LABUAN BAJO, BERITA FLORES – Masih terus bergulir di meja hijau prihal perkara tanah seluas 11 hektar di Keranga, Kelurahan Labuan Bajo, Kecamatan Komodo, Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur. Konflik ini melibatkan antara ahli waris Almarhum Ibrahim Hanta selaku penggugat dan ahli waris dari almarhum Niko Naput tergugat.
Selain itu, ada juga dua nama yang selalu disebut-sebut dan diduga sebagai dalang atas permasalahan ini yaitu Santosa Kadiman yang disinyalir sebagai pemilik Hotel St. Regis (pembeli tanah pada obyek yang masih bersengketa), dan juga Haji Ramang Ishaka yang menampilkan dirinya sebagai Fungsionaris Adat Nggorang, Labuan Bajo. Keduanya diduga terlibat dalam manipulasi kepemilikan tanah yang seharusnya milik ahli waris Almarhum Ibrahim Hanta.
Informasi yang diperoleh media ini bahwa keluarga ahli waris almarhum Niko Naput, diduga telah mengklaim kepemilikan tanah tersebut dan telah berhasil mendapatkan sertifikat SHM atas nama anak-anaknya pada tahun 2017 dari Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Manggarai Barat.
Sementara pihak ahli waris almarhum Ibrahim Hanta yang mengaku sebagai pemilik atas lahan obyek sengketa tersebut telah menempuh dua jalur hukum untuk melawan dugaan praktik mafia tanah ini, yaitu laporan pidana ke Polres Mabar dan gugatan perdata di Pengadilan Negeri Labuan Bajo.
Kemudian laporan secara pidana ke Polres Mabar dengan Nomor Laporan No.LP/B/240/IX/2022/Polres Manggarai Barat Tanggal 13 September 2022, Pihak PT. Mahanaim Group, Maria Fatamawati Naput dan Paulus G. Naput telah diperiksa. Sedangkan upaya hukum secara perdata di Pengadilan Negeri Labuan Bajo dengan register perkara No.1/Pdt.G/2024/Pengadilan Negeri Labuan Bajo. Selain itu telah dilaporkan juga kepada Satgas mafia tanah Kejaksaan Negeri Labuan Bajo.
Selama proses penanganan kasus ini, baik di polres Manggarai Barat maupun di Pengadilan Negeri Labuan Bajo terungkap fakta-fakta yang mengejutkan terkait status kepemilikan lahan yang diklaim oleh keluarga ahli waris Niko Naput.
Berdasarkan data yang berhasil dihimpun media ini, beberapa fakta yang ditemukan oleh pihak penggugat (keluarga ahli waris Niko Naput) selama persidangan yang telah digelar di Pengadilan Negeri Labuan Bajo diantaranya :
Pertama, berdasarkan keterangan dari Muhammad Rudini selaku ahli waris almarhum Ibrahim Hanta bahwa tanah yang menjadi sengketa ini adalah warisan dari ayahnya, yang telah dikuasai keluarga mereka sejak tahun 1973 dan diperoleh berdasarkan tata cara budaya Manggarai “Kapu Manuk Lele Tuak”, namun, pada tahun 2017, tiba-tiba muncul dua sertifikat yang diterbitkan BPN Manggarai Barat atas nama orang lain di atas tanah tersebut.
Kedua, menanggapi laporan Laporan pada tanggal 8 Januari 2024, ke Satgas mafia tanah Kejaksaan Negeri Manggarai Barat, pada tanggal 16 Januari 2024, tim dari Kejaksaan Negeri Labuan Bajo yang dipimpin oleh Kasi Pidsus Bapak Wisnu Sanjaya, S.H., bersama tim BPN Manggarai Barat yang dipimpin oleh Kasi Sengketa Bapak Putu dan Bapak Jonas, turun ke lokasi untuk memeriksa tanah tersebut dan mencocokkan lokasi dengan Warkah atau bukti penyerahan tanah adat pada tanggal 2 Mei 1990.
Dari hasil pemeriksaan tersebut, tim BPN dan tim Kejari sepakat bahwa kedua tanah yang sudah di SHM atas nama Paulus G. Naput (pihak tergugat 1) dan Maria F. Naput (pihak tergugat 2) tersebut terbukti salah lokasi, salah ploting, atau salah penunjukan batas-batas. Lokasi sebenarnya berdasarkan peta warna merah seluas 16 Ha, bukan di peta warna hijau yang merupakan lokasi tanah milik penggugat seluas 11 Ha.
