kardinal oleh Paus Yohanes Paulus II, ratusan orang di Argentina menggalang dana untuk menghadiri seremoni pengangkatan itu di Vatikan. Tetapi, atas permintaannya, mereka membatalkan rencana itu dan membagikan uang yang telah dikumpulkan kepada orang miskin.
Dalam seremoni yang berlangsung di Basilika Santo Petrus itu ia mengenakan jubah bekas, jubah yang pernah dipakai kardinal pendahulunya. Jubah itu dipermak supaya pas dengan ukuran badannya.
Ia menekankan pentingnya gereja yang melayani kaum miskin, gereja yang menyuarakan keadilan sosial. Dan, ia tidak hanya bicara, tapi juga bertindak nyata.
Selama 15 tahun menjadi uskup agung, ia memberikan perhatian yang besar pada warga di wilayah-wilayah termiskin di Buenos Aires. Ia rutin berkunjung ke daerah kumuh, menjalin kerja sama yang erat dengan kelompok masyarakat yang kurang mampu. Ia mengirim para imamnya bekerja di sana untuk mendampingi mereka, untuk mendorong inisiatif memberdayakan diri.
Di Argentina ia termasuk pembela keadilan sosial yang lantang. Ia kerap bersuara menentang ketidakadilan ekonomi dan peminggiran orang miskin. Ia mengkritik kebijakan yang melestarikan kemiskinan dan menyerukan distribusi sumber daya secara adil.
Saya terkesan dengan kardinal dari Serikat Yesus ini. Saya berharap, dialah yang akan menjadi penerus Paus Benediktus XVI. Kepada sejumlah kawan, saya berkelakar bahwa saya sudah bisa melihat hasil konklaf (pemilihan paus) yang akan diadakan dan dalam penglihatan saya Kardinal Bergoglio-lah yang terpilih.
Pada hari kedua konklaf yang jatuh pada tanggal 13 Maret 2013, sekitar pukul 19.00 waktu Vatikan, asap putih mengepul dari cerobong asap Kapela Sistina, tempat konklaf berlangsung. Munculnya asap putih mengabarkan kepada dunia bahwa paus baru telah terpilih.
Berapa lama setelah asap putih muncul, jendela balkon tengah Basilika Santo Petrus dibuka. Pengumuman _”habemus papam”_ (kita memiliki paus) segera disampaikan. Jutaan pasang mata dari seantero bumi tertuju ke balkon itu, menanti dengan penasaran warta tentang siapa paus yang baru saja terpilih.
Saat yang dinantikan itu tiba. Di balkon basilika, Kardinal Jean-Louis Tauran berdiri untuk mengumumkan hasil konklaf.
_”Annuntio vobis gaudium magnum, habemus papam… Giorgium Marium… Cardinalem Bergoglio…”_ Saya menangkap berapa kata itu dan jadi tahu bahwa Kardinal Bergoglio terpilih.
Tuhan Allah, apa yang saya harapkan sungguh terjadi! Kardinal sederhana dan peduli orang miskin dari bumi Amerika Latin itu terpilih sebagai pewaris Takhta Petrus.
Hal lain yang juga diumumkan Kardinal Tauran malam itu adalah nama paus yang dipilih Kardinal Bergoglio, yaitu Fransiskus. Nama ini sempat memicu kebingungan: yang dimaksud Fransiskus Xaverius, Fransiskus dari Asisi, atau Fransiskus dari Sales? Menjadi jelas kemudian, nama Fransiskus mengacu ke Santo Fransiskus dari Asisi.
Tak lama setelah Kardinal Tauran meninggalkan balkon, Paus Fransiskus muncul untuk menyapa umat, menyampaikan pesan perdana, dan memberi berkat. Ia tampil dalam pakaian sehari-hari seorang paus: hanya mengenakan jubah putih, _zucchetto_ (kopiah) putih, dan kalung salib. ia tidak memakai _mozzetta_ (mantel penutup bahu) merah dan stola merah yang lazim dipakai seorang paus dalam seremoni penting kepausan. Stola merah dikenakannya malam itu hanya saat ia memberi berkat.
_”Fratelli e Sorelle, buonasera_ (Saudara dan Saudari, selamat malam),” sapa Paus Fransiskus dalam bahasa Italia. Sapaan pembuka yang sederhana dan informal itu disambut teriakan membahana dari umat dan pengunjung di Lapangan Santo Petrus yang diperkirakan mencapai 150.000 orang.
Pada bagian lain ia menyampaikan ajakan untuk bersama-sama mendoakan Paus Emeritus Benediktus XVI. Ia lalu memimpin doa Bapa Kami, Salam Maria, dan Kemuliaan bagi pendahulunya itu.
