RUTENG, BERITA FLORES- Gelombang penolakan Warga Poco Leok di Kecamatan Satarmese, Kabupaten Manggaai, Flores, NTT, terhadap kehadiran proyek geothermal semakin menguat di tengah upaya paksa pihak PLN yang meminta warga agar menerima proyek itu.
Kondisi itu memantik komentar dari Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WAHLI) Cabang NTT, Umbu Wulang Tanaamahu Paranggi. Ia mengatakan, perjuangan warga Poco Leok dijamin konstitusi.
Sedangkan upaya membatasi dan atau melumpuhkan resistensi warga dengan cara-cara kekerasan, selain melanggar hukum juga mendelegitimasi makna strategis dalam proyek itu sendiri.
“Pasal 66 UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH) menyebutkan bahwa setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata,” ujarnya kepada wartawan pada Selasa, (27/6).
Menurutnya, industri tambang panas bumi sering kali mengandalkan kekerasan terorganisir untuk memaksa rakyat menerima kehadiran proyek, memberikan konfirmasi bahwa proyek panas bumi di Poco Leok dan wilayah lainnya di Indonesia adalah investasi paksa.
“Industri panas bumi yang digadang-gadang bersih justru adalah sumber energi kotor karena mengabaikan hak tolak warga, meniadakan hak warga atas tanah dan menihilkan aspirasi warga. Inilah jadinya kalau kebutuhan jenis energi ditentukan secara sepihak dan top down oleh pengambil kebijakan,” katanya.
Selain itu, ia menegaskan bahwa panas bumi di Poco Leok menumbalkan ruang hidup warga di wilayah tersebut yang diklaim ‘ramah lingkungan’.
“Situasi di Poco Leok dan berbagai wilayah pembongkaran panas bumi lainnya di Indonesia menunjukkan betapa warga dan ruang hidupnya ditumbalkan untuk sesuatu yang diklaim ‘ramah lingkungan’ dan strategis bagi kepentingan nasional,” imbuh dia.
Lebih lanjut ia mengatakan, label strategis yang disematkan kepada proyek panas bumi itu, tidak bisa dijadikan justifikasi untuk merampas tanah rakyat, berikut melakukan intimidasi dan teror, serta kekerasan fisik kepada warga yang mempertahankan haknya atas ruang hidup.
Sementara itu, Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) meminta pemerintah dan PLN menghentikan rencana proyek geotermal di wialayah Poco Leok.
“Sudah seharusnya agenda proyek tersebut dihentikan dengan berdasar pada perspektif lingkungan yang utuh,” kata Kepala Divisi Hukum Jatam, Muhammad Jamil kepada wartawan pada Minggu, (11/6).
Jamil menilai, pemaksaan pertambangan panas bumi di Poco Leok dengan kondisi yang eksisting sangat rawan terhadap bencana gempa dan tanah longsor.
“Sesungguhnya masuk kategori abnormally dangerous activity yang dalam teori hukum lingkungan harus ‘dilarang’ untuk dilakukan karena akan mengancam kehidupan seluruh makhluk hidup di atasnya, baik flora, fauna, maupun manusianya,” terangnya.
Menurutnya, dalam teori falsifikasi Karl Popper menyatakan, menguatnya kebenaran bukan karena sifat dari kebenaran itu sendiri, tetapi eliminasi-eliminasi terhadap kesalahan.
Jamil berpendapat, meski pemerintah, PLN, dan pelaku bisnis pertambangan panas bumi di wilayah Poco Leok mengklaim bahwa pemboran tidak berdampak bagi masyarakat maupun lingkungan, namun hal itu sifatnya sangat spekulatif dan berisiko.
Buktinya, lanjut Jamil, banyak kesalahan yang sengaja diabaikan. “Hal ini sudah menghina akal sehat kita. Kami akan menentang kebijakan ini dengan menggunakan perspektif korban,” pungkasnya.
Kegelisahan Warga Poco Leok terhadap Kehadiran Geothermal
Proyek geothermal di Poco Leok yang berkapasitas 2×20 MW merupakan proyek perluasan panas bumi dari Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Ulumbu dengan kapasitas 10 Megawatt yang beroperasi sejak 2012 lalu.
Proyek yang saat ini masih menuai polemik itu dilakukan dalam rangka memenuhi target menaikkan kapasitas dari 7,5 MW saat ini menjadi 40 MW.
Data yang dihimpun Beritaflores.com, proyek perluasan itu terbagi dalam empat wellpad. Diantaranya wellpad D berada di tanah ulayat atau Lingko Tanggong milik warga Gendang Lungar, wellpad F di Lingko Rembong milik Warga Gendang Ncamar, dan wellpad G di Lingko Lapang milik Gendang Mocok. Sementara wellpad E yang diduga berada di Lingko Pinis milik Gendang Lelak belum berhasil ditelusuri.
