Oleh: Kanisius Teobaldus Deki, S.Fil., M.Th
Membeli orang, adakah? Benarkah? Itulah pertanyaan yang diajukan ketika “membeli orang” menjadi kenyataan. Jika dulu era kolonial manusia dibeli untuk dijadikan budak, zaman sekarang, dalam pesta demokrasi orang-orang dibeli dengan kisaran rupiah mulai dari Rp. 300.000 hingga Rp. 1.500.000 per orang. Asal saja orang-orang ini mau memberikan suaranya mendukung pemilik uang. “Tidak hanya di kota, sampai kampung kamipun fakta ini terjadi”, kata seorang kawan.
Alhasil, pembeli orang-orang ini meraih suara terbanyak dalam event demokrasi lokal kali ini. Slogan-slogan komunitas untuk “bersatu membangun secara bersama” terpental begitu mudah dihadapan gemerlapan sejumlah rupiah. Entitas seperti keluarga, teman, rekan seperjuangan, menjadi lemah di depan lembar-lembar rupiah. Sementara itu, orang-orang menyangsikan dengan belajar bertanya: benarkah? mana buktinya? bukankah Bawaslu, kepolisian dan aparat penegak hukum sudah sigap? Permainan ini begitu rapih, menggunakan “jaringan lingkar dalam komunitas dan keluarga” sehingga sulit terdeteksi mata semua pihak tadi.
Bahkah lebih krusial lagi, dengan menghalalkan segala cara, para perakus kekuasaan rela mengorbankan anak-anak di bawah umur untuk dijadikan sarana pemenangan sehingga menghasilkan keputusan PSU (Pemilihan Suara Ulang). Apakah dengan selesainya PSU masalah substansial keterlibatan anak-anak di bawah umur selesai? Itulah tugas aparat, KPUD, Bawaslu dan semua masyarakat untuk terus mengejar substansi masalah sampai actor-aktor di balik peristiwa itu terkuak.
PSU ini membawa duka bagi yang sudah mendulang suara banyak tanpa uang. Hampir saja pesta kemenangan dirayakan komunitas. Kegembiraan itu menjadi redup saat orang-orang di TPS. PSU membentangkan angka rupiah. Di sana pertarungan pemilik modal menjadi ajang unjuk kekuatan. Akhir dari episode ini sudah bisa dibayangkan: yang keluar sebagai pemenang adalah para pembeli orang.
Posisi Dilematis
Pembeli orang-orang ini dimungkinkan oleh dua soal. Soal pertama, oleh karena kemiskinannya masyarakat kita mau dibeli. Ada kerelaan dalam keterpaksaan. Melewatkan uang yang diberi dengan percuma berarti menghilangkan karung beras yang sedianya ada tanpa kerja keras. Apa sih “harga diri” itu daripada ketiadaan makanan? Pertanyaan retoris yang membenarkan dalil penerimaan uang tanpa usaha. Dengan kata lain, sebagai orang miskin, apakah kami “masih ada” harga diri?
Soal kedua, munculnya para “kaki tangan” pembeli orang di tengah komunitas dan keluarga. Mereka adalah “orang-orang dalam” yang tak perlu dicurigai saat bertamu ke keluarga. Orang yang tak patut dijadikan syak dan prasangka saat bertandang ke tetangga. Kalau ada tim buat patroli untuk menjegal pembawa uang membeli orang, hakul yakin itu tak akan berhasil menekuk mereka. Sebab mereka bekerja di ruang-ruang pribadi dalam rumah dan ikatan kekerabatan yang intim dan sukar terdeteksi.