Sebelum memberi berkat _Urbi et Orbi_ (untuk kota Roma dan dunia), di luar kelaziman, ia minta didoakan agar Tuhan memberkatinya. “Berdoalah dalam hati untuk saya,” katanya. Setelah menyampaikan permintaan tak lazim itu, ia membungkukkan badan. Lapangan Santo Petrus pun hening sejenak.
Saya terkesan dengan apa yang saya saksikan pada malam 13 September itu. Sapaan pembuka yang sederhana dan informal. Doa Bapa Kami, Salam Maria, dan Kemuliaan yang merupakan doa sehari-hari umat. Lebih-lebih permintaan didoakan dan badan yang membungkuk takzim saat didoakan yang menunjukkan kerendahan hati dan kesederhanaan.
Hal-hal lain yang mengesankan malam itu terungkap pada hari-hari selanjutnya. Di antaranya, penolakan Paus Fransiskus untuk memakai kalung salib emas dan sepatu mahal berwarna merah. Ia memilih tetap mengenakan kalung salib besi yang sudah dikenakannya sejak jadi uskup dan tetap memakai sepatu hitam yang sudah lama dipakainya di Buenos Aires.
Ia juga menolak mengenakan _mozzetta_ merah, simbol otoritas/kuasa paus, yang lazim dikenakan seorang paus dalam acara-acara resmi. Itulah alasan kenapa ia tidak mengenakan mantel penutup bahu itu saat muncul pertama kali di balkon basilika.
Penolakan Paus Fransiskus untuk memakai barang mewah dan simbol status istimewa kembali terlihat pada hari-hari pertama kepausannya. Ia menolak sedan limousin Mercedes Benz antipeluru sebagai kendaraannya dan memilih menggunakan mobil murah berukuran kecil.
Seperti di Buenos Aires, ia juga menolak tinggal di kediaman paus di Istana Apostolik dan memilih tinggal di Wisma Santa Marta, _guest house_ untuk klerus yang berurusan resmi di Vatikan dan tamu Takhta Suci. Kediamannya di wisma ini terdiri dari tiga kamar: kamar tamu, kamar baca kecil, dan kamar tidur kecil. Amat sederhana untuk seorang kepala negara, untuk seorang paus.
Nama Fransiskus yang dipilihnya mengacu pada Santu Fransiskus Asisi, seorang kudus besar dalam Gereja Katolik. Pendiri Ordo Saudara Dina (OFM) itu memilih hidup miskin demi meneladani Kristus yang miskin. Ia mempersembahkan hidupnya untuk melayani orang lain, terutama yang paling membutuhkan.
Kepada para jurnalis yang meliput pemilihan paus, Paus Fransiskus mengisahkan bagaimana ia sampai pada keputusan untuk menggunakan nama Fransiskus. Ia menuturkan bahwa saat penghitungan suara berlangsung dalam konklaf dan dirinya sudah pasti terpilih, Kardinal Claudio Hummes memeluknya dan berbisik, “Jangan lupakan orang miskin.”
Hatinya tersentuh oleh bisikan sahabatnya dari Brasil itu. Segera muncul dalam benaknya sosok Fransiskus Asisi, manusia bersahaja pencinta orang miskin. Ia pun memutuskan untuk memakai nama Fransiskus sebagai nama kepausannya.
Nama pilihan Paus Fransiskus itu sejalan dengan kesederhanaan hidupnya, dengan kepeduliannya pada orang kecil. Nama itu sekaligus menyatakan wajah gereja yang diinginkannya. Kepada para jurnalis yang meliput pemilihan paus ia mengatakan, “Betapa saya mencintai gereja yang miskin, gereja yang peduli orang miskin”. Paus Jesuit itu menginginkan gereja berwajah Fransiskus Asisi, gereja yang “Fransiskan”.
Cerita tentang Paus Fransiskus di atas adalah cerita masa lalu yang saya peroleh dari tayangan televisi pada malam ia terpilih sebagai paus, dari berita media pada hari-hari sebelum dan setelah ia terpilih. Kunjungannya ke Tanah Air mendorong saya menulis cerita itu.
Cerita silam itu tidak usang diceritakan sekarang. Toh, Paus Fransiskus masih seperti yang dulu: sederhana dan peduli pada orang-orang kecil. Itu cara hidupnya, cara hidup yang patut dicontoh warga gereja, lebih-lebih kaum klerus yang dipanggil menjadi pelayan umat.
Dalam lawatan tiga harinya di Jakarta, Paus Fransiskus menyentuh hati banyak orang. Membekas dalam sanubari kesahajaannya, begitu pun kehangatannya dengan siapapun yang berjumpa dengannya. Lawatannya membawa kegembiraan besar bagi umat Katolik Indonesia, bagi Indonesia.
Saya bersyukur atas lawatan itu. Saya bersyukur memiliki Paus Fransiskus, Paus yang “Fransiskan”. Semoga Tuhan Mahakasih senantiasa melindungi dan menguatkannya.***