Oleh: Yohanes Silik
Membangun kebaikan di tengah pertentangan yang semakin hebat telah menjadi keharusan saat ini. Ketika tatanan kita kian tereduksi ke dalam ketidakpastian dan otonomitas serentak ambruk dalam kegamangan, kita diharuskan untuk melakukan perbaikan dari dalam secara radikal, total dan otentik.
Radikalitas, totalitas dan otentisitas perbaikan internal sejatinya mampu menghadirkan kembali energi otoritas ke dalam ruang tatanan yang telah terkikis, agar kehidupan bersama kita tidak lagi terkungkung dalam penjara kehancuran.
Dalam bukunya The Great Disruption, Fukuyama menghadirkan coretan-coretan kritis tentang refleksi tatanan yang semakin gamang dalam menata diri. Perjalanan tatanan selama ini, menurut Fukuyama, telah melakukan peziarahan yang keliru. Ia bergerak distortif tanpa eksodus yang jelas dan bukannya konstruktif ke arah yang tepat.
Fukuyama menyangsikan peradaban yang kini tengah berjalan. Menurutnya, peradaban sekarang telah dipalsukan oleh kerusakan-kerusakan internal yang mendistorsi makna keberadaan tatanan itu sendiri. Barangkali, lanjut Fukuyama, kita telah ditakdirkan untuk hancur, sebab yang terjadi bukanlah refleksi mendalam terhadap perjalanan tatanan, tapi reproduksi kerusakan yang terjadi berulang-ulang kali. Di tengah reproduksi itulah, arah kita semakin gamang.
Tidak hanya Fukuyama, John Ralston Saul dalam bukunya The New World juga menyuguhkan takdir kehancuran. Menggunakan istilah kevakuman, Saul memaparkan kerusakan tatanan sebagai akibat dari proses yang keliru. Proses keliru yang dimaksud Saul adalah globalisasi yang dilihatnya sebagai hantu tatanan yang menakutkan. Bagi Saul, globalisasi gagal mencapai tatanan. Yang terjadi adalah gerak jatuh yang diperparah oleh kerusakan sosial.
Meski demikian, baik Fukuyama maupun Saul tetap yakin bahwa kehadiran baru yang lahir dari optimalisasi akan kondisi kekurangan dan kerinduan besar akan kebaikan bersama selalu menjadi energi yang baik, yang darinya semua orang berusaha untuk terus-menerus mencari dan membentuk format yang baik.
Seperti The Great Disruption Fukuyama, dalam The New World-nya, Saul memaparkan kevakuman tatanan yang terkapar bersimbah peluh kehancuran sebagai akibat dari krisis sosial yakni distrust (ketidakpercayaan). Masyarakat sudah hidup dalam ketidakpercayaan sehingga tatanan menjadi begitu hambar.
Di tengah kondisi yang ada saat ini, mestinya kita menata ruang bersama kita sebagai tempat yang otentik. Aktus membangsa dan menegara kita sejatinya merupakan keharusan reflektif yang terus-menerus menegaskan otoritas, guna mengaktifkan kembali energi kepercayaan ketimbang menghadirkan leluconan politik berujung rentetan tragedi. Tak ada gunanya merajut segala ketidakberdayaan di tengah perjalanan membangsa dan menegara yang terus mengejar mimpi besar bersama. Toh, pada akhirnya kitalah yang dirugikan.
Refleksivitas harusnya menghadirkan ruang-ruang inklusi secara riil dan otentik dalam bingkai tatanan Indonesia yang utuh. Itu berarti ruang tatanan kita tidak bisa dimaknai sebagai ruang ekslusif dikotomis. Tatanan kita mestinya menjadi ruang bersama yang di dalamnya kaya akan kehadiran yang otentik yang beralaskan modal sosial yang kuat.
Seperti yang diutarakan Fukuyama dan Saul di atas bahwasanya distorsi tatanan yang direproduksi secara negatif mestinya dibendung dengan energi refleksi yang jernih. Tatanan yang menyuguhkan takdir kehancuran (sebagaimana yang dipertanyakan oleh Fukuyama) mestinya diberdayakan sebagai ruang perawatan yang baik, bukan sebaliknya menghadirkan kelesuan yang kosong yang membawa kita pada kegamangan.
Persisi di titik kesadaran inilah, kita paham bahwa menjadi negara yang paripurna tentu saja tidak bisa dibangun di atas praktik eksklusif yang mempertontonkan segala kedangkalan. Ruang bersama kita mestinya menjadi kebersamaan yang erat yang dibangun di atas kesadaran modern yang dialogis.
Kesadaran modern dialogis mengandaikan adanya keterbukaan dan penghormatan riil sebagai daya tahan bagi kekokohan bersama. Setidak-tidaknya, kita insaf bahwa keparipurnaan kita tidak lagi disalahartikan sebagai kepura-puraan yang justru membelenggu tatanan Indonesia kita.
Sebagaimana yang diutarakan Fukuyama bahwa mengidamkan tatanan yang baik berarti melakukan upaya rekonsiliasi sosial melalui sebuah proses rekonstitusi tatanan sosial. Dalam rekonstitusi tatanan sosial, Fukuyama menyarankan pentingnya kembali kepada hakikat kemanusiaan kita. Ya, Fukuyama benar. Ini adalah aktivitas mendasar untuk memeriksa sekaligus menuntaskan kembali keadaan dasar kita yang harus dilakukan secara tuntas sebelum kita benar-benar merekonstitusi tatanan sosial menuju cita-cita kemerdekaan yang seutuhnya.
Dalam terang pemikiran demikian, memaknai Indonesia berarti melakukan perawatan tatanan yang baik yang dibangun di atas kesadaran otentik yang jernih, yang berpulang kembali kepada refleksi hakikat kemanusiaan kita sebagai manusia Indonesia. Di dasar refleksivitas itu, Pancasila hadir sebagai energi otentik yang menyediakan otoritas refleksi dalam kemungkinan keutuhan perawatan.
Dengan kalimat lain, Pancasila sejatinya menyediakan energi refleksivitas otentik untuk menyelam di kedalaman hakikat tentang unsur dasar kemanusiaan manusia Indonesia sekaligus sebagai gerakan/jalan rekonstitusi tatanan sosial Indonesia. Tidak mudah memang, namun itulah yang harus kita lakukan bersama.
Oleh karena itu, jika kita tidak ingin menjadi bagian dari yang ditakdirkan untuk mengalami kehancuran tatanan atau kevakuman, maka semestinya kita mengaktifkan kembali otonomitas membangsa dan menegara kita di atas alas sosial yang kuat melalui jalan kembali yang otentik, yakni hakikat kemanusiaan kita sebagai manusia Indonesia. Angin buruk akan berhembus. Tapi, kita tak harus terhempas.
Itulah kemerdekaan kita, sebuah kemerdekaan yang menjadi kebangkitan otentik kita yang tidak dibelenggu oleh kegagalan otoritas dalam keseluruhan gerak dinamis membangsa dan menegara, dengan segala macam tantangan dan peluang yang ada baik dari dalam maupun dari luar. Selamat hari kemerdekaan. Jayalah Indonesia.
*Yohanes Silik merupakan warga Maumere kini tinggal di Nangameting, berminat pada tema-tema diskusi mengenai kebangsaan, sosial, politik dan pemerintahan*