Di tempat-tempat yang memiliki calon potensial, aksi politik pecah belah (devide et impera) keluarga dan komunitas dimainkan. Mereka memilih aktor politik tandingan untuk memecah belah suara selain menghadirkan kaki tangan pembagi uang. Dalam euforia harapan dan ketibaan rejeki jadi tokoh politis karbitan, orang-orang ini menerimanya sebagai berkat: yang penting jadi salah satu kontestan, soal kepentingan kampung pun komunitas belakangan, siapa tahu rejeki. Ada adu nasib dalam ruang yang seharusnya suci dan pasti untuk memenangkan kesejahteraan banyak orang. Calon-calon ini sebenarnya lebih sebagai pion dan instrumen penampung suara. Resepnya sederhana: diberi sedikit uang dan kerja, selebihnya anda saya kuasai. Mereka juga adalah kaki tangan peraup suara.
“Orang ini tidak ada baliho, tidak diketahui masyarakat yang mana mukanya, tidak ada pertemuan dengan masyarakat, namun suaranya ada di mana-mana”, kisah seorang kawan. “Silent action by money” (pergerakan sunyi melalui uang) nyatanya jauh lebih efektif daripada kampanye dan pendidikaan politik rasional yang meyakinkan pemilih. Inilah ruang yang dimanfaatkan para kaki tangan mereka. “Mereka tidak butuh kata-kata pak, mereka butuh makanan. Kasi uang, selesai perkara”, kata seorang teman memberi kesaksian.
Lebih celaka lagi, para pembeli suara ini adalah pribadi-pribadi misterius di ruang dewan: tanpa suara saat sidang berlangsung, duduk diam dan ada keengganan untuk datang rapat. Bahkan mereka menjadi patung hidup namun penuh drama. Ataupun lantang bersuara namun demi proyek-proyek yang dipaksakan dikerjakan oleh diri, keluarga dan para kroni. Ironisnya, mereka inilah yang tetap terpilih lagi menjadi wakil rakyat!
Nasib Pembeli Orang dan Karma Kehidupan
Saat ini, para pembeli orang tentu tertawa bahagia. Akhirnya, mereka berada di tampuk kekuasaan secara mulus, walau suara yang dikumpulkan adalah hasil pembelian. Tentu, selama 5 tahun ke depan “recovery capital” (pengembalian modal) akan berjalan kembali. Ada cukup waktu selama 5 tahun modal dikembalikan dengan menghalalkan cara. Ringkasnya, modal pemilu harus dikembalikan lagi. Soal nasib masyarakat, itu bukanlah prioritas. Rakyat secara natural akan tetap hidup. Mereka kembali ke siklus biasa: menggantungkan hidup pada Tuhan dan kemurahan akan muncul lagi 5 tahun nanti. Padahal kita tahu pembangunan dan percepatan kesejahteraan adalah kerja yang didisain sedemikian cermat yang dikuantifikasi dengan prioritas-prioritasnya. Itu berarti butuh wakil yang mampu berpikir, cerdas dan memiliki kepentingan rakyat sebagai prioritas.
Bagaimana nasib mereka akhirnya di tengah kemenangan ini? Ada dua kondisi yang akan mereka miliki. Pertama nian, mereka sadar dan tahu juga tak memiliki harga diri. Yang mereka miliki adalah keagungan artifisial, kejayaan penuh kamuflase. Jauh di lubuk hati mereka rasa yang sama dengan orang-orang terbeli: kehampaan yang disebabkan oleh tindakan tidak memercayai diri lagi. Dengan membeli orang berarti membeli suara. Melalui tindakan itu dia ingin menyatakan: kamu tak bisa lagi memercayai saya, percayalah pada uang saya. Dengan kata lain, uang saya lebih memiliki nilai daripada saya!
