RUTENG, BERITA FLORES – Kisah hidup Getrudis Sinar sungguh malang. Usai kepergian suaminya karena meninggal dunia pada 2017 silam, ia harus menafkai 4 orang buah hatinya. Selain urusan sandang dan pangan, janda 52 tahun ini juga harus membiayai pendidikan dua anaknya yang masih di bangku SMP dan SMA.
Kisah kehidupan janda ini menjadi lebih menantang karena anak sulungnya merupakan Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ).
Getrudis saat ini tinggal di Kampung Lawir, Kelurahan Lawir, Kecamatan Langke Rembong, Kabupaten Manggarai, NTT. Dalam sebuah gubuk papan sederhana berukuran 5×6 meter, ia tinggal bersama ke empat orang anaknya.
Anak sulung laki-laki berusia 24 tahun menderita gangguan jiwa sejak 2014 silam. Anak keduanya bernama lengkap Agustinus Handrivan (21) hanya bisa disekolahkan sampai bangku SMA. Hingga saat ini Agustinus belum mendapatkan pekerjaan.
Ia masih berusaha keras mencari pekerjaan untuk membantu ibunya menafkahi keluarga. Sedangkan dua yang tearakhir, Theresia Angelita Jehuman (17) dan Yohanes Jehuman masih menempuh pendidikan SMA dan SMP. Meski begitu, Getrudis hanya membayar uang komite untuk anak yang masih SMP, sedangkan anaknya yang SMA masih gratis.
Wartawan mengunjungi Getrudis pada Rabu, 29 September 2021. Awak media menjumpainya di kebun wortel peninggalan almarhum suami yang terletak tidak jauh dari rumahnya di Lawir. Saat itu hari sudah mulai gelap. Getrudis masih sibuk mengais rumput yang tumbuh di sela-sela tanaman wortel.
“Anak, ini satu-satunya kebun peninggalan ayah kami almarhum Bonefasius Jehuman,” ungkapnya sembari menghela nafas panjang.
Di kebun berukuran kurang lebih 12 x 30 meter ini, Getrudis menanam sayur dan wortel. Setelah panen, ia akan menjualnya ke pasar Inpres Ruteng. Satu-satunya kebun yang diandalkan untuk memenuhi seluruh kebutuhan keluarganya. Untuk makan, minum, listrik, air, berobat, perawatan anak ODGJ, pendidikan anak, dan berbagai kebutuhan lainnya.
“Kalau anak-anak libur atau kalau saya tidak lagi di kebun, untuk menambah pendapatan kami menjual bensin eceran. Tidak seberapa anak, tetapi yah untuk tambah-tambah sedikit,” sambungnya sembari mengajak rekan-rekan media ke rumahnya.
Di rumah, Getrudis mengisahkan selama ini belum mendapatkan bantuan dari pemerintah. Kecuali setelah pandemi Covid-19, keluarganya mendapatkan BLT Covid 300 ribu per bulan.
Merawat Anak ODGJ
Tujuh tahun lalu (2014), 3 tahun sebelum ayah mereka meninggal dunia, anak sulung mereka, biasa disapa Gery, tiba-tiba mengamuk. Ia menghancurkan seluruh perabotan rumah. Menyerang orang seisi rumah bahkan mengamuk hingga halaman kampung besar di Lawir. Sejak saat itu, Gery menunjukkan geliat yang tidak seperti biasanya. Mengamuk secara tiba-tiba, murung, tatapan kosong, pergi tanpa arah dan tujuan yang jelas.
Melihat kondisi Gery, Getrudis dan seluruh keluarga kebingungan. “Kami kaget dan tidak mengerti. Anak Gery tiba-tiba berubah,” cerita Getrudis.
Menurut Getrudis, sulit sekali mencaritahu sebab Gery tiba-tiba berprilaku aneh. Tidak ada masalah serius dalam keluarga yang membuatnya tertekan atau depresi, kecuali kalau ada persoalan lain yang dialami Gery yang tidak diceritakan kepada ibu dan ayahnya. Selain itu, dalam keluarganya belum ada riwayat ODGJ.
Beberapa tahun sejak pertama kali putra sulungnya mengalami gangguan jiwa, ia meminta bantuan kepada pemerintah Kabupaten Manggarai. Ia sempat mendatangi langsung Bupati Manggarai Deno Kamelus.
“Saat itu bapa Bupati bantu kami berobat ke Makasar, Sulawesi Selatan. Gery diperiksa oleh psikiater. Ia dinyatakan mengalami gangguan jiwa. Semua ongkos, mulai dari transportasi, makan, hingga pemeriksaan dan obat-obatan ditanggung pemerintah,” tutur Getrudis.
Sepulang dari Makasar, Gery dititipkan di Panti Rehabilitasi ODGJ Renceng Mose, Manggarai. Seluruh biaya ditanggung pemerintah. Menurut Getrudis, selama ditangani Panti Renceng Mose, Gery sempat membaik. Tidak banyak berontak. Namun naas bagi Getrudis, bantuan pemerintah untuk biaya perawatan Gery berhenti pada 2019. Selanjutnya ia harus membiayai sendiri.
“Anak, setiap bulan saya harus cari uang kurang lebih dua juta rupiah untuk Gery selama di Renceng Mose. Satu dua bulan pertama saya bisa, tetapi selanjutnya tidak bisa lagi. Saya tidak tau harus cari di mana lagi,” ungkap Getrudis dengan bergelimang air mata.
Akhirnya, Getrudis memutuskan untuk merawat Gery di rumah. Bukan solusi yang tepat tentunya. Tetapi ia tak punya pilihan lain. Setidaknya, saat di rumah, Getrudis hanya membiayai obat Gery sebesar Rp500 ribu per bulan. Untuk mandi atau makan, bisa diurus bersama anak-anaknya yang lain.
Hampir 2 tahun sudah Gery dirawat di rumah. Saat ibunya bisa membeli obat, Gery baik-baik saja. Berdiam di rumah atau sesekali ikut ibunya ke kebun. Namun saat ini, ia tidak sanggup lagi membeli obat, dan kini Gery kerap mengamuk. Bahkan menghancurkan perabot rumah tangga, dan kerap kali menghajar ibunya sendiri serta anggota keluarga yang ada di rumah. Hal ini sudah sering terjadi.
Angelina atau biasa juga disapa Enjel, putri Getrudis satu-satunya, bercerita dengan rekan-rekan wartawan soal ibunya. Enjel merasa begitu banyak perubahan pada ibunya sejak kakak sulung Gery kembali ke rumah.
“Kak, akhir-akhir ini mama sering sakit. Minggu lalu dia ke dokter, katanya ada gangguan di hati. Mama pernah kena struk ringan. Kami tau, mama sudah lelah sekali, tetapi ia tidak pernah cerita kepada kami,” cerita Enjel.
Menurut Enjel, beban kehidupan keluarganya memang makin hari makin berat. Ibunya berjuang sendiri. Untuk membiayai kebutuhan makanan, pendidikan, dan obat kakak sulung. Ia berharap, kelak pemerintah atau siapa pun bisa membantu meringankan beban hidup keluarganya, terutama biaya untuk perawatan kakak sulungnya. (IJ/RED).