Oleh: Rofinus Taruna Baru
Istilah Dana Desa sendiri pertama kali muncul secara resmi dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Pasal 72 tentang Desa sebagai satu dari tujuh sumber pendapatan desa. Sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, pemerintah mengalokasikan Dana Desa, melalui mekanisme transfer kepada Kabupaten/Kota. Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian mengatakan, pemerintah telah menetapkan alokasi besaran dana desa sebesar Rp.960 juta untuk setiap desa. Secara total pemerintah mengalokasikan anggaran dana desa sebesar Rp.72 triliun pada 2020 (KOMPAS.com ).
Perbedaan Dana Desa dan Alokasi Dana Desa terdapat pada sumber dananya. Dana Desa bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), sedangkan Alokasi Dana Desa bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yaitu minimal sebesar 10% dari Dana Alokasi Umum (DAU) ditambah Dana Bagi Hasil (DBH).
Anggaran dana desa untuk tahun 2020 sebesar Rp.72 triliun. Jumlah itu naik Rp.2 triliun dari tahun 2019 yang hanya berkisar Rp.70 triliun. Dana Desa sudah cair sebesar Rp.2,07 Triliun untuk 5.086 Desa. Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan melaporkan realisasi transfer ke daerah dan dana desa per 6 Maret 2020. Untuk dana desa tahap I sudah disalurkan sebesar Rp.2,07 triliun kepada 5.086 desa.
Berdasarkan alokasi Dana tersebut, maka tiap Kabupaten/Kota mengalokasikannya kepada setiap desa berdasarkan jumlah desa dengan memperhatikan jumlah penduduk (30%), luas wilayah (20%), dan angka kemiskinan (50%). Kementerian Keuangan resmi merevisi ketentuan pengelolaan dana desa melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 205/2019. Melalui peraturan ini, skema penyaluran dana desa berubah menjadi pada tahap I sebesar 40%, tahap II sebesar 40%, dan tahap III sebesar 20%. (Bisnis.com).
Pada dasarnya, tujuan pengalokasian Dana Desa adalah meningkatkan pelayanan publik, mengentaskan kemiskinan, memajukan perekonomian desa, mengatasi kesenjangan antar desa, dan memperkuat masyarakat desa. Dana Desa sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 72 ayat 2 Undang-Undang nomor 6 tahun 2014 tentang desa harus dijalankan sesuai ketentuan perundangan, Undang-Undang nomor 6 Tahun 2014 tentang desa lahir karena sebagai tonggak bagi keberpihakan negara terhadap desa. Discourse penghapusan Dana Desa menimbulkan Pro dan Kontra di tengah publik.
Pro dan Kontra Penghapusan Dana Desa
Penetapan atas Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) nomor 1 tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan/atau dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan. Yang kemudian disahkan menjadi Undang-Undang nomor 2 tahun 2020 oleh presiden RI 16 Mei 2020 (JATIMPOS.CO./MADIUN). Tentu saja hal ini akan berimbahas kepada Dana Desa ( dalam hal ini Dana Desa yang diterima sebelumnya oleh desa dengan besarannya masing-masing, maka tidak lagi dilakukan).
Pasal 28 ayat 8 yang tertera di Undang-Undang nomor 2 tahun 2020 yang berbunyi, ” Pasal 72 ayat 2 beserta penjelasanya Undang-Undang nomor 6 tahun 2014 tentang Desa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5495). Dinyatakan tidak berlaku sepanjang berkaitan dengan kebijakan keuangan negara untuk penanganan penyebaran Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dan atau dalam rangka menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan atau stabilitas sistem keuangan berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini.” Secara tidak langsung pasal ini Dana Desa dihapus.
Sedangkan terkait Undang-Undang nomor 6 tahun 2014 pasal 72 ayat 2 yang berbunyi “Alokasi anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf b bersumber dari belanja pusat dengan mengefektifkan program yang berbasis desa secara merata dan berkeadilan, serta pasal 72 ayat 1 huruf b yang menjelasakan pendapatan desa sebagaimana dimaksud dalam pasal 71 ayat 2 bersumber dari Alokasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara”. Kaidah hukum Pasal 72 ayat (2) Undang-Undang nomor 6 tahun 2014 tentang desa memang secara pengetahuan, historis dan pragmatis merupakan hukum yang melegitimasi spirit Dana Desa sebagai Hak Rakyat Desa. Asas hukumnya jelas rekognisi dan subsidiaritas.