Kedua, membeli orang bukanlah tindakan terpuji. Membeli manusia adalah tindakan keji yang harus dilawan. Ia memangkas kemerdekaan orang itu. Ia tidak punya kebebasan lagi untuk memilih. Ia dipasung oleh uang yang diberikan. Apa efeknya untuk pembeli suara di masa depan? Sejarah selalu mencatat bahwa perilaku tokoh-tokoh politik yang menyengsarakan orang lain selalu dibalas oleh waktu. Jikalau orang itu masih kuat di saat sekarang, imbasnya akan diterima keturunan dan generasinya. Mereka, keturunan-keturunannya, akan dibeli orang-orang yang lebih kuat suatu saat. Ini adalah kharma kehidupan yang tak kuasa ditolak. Sebuah pembalasan yang stimpal. Demikian juga berlaku bagi para “kaki-kaki tangan” yang rela berkhianat demi rupiah. Mereka akan menerima itu sebagai hadiah di masa tuanya.
Ke Mana Kelompok Rasional?
Jika masyarakat kelas bawah terbeli, apakah kelas menengah dan atas juga demikian? Sebenarnya demokrasi berharap banyak pada kelompok rasional: para sarjana, birokrat, pengajar, jurnalis, budayawan, rohaniwan-rohaniwati, kaum religius, dll. Proporsi mereka lumayan besar untuk memberikan pengaruh kepada masyarakat kelas bawah. Namun mereka juga terkooptasi kepentingan atas macam-macam alasan.
Kelas senam, teman arisan, kelompok badminton, keluarga adalah variable-variabel yang menjadi alasan pilihan menjadi tidak rasional lagi. Ada kesulitan mahaberat untuk membebaskan diri dari elemen-elemen itu. “Seorang religius bahkan rela menipu di salah satu misa di KBG kami bahwa kandidat itu adalah saudarinya. Saudari dari mana? Dia dari Timur, calon itu dari Barat. Padahal kapasitasnya tidak memadai sebagai seorang anggota dewan”, ujar seorang saksi.
Jika harapan pembaharuan itu terletak pada kelompok rasional, hal itu terbantahkan dalam realitas politik. Perlu dikaji lagi, siapa yang dimaksudkan kelompok rasional dalam predikat-predikat yang sudah disebutkan di atas. Selama kelompok rasional juga “terbeli” maka percepatan kemajuan dan kesejhteraan juga tidak bisa dilakukan. Mereka adalah komponen penting yang menjadi rel pembangunan. Walau harus dikatakan: mereka juga pihak yang perlu diterangi supaya bisa menjadi cahaya!
Harapan: Teruslah Berbuat Baik
Lembaga-lembaga seperti agama dan pemerintah yang diharapkan jadi tameng bagi masyarakat kecil menjadi ketiadaan peran strategis di saat-saat perhelatan politik semacam ini. Mereka juga terlimitasi oleh macam-macam alasan klasik. Mereka tersandera oleh berbagai situasi. Sebab, pembeli-pembeli orang ini adalah tokoh bagi agama. Tempat agama meminta belas kasihan untuk aneka bantuan pembangunan. Mereka adalah orang-orang dermawan yang dipuja-puji. Bagi pemerintah, tokoh-tokoh pembeli suara adalah rekan di mana “bargaining position” terjadi: petinggi partai yang padanya mereka menjadi peminta-minta kursi saat politik Pilkada digaungkan kembali. Jika membenamkan harapan pada mereka hasilnya tetap sama: nol.
Jadi, teruslah berbuat baik, melakukan pendidikan politik supaya masyarakat paham mengapa politik itu penting. Bangunlah ekonomi masyarakat supaya dalam kesulitan mereka tidak terdesak dan masih bisa mengikuti nuraninya. Agama mendidik bukan lagi soal surga atau neraka, tetapi memotivasi untuk rajin bekerja, berusaha sehingga memiliki kecukupan. Agama mendorong pemahaman bahwa diri manusia lebih penting dari kemewahan dan apapun. Membeli kita sama artinya dia menghina kita. Mereka adalah penjajah yang sesungguhnya, penjahat, teroris, setan yang sejati. Kecuali kalau cita-cita masyarakat kita memang senang dihina dan dibeli. Toe ngance tombo ga! (Tak bisa berkata-kata lagi!).
Penulis adalah Ketua Lembaga Nusa Bunga Mandiri