KUPANG, BERITA FLORES – Sidang perkara Praperadilan tersangka Frans Oan Smewa (FOS) melawan Direktur Reserse Kriminal Umum Polda NTT dalam kasus jual beli tanah di Labuan Bajo terus berlanjut. Tim Kuasa Hukum FOS mempertahankan ketentuan pasal 79 terhadap kedaluarsanya sebuah perkara pidana.
Pantauan wartawan di Pengadilan Negeri Kupang, sidang dipimpin Hakim tunggal, A. A.Made A. Nawaksara,S.H,M.H dan didampingi panitera pengganti Selsily Donny Rizal,S.H. Pihak Pemohon dan Termohon masih mempersoalkan cara menghitung kadaluarsa sebuah perkara.
Baca Juga : Kuasa Hukum FOS Bacakan Permohonan Praperadilan di PN Kupang
Berdasarkan keterangan saksi ahli yang dihadirkan Pemohon, Dr.Yotham TH, Timbonga, BTH, SH, MH menegaskan bahwa putusan perkara harus merujuk pada undang-undang atau aturan yang berlaku bukan pada tafsiran. Terkait pasal 79 KUHP itu adalah hukum formil yang berlaku di Indonesia.
“Jangan kita melecehkan hukum,” tegas saksi Dr. Yotham dalam ruangan sidang Kamis, 15 Maret 2018.
Sementara itu, saksi ahli termohon, Dr. Haksi Simorat, SH, M.Hum dalam keterangan menjelaskan, landasan filosofi dari pasal 79 KUHP. Ia menghimbau untuk mempertimbangkan kerugian dari korban dalam kasus dugaan pemalsuan dokumen Akta Jual Beli (AJB) tersebut.
Baca Juga : Polda NTT Dinilai Ceroboh dalam Penetapan FOS Sebagai Tersangka
Menurutnya, hitungan kadaluarsa itu sejak diketahui kasus itu oleh korban, sebab saat itu korban merasa dirugikan sehingga hitungan kadaluarsa, terhitung sejak tahun 2015 silam.
“Pada tahun 2015 baru diketahui oleh korban bahwa adanya pemalsuaan dokumen,” jelas saksi Dr. Haksi, di ruangan persidangan Jumat, 16 Maret 2018.
Baca Juga : TPDI Desak Polda NTT Buka Suara Terkait Kasus FOS
Pada kesempatan itu, Kuasa Hukum tersangka FOS, Toding Manggasa, SH sempat menanyakan kepada saksi ahli termohon, “apakah ada hukum formil lainnya yang mengatur tentang cara menghitung kadaluarsa selain pasal 79?”
Saksi ahli termohon menjawab tidak ada hukum formil lain yang mengaturnya tetapi ia kembali menegaskan mestinya mempertimbangkan korban dugaan pemalsuan dokumen yang merasa dirugikan.
Menurut informasi yang diperoleh Beritaflores.com, ketentuan yang mengatur tentang kapan dimulainya penghitungan jangka waktu kadaluarsa yang terdapat di dalam pasal 79 KUHP yaitu ; “Tenggang kedaluwarsa mulai berlaku pada hari sesudah perbuatan dilakukan, kecuali dalam hal-hal berikut: Mengenai pemalsuan atau perusakan mata uang, tenggang mulai berlaku pada hari sesudah barang yang dipalsu atau mata uang yang dirusak digunakan oleh si pembuat,”.
Berdasarkan Duplik termohon yang diterima wartawan 15 Maret 2018 menguraikan bahwa Pemohon dalam repliknya mengatakan bahwa ketentuan pasal 79 KUHP mengatur khusus terkait pemalsuan tentang dihitung sejak berlaku pada hari sesudah barang yang palsu digunakan.
Jika mencermati pemahaman pemohon tentang ketentuan pasal 79 KUHP seperti itu, akan sangat mencederai rasa keadilan sebagaimana tujuan hukum pidana adalah kepastian, keadilan dan kemanfaatan. Maka tujuan tersebut tidak tercapai.
Korban dalam laporannya yang sedang diproses oleh termohon telah dirugikan sedangkan pelaku diuntungkan.
Berdasarkan filosofi penerapan prinsip kadaluarsa adalah karena pelaku kejahatan dalam jangka waktu kadaluarsa merasakan penderitaan (Nestapa) karena harus terus bersembunyi dari penegak hukum.
Dalam persembunyiannya itu, pelaku kejahatan merasa tidak tenang dan menderita selama masa tenggang waktu kadaluarsa tersebut.
Sehingga masa kadaluarsa dianggap sebagai bentuk lain dari nestapa sebagaimana pidana jika dijatuhkan apabila diproses secara hukum.
Akan tetapi dalam kasus pemalsuan surat tidaklah demikian adanya, sebab pelaku justru diuntungkan, tidak menderita, justru korban yang dirugikan dan mengalami derita setelah mengetahui adanya tindakan pemalsuan surat tersebut.
Berdasarkan hal tersebut, termohon dalam melakukan proses penyidikan dugaan tindakan pidana pemalsuaan yang dilaporkan oleh Christian Natanael merujuk pada bahwa korban mengetahui adanya dugaan tindakan pidana pemalsuan tanda tangan miliknya pada tahun 2015.
Hal itu ia ketahui ketika diberitahu oleh penyidik yang menangani laporan penipuan dan penggelapan yang ia laporkan, sehingga masa kadaluarsa semestinya dihitung sejak diketahui oleh korban di tahun 2015.
Sementara Replik Pemohon yang diterima wartawan (14/3) menjelaskan dari jawaban termohon tereksplisit penghitungan kadaluwarsa dihitung sejak pelapor mengetahui sejak tahun 2015.
Terkait argumentasi ini pemohon secara tegas menolaknya dengan argumentasi hukum.
Hal tersebut menurut Pemohon bertentangan dengan kadaluarsa seturut ketentuan pasal 79 KUHP yang mengatur khusus terkait pemalsuan dihitung mulai berlaku pada hari sesudah barang dipalsukan atau mata uang yang rusak digunakan.
Dengan ketentuan yang sudah jelas mengatur sedemikian, maka secara formal tidak bisa lagi diberi penafsiran lain (limitative) sebagaimana azas clara non sunt interpretanda artinya apa yang sudah jelas tidak perlu ditafsirkan.
Dalam dokumen permohonan praperadilan Pemohon yang diperoleh Beritaflores.com, memuat tentang cara menghitung kadaluarsa telah diatur dalam pasal 79 KUHP yang di mana tenggang kadaluarsa mulai berlaku pada hari sesudah perbuatan dilakukan, kecuali dalam hal-hal terhadap pemalsuan atau perusakan mata uang, tenggang kedaluwarsa itu dimulai berlaku pada hari atau sesudah barang yang dipalsukan atau mata uang yang dirusak digunakan.
Konkritnya adalah dihitung sejak proses balik nama di kantor pertanahan kabupaten Manggarai 22 April 1998 dan mendapatkan Sertifikat Hak Milik (SHM), 9 Juni 1998.
Termohon telah mengabaikan pasal 78 dan 79 KUHP karena melakukan proses penyelidikan, penyidikan dan menetapkan FOS sebagai tersangka.
Informasi yang dihimpun Beritaflores.com, sidang perkara praperadilan akan dilanjutkan pada Senin,19 Februari 2018 dengan agenda pembacaan kesimpulan, dan dalam agenda, putusan sidang direncanakan, Selasa, 20 Maret 2018. (NAL/FDS/BEF).