Lalu penelusuran wartawan beberapa bulan belakangan, salah satu titik yang bakal dibor atau wellpad F di Ncamar sangat berdekatan dengan pemukiman warga Gendang Ncamar, Desa Lungar, Kecamatan Satar Mese.
Wellpad tersebut terletak di puncak bukit yang cukup curam, sekitar 50 meter dari pekuburan dan 100 meter dari rumah warga yang berada di titik yang lebih rendah.
“Beo dami one ngampang, tambang keta eme lus cepisa (Kami punya kampung di curam, apalagi kalau suatu saat terjadi longsor),” kata Habentus Harun, warga Nderu yang pernah mengalami korban longsor tahun 2021 kepada wartawan awal Maret lalu.
Kampung yang dihuni Habentus Harun itu terletak di lereng timur bukit Ncamar.
“Bo tiba seng gampang, tapi poli boa dise nene (Kalau terima uang gampang, tapi kubur nenek moyang habis),” ucapnya.
Sementara, ratusan warga berasal dari beberapa gendang atau komunitas adat, seperti Lungar, Tere, Rebak, Racang, Mucu, dan Cako terus berupaya melakukan pengadangan terhadap Perusahaan Listrik Negara (PLN), Badan Pertahanan Negara (BPN), dan warga yang pro dengan proyek itu agar tidak menancap pilar di Lingko Tanggong.
Lingko Tanggong merupakan tanah ulayat gendang Lungar yang sekarang menjadi target pengeboran proyek perluasan PLTP Ulumbu. Jarak lokasi ini dengan Kampung Tere kurang lebih sekitar 700 meter.
Namun, dari tempat itu juga sangat berdekatan dengan Lingko Kelang. Meskipun hanya empat rumah warga, jarak lingko tersebut dengan lokasi pengeboran wallpad D sekitar 200-an meter.
Akan tetapi, warga yang dengan mudah memberikan tanahnya di lokasi pengeboran ini yakni mereka yang tinggal di Wae Koe di pesisir pantai selatan Flores.
Kampung tersebut merupakan pemekaran dari Gendang Lungar dengan jaraknya ke Lingko Tanggong kurang lebih 7-10 kilometer.
Kemudian, Februari lalu, warga mengadang Bupati Manggarai, Hery Nabit yang telah menerbitkan izin lokasi proyek pada Desember 2022.
Sejak awal, upaya paksa pemerintah dan perusahaan untuk memperluas wilayah pengeboran geothermal Ulumbu ke wilayah Poco Leok ditentang warga.
Bagi warga, keputusan Menteri ESDM Nomor 2268 K/30/MEM/2017 tentang penetapan Pulau Flores sebagai pulau panas bumi, adalah keputusan cacat, dilakukan secara ugal-ugalan, tanpa konsultasi dengan warga sebagai pemilik sah atas tanah.
“Keputusan itu memicu perampasan lahan, penghancuran wilayah pangan dan sumber air, serta kawasan hutan, hingga mengancam kesehatan warga akibat paparan hidrogen sulfida (H2S) dari operasi geothermal,” terang Agustinus Sukarno pada pertengahan Juni.
Sejauh pengamatannya, rencana pembongkaran sejumlah wilayah untuk perluasan operasi tambang geotermal juga berpotensi memicu bencana gempa, mengingat Flores masuk dalam kawasan ring of fire.
Warga Poco Leok sendiri mengaku cemas, setelah melihat langsung daya rusak tambang panas bumi di Mataloko dan di Sorik Marapi, Mandailing Natal yang telah menelan korban jiwa akibat terpapar H2S.
“Di Mataloko, operasi tambang geothermal menyebabkan semburan lumpur panas keluar. Sawah-sawah warga terendam, sumber air tercemar, ladang jagung dan umbi-umbian tak lagi bisa dikelola. Atap seng rumah-rumah warga pun karatan,” ungkapnya.
Sementara di Mandailing Natal, lanjutnya, operasi geothermal oleh PT Sorik Marapi Geotermal Power (SMGP) telah menyebabkan lima orang tewas, dan ratusan lainnya masuk Rumah Sakit akibat terpapar Hydrogen Sulfide (H2S).
“Warga Poco Leok pun mendesak Bupati Manggarai Herry Nabit dan pemerintah pusat, serta PT PLN untuk mencabut izin lokasi geothermal Poco Leok dan menghentikan seluruh proses perluasan wilayah pengeboran PLTP Ulumbu ke wilayah Poco Leok,” pungkasnya.
Penulis: Heri Mandela