Atas dasar itu, pihak penggugat menduga kuat bahwa kedua SHM yang terbit pada 31 Januari 2017 oleh BPN Manggarai Barat adalah hasil praktik mafia tanah, karena letak lokasi dua SHM tersebut tidak sesuai dengan bukti penyerahan tanah/Warkah/alas hak tanggal 2 Mei 1990 yang batas-batasnya jelas dan menjadi dasar penerbitan kedua SHM tersebut.
Ketiga, selama persidangan yang digelar di PN Labuan Bajo Sejak Januari 2024 hingga saat ini BPN Manggarai Barat belum mampu bukti Warkah asli sebagai dasar penerbitan SHM atas nama ahli waris Niko Naput. Ketidakmampuan ini semakin memperkuat dugaan adanya permainan curang dalam penerbitan sertifikat tersebut.
Keempat, Kepala BPN Manggarai Barat Gatot Suyanto Diduga Sengaja Ubah SHM Jadi SHGB di Tanah Bersengketa.
Status tanah yang masih bersengketa tersebut sebelumnya terdaftar sebagai Sertifikat Hak Milik (SHM) nomor 02549 atas nama Maria Fatmawati Naput yang diterbitkan pada 31 Januari 2017 sudah berubah menjadi Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) nomor 00176 tertanggal 20 Desember 2023 padahal sebelum ada perubahan status SHM menjadi SHGB obyek sengketa tersebut, pihak penggugat telah mengajukan permohonan pemblokiran ke BPN Manggarai Barat pada 29 September 2022.
Upaya ini dilakukan untuk mencegah adanya perubahan status atau penambahan pihak lain yang terlibat dalam sengketa tanah hingga proses hukum selesai. Pemblokiran ini berdasarkan Laporan Polisi Nomor LP/B/240/IX/2022/Polres Manggarai Barat yang dilaporkan pada 13 September 2022.
Kelima, Notaris Bily Ginta dengan sengaja membuat akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) antara Niko Naput (Penjual) dengan Santosa Kadiman (Pembeli) pada tahun 2014 lalu dengan luas 40 hektar tanpa melihat status kepemilikan tanah yang sah. mereka membuat akta PPJB menggunakan 2 surat penyerahan tanah adat tanggal 21 Oktober 1991 dan penyerahan adat 10 Maret 1990 yang sudah sangat jelas statusnya telah dibatalkan pada 17 Januari 1998 oleh pihak ulayat.
Keenam, diduga bahwa Haji Ramang Ishaka, dengan surat pengukuhan yang dikeluarkannya menjadi dasar untuk menerbitkan SHM atas nama keluarga ahli waris Niko Naput, sementara sudah sangat jelas tahun 1998 adanya surat pembatalan dari ulayat.
Ketujuh, Berdasarkan pengakuan saksi tergugat dalam persidangan yang digelar di Pengadilan Negeri Labuan Bajo pada Senin (24/6) bahwa Haji Ramang dan Syair hadir di lokasi pengukuran pada tahun 2014, bersama dengan pihak BPN Manggarai Barat. Dari keterangan saksi Ini bertentangan dengan pernyataan Haji Ramang pada tahun 2013 yang menyatakan bahwa ia tidak berhak lagi menata atau membagi tanah tersebut dan surat pernyataan secara rertulis tersebut telah ditandatangani diatas materai, dan disaksikan oleh 8 orang tokoh.
Kedelapan, Pada 10 Maret 2021, sidang Pengadilan Tipikor Kupang menjadi saksi atas pengakuan mengejutkan di bawah sumpah dari Fungsionaris Adat Nggorang, Haji Ramang Ishaka. Saat persidangan yang memeriksa kasus korupsi aset Pemda Manggarai Barat saat itu, Haji Ramang dengan tegas mengakui bahwa tanah di Keranga, yang diklaim oleh Nikolaus Naput, sudah dibatalkan pada tahun 1998.
Pengakuan ini sudah tercatat dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP) dan memiliki kekuatan hukum yang tetap karena sudah ada putusan yang ingkrah.
Kesaksian ini sangat penting dalam kasus sengketa tanah Keranga. Haji Ramang, dalam kapasitasnya sebagai Fungsionaris Adat, memberikan bukti yang menguatkan bahwa tanah tersebut bukanlah milik Niko Naput.
Berikut ini pernyataan Haji Ramang Ishaka mengutip dari hasil BAP kasus aset Pemda Manggarai Barat yang salinanya diperoleh media ini.
