Oleh: Soeratman, S.H.
Saat ini orang-orang lagi pada membicarakan tentang Desa, baik dari kalangan akademisi desa, praktisi desa, pegiat desa maupun masyarakat pada umumnya. Yang mereka bicarakan tentang Desa bukanlah soal desa itu sendiri melainkan soal Dana Desa (DD) yang fantastis jumlahnya karena mencapai angka triliunan rupiah bersumber dari postur APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) ditransfer ke rekening desa seluruh Indonesia.
Tidak bisa dipungkiri bahwa Desa telah menjadi pusat perhatian banyak kalangan karena desa semakin ke sini semakin seksi saja. Semenjak lahirnya Undang-Undang Tentang Desa Nomor 6 Tahun 2014 dan disahkan sekitar akhir 2013 lalu. Keseksian desa mulai nampak ke permukaan, dan keseksian itu bisa dilihat dari prakarsa warga desa untuk membangun desa dengan memanfaatkan potensi desa yang ada, namun tidak meninggalkan konsep kedesaan yang telah melembaga di tengan warga desa seperti; gotong royong, kebersamaan, musyawarah dan kekeluaragaan.
Selain dari pada itu, secara struktur kelembagaan pemerintahan desa telah mengalami perubahan yang cukup, dalam hal ini ialah tunjangan para birokrat desa telah mengalami perbaikan, karena sebagai salah satu faktor untuk merubah bias kepentingan politik desa, maka perlu ada perbaikan dari segi gaji pegawai dan tunjangan sesuai dengan peraturan.
Kini, Indonesia akan memasuki era demografi di mana, jumlah penduduk di kota akan semakin banyak dan tidak bisa menampung lagi. Maka konsekuensinya adalah perpindahan penduduk dari kota ke desa akan terjadi besar-besaran sehingga bias pembangunan di kota akan mengurang dan lari menuju ke desa. Untuk itulah tidak heran bila Desa dewasa ini semata-mata bukan dijadikan subyek pembangunan tapi jauh dari pada itu, desa adalah ladang investasi besar bagi pemilik modal kedepannya dan pertarungan politik yang amat sengit di dalamnya.
Bila menggunakan istilah Pak Sutoro Eko dalam bukunya “Desa Membangun Indonesia” bahwa beliau menggunakan term (istilah) desa lama menamai desa sebelum UU desa 6/2014 lahir.
Pandangan negara orde baru tentang Desa lama, di mana “pembangunan Desa” telah hadir sebagai ikon penting Orde Baru. Bahkan Desa dijadikan obyek pembangunan, sehingga pemerintah sangat gencar membangun prasarana fisik desa, pendidikan (SD Inpres), sosial, maupun ekonomi (seperti KUD dan pasar desa). Pembangunan itu telah mengubah wajah fisik desa, sekaligus juga mengantarkan mobilitas sosial orang desa, tetapi tidak cukup memadai menghasilkan transformasi desa (Sutoro Eko, 2005). Justru sebaliknya melemahkan dan merusak desa, apalagi kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat di luar Jawa karena mereka diseragamkan dengan model Desa Jawa. Sementara itu, keterlibatan masyarakat untuk membangun sama sekali tidak ada, jadi warga desa hanya sebagai penonton dan penikmat dari pembangunan.
Tapi sekarang Desa telah beda bukan lagi Desa lama tapi desa baru, atau desa bukan lagi latar belakang negara tapi cover depan negara. Hal ini berdasarkan pada nawacita Presiden Joko Widodo, yakni “Membangun negeri dari desa-desa”
Bukan tanpa alasan bila pemerintah saat ini memfokuskan pembangunan dan pemberdayaan pada desa karena hingga saat ini disparitas, kesejahteraan dan kemakmuran warga desa masih sangat jauh sekali dari kata baik. Lebih dari itu, potensi alam yang cukup luar biasa ada di desa-desa diharapkan dapat dikelola dengan baik sehingga bisa meningkatkan pendapatan ekonomi warga desa, untuk itu bisa merubah taraf hidup warga desa agar lebih bermutu serta meretas persoalan lainnya. Oleh sebab itu, pemerintah dengan penuh perhatian melalui azas rekognisi dan subsidiaritas dan Dana desa, desa diberikan kepastian untuk mengelola desanya sendiri secara mandiri.
