Oleh Alfred Tuname
Dalam cerita yang berseliweran, Viktor Bungtilu Laiskodat sudah punya segalanya. Ia punya harta yang digunakan untuk membantu banyak orang; memiliki seorang istri, bunda Julie Sutrisno Lasikodat, yang rendah hati dan kreatif; dan diikuti karir politik yang apik.
Ada satu hal yang belum Viktor Laiskodat miliki, yakni kepercayaan politik. Kepercayaan itu tidak datang dengan mudah. Dibutuhkan persiapan matang. Dibutuhkan perjuangan panjang. Pilgub NTT 2018 jadi ukuran. 27 Juni 2018, kepercayaan politik itu tumpah bagai air bendungan yang mengalir. Kepercayaan politik masyarakat NTT untuk Viktor Laiskodat tak terbendung.
Viktor Laiskodat bersama Pasangan Calon Wakil Gubernurnya, Josef Nae Soi, terpilih menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur NTT periode 2018-2023. Keterpilihan itu semata karena rakyat NTT percaya. Kepercayaan itu muncul masyarakat NTT punya hak untuk berharap pada yang lebih baik. Itu saja.
Tak ada politik pencitraan yang berseliweran pada saat kampanye. Pencitraan minum kopi di pasar, duduk di tenda reot, berfoto ria di sawah, dll nyaris tak dipakai pada Tim Victory-Joss. Tak ada mobil jabatan yang “dicuri” lalu terbakar; tak ada gereja yang recoki materi-materi publikasi kampanye politik. Kampanye itu bukan etalase politik. Kampanye itu daya mengembalikan memori bahwa pernah ada bersama: bersama-sama membangun. Pembangunan itu tidak butuh “kartu”, tetapi butuh kerja sama dan kepercayaan.
Viktor Laiskodat tak butuh “kemenangan yang tertunda” pada Pilgub NTT. “Seperti dendam, rindu itu harus dibalas tuntas”. Tongkat kepemimpinan harus diraih. Tahun 2018, ia menghirup hembusan dewi fortuna. Bersama dewi fortuna itu, kegagalan yang pantas itu hanya satu kali, bukan berkali-kali. Idiom politiknya, GAUL: gagal ulang-ulang.
Bagi politisi yang traumatik, mengulang drama tragicomedy kampanye politik Pilgub NTT 2018 itu menyakitkan dan cenderung dihindari. Tetapi bagi publik, refleksi politik itu penting. Poinnya, tak ada lagi pembodohan dan janji yang tidak realistik saat kampanye politik. Tak boleh ada lagi “bawa pulau” untuk kepentingan politik pribadi. Tak boleh ada “SARA” di antara politik kita.
Kondisi sosio politik masyarakat kita sudah lebur pasca Pilgub 2018. Repot politik 2019 pun dimulai lagi. Gubernur Frans Leburaya sedang “siap-siap” ke “Senayan” di jelang akhir masa jabatannya. Begitu pula dengan para kandidat kalah mulai dari urutan buntut, cepat-cepat pindah tali “siap-siap” ke “Senayan”.
Politik itu memang punya rumus aji mumpung. Dimana ada kesempatan di situ ujung hidung ditunjuk. Tak peduli kaderisasi (orang muda), siapa tahu masuk. Apa pun itu, itu hak politik setiap orang. Integritas dan berpikir besar itu soal lain.
Viktor Laiskodat sudah melepas “Senayan”. Kini, ia lebih dekat bersama masyarakat NTT. Masa depan masyarakat NTT ada di pundaknya sebagai pemimpin terpilih. Sebagai politisi, ia sudah berbuat. Tetapi, belum semua. Kini semua masyarakat NTT sudah percaya. Amanah dan kepercayaan itu penting untuk dijadikan “roh” politik yang membangkitkan semangat juang untuk NTT yang sejahtera.
Betul, “kita bangkit, kita sejahtera”. Masyarakat pun telah menjadikan itu sebagai “audacity of hope”: keberanian untuk berharap NTT yang lebih baik. Bersamaan dengan itu, masyarakat percaya Viktor Laiskodat lebih berani membuka peluang-peluang baru dalam kebijakan politik pembangunan. Sehingga, NTT punya martabat dan berdaya saing.
Jangan sampai masih ada lagi soal kemiskinan, human trafficking, rendahnya kualitas infrastruktur dan korupsi. Viktor Laiskodat harus lebih kuat menghadapi “mafia” yang bermain di keruhnya politik kebijakan NTT. Janganlah tercerap kedalamnya.
Ada satu hal. “Viktor Laiskodat itu orang hebat”, pengakuan Josef Nae Soi ketika tatap muka di Kampung Golo, Borong (Manggarai Timur). Masyarakat sontak tepuk tangan. Itu ekspresi pengakuan, juga kepercayaan. Itu pertanda nama Viktor Laiskodat sudah dikenal oleh seantero masyarakat NTT. Dunia politik pun tak selebar daun kelor. Kebesaran nama Viktor Laiskodat sudah ke masyarakat melalui perbuatan dan karya sosial dan politiknya.
Atas kebesaran itu, Viktor Laiskodat perlu juga belajar dari Jawaharlal Nehru, mantan Perdana Menteri India. “Kebesaran Nehru ialah bahwa kesempatan untuk menyeleweng yang ada padanya ia kontrol sendiri kencang-kencang”, tulis penyair Goenawan Muhamad dalam Catatan Pinggir, 26 Maret 1977. Viktor Laiskodat pun harus demikian. Kontrollah kencang-kencang kekuasaan politik. Katrollah nasip NTT menjadi lebih baik.
Selabihnya, Tuhan akan menolongmu dan kita semua.
Alfred Tuname
Penulis Buku “le politique” 2018