Oleh: Agustinus Patibayu
Minyak goreng akhir-akhir ini menjadi perdebatan publik. Faktor utamanya karena terjadi kelangkaan hingga harga yang melambung tinggi. Pada dasarnya, minyak goreng adalah salah satu kebutuhan pokok manusia yang bersifat multiguna.
Bahan pangan ini kandungan utamanya secara umum adalah asam lemak yang terdiri dari asam lemak jenuh (saturated fatty acids) misalnya asam plamitat, asam stearat dan asam lemak tak jenuh (unsaturated fatty acids) misalnya asam oleat (Omega 9) dan asam linoleat (Omega 6). Pemanfaatannya untuk menggoreng.
Melambungnya harga minyak goreng tersebut membuat masyarakat merasa gerah. Kerugian negara akibat kenaikan harga minyak goreng mencapai Rp3,38 triliun. Kerugian ini merupakan akumulasi dari selisih harga rata-rata minyak goreng pada periode April 2021-Januari 2022 dibandingkan dengan sebelumnya.
Masyarakat pun mengeluh terlebih para penjual gorengan, warung makan dan para ibu rumah tangga pun melayangkan protes atas anomali keberadaan minyak goreng itu. Betapa tidak, kelangkaan di pasaran baik supermarket maupun pasar tradisional tak bisa dibendung. Setelah pihak berwajib telusuri secara mendalam, ternyata ada penimbunan oleh oknum tertentu. Miris.
Selain itu, melonjaknya harga minyak goreng diketahui dipengaruhi beberapa faktor yakni turunnya panen sawit pada semester kedua. Akibatnya, ketika terjadi kenaikan harga CPO internasional, harga CPO di dalam negeri turut menyesuaikan harga internasional. Adapun, ketersediaan minyak goreng per 25 Oktober 2021 mencapai 628.640 ton dengan ketahanan 1,49 bulan.
Lalu melonjaknya harga minyak goreng karena adanya kenaikan permintaan CPO untuk pemenuhan industri biodiesel seiring dengan penerapan kebijakan B30. Melonjaknya harga minyak goreng juga dipengaruhi oleh turunnya pasokan minyak sawit internasional bersamaan dengan produksi sawit di Malaysia yang harganya turun meskipun Malaysia adalah salah satu penghasil minyak sawit terbesar.
Kemudian gangguan logistik selama pandemi Covid-19, seperti berkurangnya jumlah kontainer dan kapal. Sejak berlangsungnya pandemi Covid-19, para pelaku usaha sedang menghadapai masalah kelangkaan kontainer dan keterbatasan ruang atau space di kapal. Muncul penilaian publik bahwa pemerintah tidak berpihak pada masyarakat. Bahkan ada penilaian bahwa ada kartel di balik kenaikan minyak goreng. Misalkan, meskipun pemerintah telah menetapkan HET (Harga Eceran Tertinggi), namun realita di pasar tidak sesuai harga yang ditetapkan.
Hal tersebut pun dikonfirmasi dengan pernyataan Menteri Perdagangan (Mendag) Muhammad Lutfi. Lufti menyebut bahwa ada mafia atau kartel minyak goreng yang mengambil keuntungan pribadi sehingga berbagai kebijakan pemerintah menjadi tumpul. Gayung bersambut, para mafia tersebut pun ditangkap oleh Kejaksaan Agung (Kejagung). Mereka adalah Komisaris PT Wilmar Nabati Indonesia MPT, Senior Manager Corporate Affair Permata Hijau Group (PHG) SM, dan General Manager di Bagian General Affair PT. Musim Mas PTS, Lin Che Wei selaku Penasehat Kebijakan/Analisa pada Independent Research & Advisory Indonesia dan Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri (Dirjen Daglu) Kementerian Perdagangan Indrasari Wisnu Wardhana, Master Parulian Tumanggor.
Jauh sebelumnya, pada tahun 2009, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menangani perkara kartel minyak goreng. Saat itu terdapat 21 pelaku usaha minyak goreng di Indonesia menjadi mafia atau kartel. KPPU menilai praktik tersebut telah melanggar ketentuan pasal 4, pasal 5 dan pasal 11 UUD No. 5 Tahun 1999 tentang larangan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.
Karena hal tersebut dapat mengakibatkan kerugian setidak-tidaknya sebesar Rp1.270.000.000.000,- untuk minyak goreng kemasan bermerek dan Rp374.300.000.000,- untuk produk minyak goreng curah selama periode April 2008 hingga Desember 2008. Padahal, harga minyak goreng dunia turun, malah harga minyak domestik justru melambung tinggi.
Masalah 2009 sudah menjadi kenangan untuk menjadi pelajaran. Lantas bagaimana upaya pemerintah dalam menstabilkan harga minyak goreng di tahun 2022 ini?. Kebijakan patokan harga merupakan tugas pemerintah. Hal tersebut dilakukan untuk menjaga standar kelayakan hidup masyarakat.
Merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS), rata-rata konsumsi minyak goreng per kapita di Indonesia mencapai 10,4 kg per tahun. Namun minyak goreng bukanlah satu-satunya solusi dalam memasak. Merebus makanan merupakan cara terbaik untuk mengurangi pemakaian minyak goreng. Tawaran lain adalah dengan cara dibakar. Justru, terlalu banyak konsumsi minyak dalam tubuh bisa memberi dampak negatif. Salah satunya indikasi penyakit stroke.
Penulis merupakan Mahasiswa Semester 2 Universitas Katolik (Unika) St Paulus Ruteng