“Ayah saya (Haji Ishaka) sebagai Dalu meninggal pada tahun 2003 dan sebagai penggantinya adalah kakak saya yaitu Haji Umar Ishaka. Namun dalam pelaksanaan fungsi sehari-hari dilakukan oleh saya, karena Haji Umar tidak sehat Fisik dan mental. Sedangkan Haku Mustafa sebagai Wakil Fungsionaris adat meninggal pada tahun 2000 dan kedudukannya digantikan oleh saya,” kata Haji Ramang
Perkembangan penanganan kasus di PN Labuan Bajo
Berita media ini sebelumnya, sidang lanjutan yang digelar pada Rabu, 17 Juli 2024, pukul 11.00 WITA di Pengadilan Negeri Labuan Bajo. Agenda persidangan kali ini adalah pemeriksaan saksi dari pihak tergugat, ahli waris Niko Naput, serta saksi ahli dari pihak turut tergugat, Santosa Kadiman.
Para saksi dari pihak tergugat yang hadir diantaranya Ibu Maria (Istri alm. Don Amput) dan Bapak Yohanes Don Bosco, sedangkan saksi dari pihak turut tergugat yaitu Aryo Yuwono (Staf dari Santosa Kadiman/pemilik hotel St. Regis) dan saksi ahli Profesor Agraria dan Hukum Adat Universitas Hasanudin Makassar Prof. Dr. Farida Patitingi, S.H., M.Hum.
Kuasa Hukum ahli waris almarhum Ibrahim Hanta (pihak penggugat), DR. (c) Indra Triantoro, S.H., M.H. dan Jon Kadis, SH pada Kamis, (18/7/2024) pagi menjelaskan bahwa berdasarkan keterangan dari beberapa para saksi pihak tergugat yang dihadirkan dalam persidangan yang telah digelar di PN Labuan Bajo menunjukan bahwa status tanah yang diklaim kepemilikan oleh Niko Naput itu diduga kuat adanya bahwa persekongkolan antara pihak-pihak yang terlibat hingga munculnya SHM atas nama ahli waris Niko Naput di atas lahan obyek sengketa dan juga ada dugaan tumpang tindih dengan lahan milik Pemda Manggarai Barat. Hal ini terlihat dalam pernyataan yang kontradiktif antara saksi-saksi terkait.
Indra menjelaskan bahwa fakta dalam persidangan berdasarkan keterangan dari saksi pihak tergugat atas nama Maria (pemilik batas tanah bagian Utara dari obyek sengketa. Red) yang menyebut bahwa tanah milik suaminya almarhum Don Amput seluas kurang lebih 3 hektar yang terbentang mulai dari atas jalan Labuan Bajo-Keranga, sampai di pantai laut. Batas bagian Barat itu adalah laut, bagian selatannya tanah milik Istri Niko Naput dan Niko Naput, bagian timurnya bukit, sedangkan bagian utaranya tanah milik Haji Ramang Ishaka.
Anehnya kata Indra, ketika diperlihatkan gambar peta, lokasi tanah itu di tanah milik Mori Rongkeng atau sebelah utaranya Mori Rongkeng (Putra) dan tanah tersebut sudah dijual kepada Baba Hugeng.
“Kesaksian Maria (Istri alm. Don Amput) menunjuk lokasi tanahnya, di lokasi tanah Mori Rongkeng persis luasnya kurang lebih 3 hektar, ini menunjukkan bahwa BPN salah ploting, juga penipuan Niko Naput dan Haji Ramang. Karena letak lokasi tanah milik ahli waris Niko Naput atas nama Maria F. Naput dan Paulus G. Naput yang sudah terbit SHM tahun 2017, seratus % salah ploting, ” kata Indra
Selain itu, keterangan dari saksi tergugat atas nama Aryo Yuwono yang diketahui sebagai salah satu staf dari Erwin Kadiman Santosa bahwa Ia ditugaskan oleh Santosa Kadiman untuk datang ke Labuan Bajo menemui orang yang bernama Yohanes Don Bosco.
“Aryo ditugaskan oleh atasannya Santosa Kadiman untuk datang ke Labuan Bajo menemui orang yang bernama Yohanes Don Bosco. Saat itu Aryo dengan Yohanes Don Bosco cari lokasi di kawasan Keranga sekitar tahun 2013. Aryo mengaku bahwa yang tunjuk batas saat itu adalah Yohanes Don Bosco (dia tunjuk saja), lalu Aryo jalan keliling cari koordinat menggunakan google. Kurang lebih 40 hektar. Selanjutnya Aryo mengaku bahwa saat itu Niko Naput memperlihatkan 3 surat alas hak, dan langsung ke Notaris, tandatangan PPJB di Notaris Bili Ginta awal tahun 2014,” jelas Indra
Anehnya kata Indra, ketika ditanya Hakim apakah saudara saksi tahu atau pernah dengar bahwa surat-surat alas hak itu sudah dibatalkan oleh Fungsionaris ulayat? Saksi menjawab “saya tidak tau itu”. “Apakah saudara tahu bahwa tanah 40 hektar itu di dahsyat ada tanah Pemda? Pernah dengar ada perkara tanah pemda di kawasan itu?” Saksi juga menjawab “tidak tahu”.
