Oleh Alfred Tuname*
Pada tahun 2018, Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi merilis 100 Desa Terbaik. Desa terbaik tersebut didominasi oleh desa di dearah Jawa dan Bali. Di NTT, belum ada desa yang masuk kategori terbaik.
Takarannya adalah ketahanan sosial, ketahanan ekonomi dan ketahanan ekologi/lingkungan. Semua diramu dalam Indeks Desa Membangun (IDM). Dari indikator tersebut, agak sulit rasanya desa-desa di NTT meraih posisi desa terbaik. Di NTT, desa-desa masih membangun infrastruktur. Akses (jalan, pelayanan umum dan informasi) dibuka sedemikian rupa sehingga tak ada lagi kelompok masyarakat yang terisolasi.
Dalam proses pengerjaannya, melaui sistem proyek atau swakelola, penggunaan anggaran desa menjadi jebakan yang mematikan. Salah hitung, nasib kepala desa (Kades) bisa butung; salah takar, bisa petaka; salah urus, bisa terjerumus. Itulah tanggung jawab dan risiko seorang pemimpin masyarakat (:Kades). Dalam frasa Prancis disebut noblesse oblige: kekuasaan mendatangkan tanggung jawab.
Dalam konsep tanggung jawab itu, desa telah diberikan (melalui UU Desa) keleluasaan kewenangan yang “diatur” oleh perangkat desa dan “diurus” bersama masyarakat. Makna “diatur” berarti prerogatif kades dan perangkatnya; makna “diurus” berarti ada mekanisme dialogis antara “pejabat” desa dan masyarakatnya. Semua itu dimaksudkan untuk melegitimasi penggunaan dana desa dan merumuskan keadilan bersama.
Oleh karena itu, Kades seharusnya tidak ribet mengatur pemerintahan desa. Cukup sedikit kontrol dan ketegasan, semua program desa akan berjalan baik. Semua hal-hal teknis bisa dikerjakan oleh aparat desa dan operator. BPDes dan masyarakat membantu pemerintah desa untuk merumuskan arah pembangunan.
Aspirasi bisa datang dari masyarakat, ide bisa datang dari Kades. Kades yang bisa menggunakan kekuasaan secara baik, namanya tak lekang di hati dan pikiran masyarakat. Karir politik akan terus menanjak. Artinya, proyek pembangunan desa adalah “rumus identitas” yang sudah melekat dengan kewenangan Kades. Tetapi kreativitas pembangunan tidak harus berhenti di situ. Pikiran Kades harus melampaui “urusan proyek” (beyond the project).
Seorang Kades tak perlu telampau jauh berfokus pada urusan “fisik”. Fokus pada pembangunan manusia dan kebudayaan seharusnya menjadi “focal point” kebijakan desa. Dalam ilmu tata ruang, “focal point” diartikan sebagai satu elemen yang fungsinya untuk memperkuat fungsi ruang, mengarahkan fokus dan mempertajam konsep ruang. Dengan demikian, ketika sisi SDM dan budaya yang lebih ditonjolkan dalam kebijakan desa, maka dengan sendirinya desa dan sang Kades akan menjadi dikenal dan dibanggakan.
Terkait itu, ada yang patut dibanggakan oleh masyarakat desa Bulan, Kecamatan Ruteng, Kabupaten Manggarai. Pada sebuah perbincangan malam di Anam, Desa Bulan, Kades Bulan penuh antusias menceritakan napak tilas program-program desanya. Egan, begitu dia dikenal, dengan tangkas menguraikan prinsip-prinsip kepemimpinannya.
Prinsipnya, mendahulukan kepentingan masyarakat. SDM dan budaya menjadi fokus. Sejalan denga itu, ada pemberdayaan ekonomi masyarakat desa. Yang menarik saat itu adalah pemuda-pemuda Anam, Babinsa dan beberapa tokoh begitu bangga atas kiprah sang Kades.
Sebagai Kades Bulan, Egan hanya bangga apabila masyarakat menikmati hasil kerjanya. Tak hanya pembangunan fisik, berbagai kegiatan kebudayaan dan olah raga masyarakat digalakan. Tenaga dan ide briliannya dicurahkan untuk masyarakat. Tetapi Egan tetap sebagai pria yang sedehana dan jujur.
Berbeda dengan Kades lain, Egan bersama isteri tercintanya tetap menjalakan usaha cetak bata yang menjadi sumber nafkah keluarga. Rumah gedeknya sangat sederhana tetapi pas untuk menerima masyarakat dan pejabat. Istananya bukan rumah, tetapi hati yang mulia untuk membangun masyarakat. Dengan musik, ia menikmati hidupnya sebagai Kades.
Kisah Kades Bulan tersebut sangat janggal untuk didedatkan dengan kisah Kades-Kades lain di bumi nuca lale. Hidup sederhana tetapi ide brilian jarang dijumpai pada Kades. Justru lebih banyak didengar dari cerita Kades lain, bukan ide menjulang, tetapi terjangkal oleh persoalan penggunaan dana desa. Fokus pada pembangunan fisik, membuat para Kades terjerat abuse of power. Kongsi rakus antara Kades, bendahara dan kontraktor berujung pada penyelewengan dana dan proyek abal-abal. Bukan hanya negara, masyarakat juga dirugikan.
Dana desa yang ramah korupsi membuat banyak Kades yang dijebloskan ke penjara. Sebabnya, Kades anti-kritik dan ingin “makan sendiri”. Kades menyikapi kritik dengan resistensi; Kades ingin bangun istana megah di kampung. Hal itu bukan saja memicu kecemburuan sosial, tetapi juga simptom abuse of power. Jika itu terjadi, berapa pun besar uang sogok yang diberikan kepada polisi dan Tipikor, karir politik sang Kades akan habis dikutuk oleh masyarakatnya sendiri.
Penyakit dan musibah memang bisa membunuh banyak masyarakat, tetapi korupsi akan selalu jadi pembunuh peradaban yang bertahun-tahun. Apabila seorang Kades mampu membangun tradisi kepemimpinan yang jujur dan mengangkat budaya masyarakat, ia akan dihormati dan dikenang peradaban selamanya.
Mungkin tak perlu banyak teori lagi. Belajarlah dari Egan, Kades Bulan. Ia muda, sederhana dan jujur. Jari-jari kepemimpinannya meraba setiap hati masyarakat. Ia hanya bekerja mengikuti aturan, aspirasi dan ide yang membangun. Selebihnya, biarkan masyarakat yang menentukan karir politiknya. Bukankah kepemimpinan itu adalah kesuksesan dengan sedikit tawa di wajah banyak orang? Salam.
*) Penulis Buku “le polique” (2018)