Rekognisi adalah pengakuan terhadap hak asal usul, artinya desa berhak untuk memanfaatkan, mendukung dan memperkuat usaha ekonomi desa yang sudah ada dan tidak lagi dilandasi oleh tindakan intervensi dari aparat desa atau struktur di atas. Subsidiaritas adalah adanya penetapan kewenangan lokal berskala desa melalui Peratutan Bupati/Walikota maupun Peraturan Desa tentang Kewenangan Lokal Berskala Desa dengan memasukkan pendirian, penetapan, pengurusan dan pengelolaan BUMDes di dalamnya. (Berdesa,1/2/2028).
Dengan persolan itu, tranformasi desa dari desa lama ke desa baru diharapkan mampu untuk memenuhi kebutuhan warga desa, kemudian untuk mewujudkan itu semua bergantung pada politik hukum desa.
Politik Hukum Desa
Politik hukum desa adalah salah satu nomenklatur fundamen yang perlu diperhatikan oleh dan pemerintah desa, karena berbicara soal bagaimana pemerintah desa mampu melahirkan sebuah produk hukum untuk kepentingan warga desa dan merumuskan kebijakan dengan melibatkan seluruh warga desa untuk memutuskan sebuah kebijakan yang menentukan hajat hidup warga desa.
Maka dari itu, keberadaan politik hukum desa, memiliki posisi sentral dalam memajukan desa menuju desa mandiri, karena kemajuan dan kemandirian desa itu bisa dilihat dari kemampuan Kepala Desa (Kades) mengeluarkan sebuah kebijakan dan kebijakan itu bermanfaat bagi warga desa. Namun inilah yang menjadi salah satu problem sebagian banyak desa saat ini, karena masih belum mampu menggunakan politik hukum dengan baik.
Politik hukum Desa akan mempengaruhi desa dalam keberlangsungan penyelenggaraan pemerintahan desa, agar berjalan dengan baik dan sesuai dengan aturan hukum (rule of the law) bila dilakukan dengan deliberasi. Artinya setiap kebijakan politik lokal desa dibuat harus melibatkan warga desa di setiap prosesnya, agar terciptanya transparansi, serta kebijakan hukum yang pro terhadap warga desa (policy responsif).
Terlebih politik hukum soal pengelolaan keuangan desa. Sebab, tidak semua desa di Indonesia mampu menerapkan politik hukum desa, sehingga dapat melahirkan sebuah peraturan tentang pengeloaan keuangan desa atau peraturan-peraturan desa lain.
Politik hukum desa bertujuan untuk membentengi desa dari pengaruh luar yang sewaktu-waktu dapat merusak tatanan hidup warga desa, karena dalam banyak kasus, pengambilan dan penguasaan tanah desa secara serampangan oleh para pemilik modal acap kali terjadi, sehingga memicu terjadinya konflik antara pemilik modal dengan warga desa, yang pada akhirnya menimbulkan banyak korban dari pihak warga desa, maka dari itu perlu dibuatkan Perdes (Peraturan Desa) yang berkenaan dengan itu.
Kita tahu bahwa culture desa lama masih menguat dan mengakar tertanam dalam sistem desa baru, sehingga pada masa transisi itu pemerintah desa masih belum bisa berbuat banyak. Kemampuan pemerintah desa dalam membuat perdes baik prosedural mapun substantial masih belum paham sehingga membutuhkan pendampingan dan pelatihan soal bagaimana membuat Perdes yang baik dan benar melalui pelatihan legal drafting (peraturan desa) yang diikuti oleh perangkat desa. Ini penting dilakukan karena menyangkut kedaulatan politik desa yang telah diberikan negara lewat UU Desa untuk mengatur dan mengelola desanya sendiri. Untuk penganggaran pelatihan legal drafting itu sendiri sudah jelas disebutkan dalam UU desa dan Peraturan Mentri No 16/2018 tentang Prioritas Penggunaan Dana Desa, yaitu dibiayai dari APBDes (Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa). Untuk itu juga, Kepala Desa bisa mengangkat Pengacara Desa dalam bahasa penulis, kalau dalam Peraturan Menteri No 16/2018 dalam penjelasannya itu disebut Paralegal.
Pengangkatan Paralegal tidak relevan lagi, karena keterbatasan tugas dan wewenang yang dimiliki oleh paralegal, kemudian semenjak putusan Mahkamah Agung Nomor 22 P/HUM/2018 yang mengatakan bahwa Pasal 11 dan 12 UU No 1 Tahun 2018 tentang Paralegal dicabut, sehingga paralegal tidak lagi bisa memberikan bantuan hukum baik secara litigasi maupun non litigasi.
Penulis adalah Putra Kelahiran Reo, Kabupaten Manggarai, NTT.