Penghapusan Dana Desa menimbulkan pro dan kontra. Dari pihak pro sendiri ada beberapa pendapat yang menjadi alasan utama untuk Penghapusan Dana Desa. Pertama, sebagaimana dilansir (https://kumparan.com/florespedia 27 februari 2018) Sebanyak 24 kepala desa di Nusa Tenggara Timur (NTT) terbukti melakukan korupsi Dana Desa dan Alokasi Dana Desa (ADD). Akibatnya negara rugi hingga miliaran rupiah. Dari jumlah ini, sebagian besar perkara korupsi yang menyeret para Kades/Penjabat Kades tersebut telah diputus dan berkekuatan hukum tetap (inkcraht). Berdasarkan peristiwa diatas pihak pro mendukung penghapusan Dana Desa. Kedua, akibat adanya Dana Desa ini juga masyarakat dan Pemerintah Desa saling berkonflik dan bahkan sampai berujung tindakan kekerasaan.
Sebaliknya dari pihak kontra ada beberapa alasan untuk memilih tidak mendukung Penghapusan Dana Desa diantaranya: Pertama, hal ini ditandai dua kepala desa di Kabupaten Ngawi, Jawa Timur, yakni Triono dan Suyanto mengajukan uji materi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang penanganan pandemi Covid-19 ke Mahkamah Konstitusi (Republika.co.id). Kedua, Pembangunan di Desa tidak akan berjalan. Ketiga, Kegiatan Pemerintah Desa yang menggunakan Dana Desa tidak berjalan. Keempat, Desa akan kembali seperti semula (dalam hal ini desa tidak akan maju).
Memutus Mata Rantai Penghapusan Dana Desa
Jika hal ini dibiarkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes) akan turun hingga 50 persen. Praktis sumber APBDes hanya berasal dari Alokasi Dana Desa (ADD) dan Pendapatan Asli Desa (PADes). Dampaknya desa akan sulit melakukan pembangunan dan penghasilan perangkat akan turun drastis. Mengingat Dana Desa sangat penting bagi pembangunan desa seperti penyediaan fasilitas PAUD dan perbaikan jalan desa yang berlubang. Ketika dana desa itu tiba-tiba dihapuskan maka Undang-Undang nomor 6 tahun 2014 tentang desa menjadi tidak berdiri lagi. Sehingga infrastruktur pembangunan-pembangunan di pedesaan tidak bisa dilaksanakan termasuk dalam hal ini nawa cita presiden Joko Widodo “Membangun Indonesia dari Pinggiran”.
Saya menawarkan solusi agar tidak terjadinya Penghapusan Dana Desa diantaranya: pertama, Pemerintah pusat regulasi yang di susun pun menghasilkan sistem pengelolaan dana desa yang yang efektif, efisien dan akuntabel, sehingga tujuan pemerintahan melalui pengalokasian dana desa dapat terwujud. Kedua, Memperkuat lembaga Komisi Pemberatasan Korupsi (KPK) untuk menghindari prilaku korupsi dana desa tersebut. Ketiga, Pemerintah bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) melakukan sosialisasi kepada masyarakat luas (dalam hal ini maksud dan tujuan Undang-Undang tersebut dibuat) agar tidak menimbulkan kecemasan dan kepanikan ditengah masyarakat desa. Keempat, Pemerintah desa, masyarakat desa dan lembaga peduli desa saling bersinergi untuk sama-sama menyampaikan aspirasi serta meminta kejelasan dari Undang-Undang tersebut. Kelima, memangkas dana dari lembaga/instansi lain.
Penulis adalah Sarjana Ilmu Pemerintahan STPMD ‘APMD’ Yogyakarta, Anggota GMNI Komisariat STPMD ‘APMD’ Yogyakarta 2017-2018, sekaligus Mantan Wakil Ketua Korps Mahasiswa Ilmu Pemerintahan (KOMAP) STPMD “APMD” Yogyakarta 2018-2019.