Selain itu, saksi Aryo juga menyebut angka transaksi dalam PPJB 40 hektar, namun Hakim perlihatkan 3 warkah masing-masing 10 hektar, 16 haktar dan 5 hektar sehingga jumlahnya 31 hektar. Temuan hakim bahwa sisa 9 hektar tidak ada warkah.
Selain ditanya hakim, pengacara dari penggugat menanyakan kepada saksi Aryo terkait kompetensinya sehingga saksi Ia dipercayakan oleh Kadiman Santosa untuk melakukan pengukuran? Saksi juga tidak bisa menjawab alias diam.
Berdasarkan keterangan saksi Aryo, Indra menduga kuat bahwa selain tanah milik ahli waris Ibrahim Alm. Ibrahim Hanta yang diklaim oleh Niko Naput diduga di dalamnya termasuk tanah milik Pemda Manggarai Barat bagian dari 40 hektar yang sudah diPPJB-kan tahun 2014 di Notaris Billy Ginta.
Sementara itu, saksi pihak tergugat atas nama Yohanes Don Bosco yang menjelaskan terkait pengangkatan Haji Ramang Ishaka sebagai Fungsionaris Adat Nggorang diumumkan pada saat acara penguburan Haji Ishaka (Ayah Haji Ramang.red) di Perkuburan Umum Muslim Desa Gorontalo pada tahun 2003 lalu
“Saksi Yohanes Don Bosko ini mengatakan bahwa pengumuman pengangkatan Haji Ramang sebagai Penerus Fungsionaris Adat Nggorang diumumkan oleh Bapak Ismail Karim selaku keluarga Haji Ramang yang mana pada saat itu beliau menyampaikan permohonan maaf apabila ada yang belum mendapatkan surat pelepasan hak tanah dari Ulayat maka akan dilanjutkan oleh anaknya Haji Ramang karena Haji Ramang sekarang pengganti dari Haji Ishaka sebagai Fungsionaris adat,” ungkap Indra mengulangi kembali keterangan saksi di persidangan.
Menurut Indra, keterangan saksi Yohanes Don Bosco itu justru kontrakdiktif dengan pernyataan Haji Ramang pada tahun 2021 di Pengadilan Tipikor Kupang sebagai saksi dalam kasus lahan Pemda Toro Lema Batu Kalo yang sudah ada putusan ingkrah.
Indra menjelaskan bahwa ketika Hakim bertanya kepada saksi, fungsionaris adat/ulayat di masyarakat adat Manggarai umumnya dan (saya yang nanya), dijawab bahwa itu Tua Golo /Tua Likang, penerusnya adalah turunannya.
“Ketika ditanya kenapa di Nggorang beda, tidak dijawab, tapi menyebutkan bahwa untuk Nggorang dan Mburak, Fungsionaris adat/ulayatnya dan turunannya. Lalu Hakim tanya apakah Saudara kenal Santosa Kadiman? Dijawab ‘kenal, ia menemui saya untuk minta bantuan cari lahan untuk investasi di Labuan Bajo. Lalu saya hubungi Niko Naput, lalu terjadilah hubungan antara mereka,” jelas Indra
Tak hanya itu, Anton Hantam (78) salah satu sesepuh Fungsionaris Adat Nggorang dan juga salah satu orang kepercayaan almarhum Haji Ishaka (ayah Haji Ramang.red) ketika ditemui media ini pada Kamis (18/7) siang di rumah kediamannya, ia mengaku bahwa apa yang disampaikan oleh Yohanes Don Bosco di persidangan kemarin itu adalah sebuah pembohongan, karena Ia sendiri juga hadir di lokasi saat penguburan Haji Ishaka pada tahun 2003.
“Itu tidak benar, saya hadir saat itu. Tidak ada itu pengumuman pengangkatan Haji Ramang sebagai pengganti dari Haji Ishaka selaku Fungsionaris Adat Nggorang. Dan tidak mungkin itu dilakukan pada saat situasi berduka. Saat itukan situasi lagi berduka, tentu kalaupun ada rencana seperti itu ya Tara caranya bukan langsung saat dinoengubunuran. Jadi tidak langsung diumumkan begitu saja. Semua tokoh-tokoh masyarakat harus diundang untuk membicarakan hal ini,” kata Anton
Anton menuturkan bahwa keterangan saksi Don Bosco ini menggambarkan sebuah pelecehan terhadap adat istiadat dan kebiasaan dalam budaya Manggarai.
“Ini sebuah pelecehan terhadap adat istiadat. Karena prosedur ataupun tata cara itu tidak pantas dan tidak layak dilakukan di tempat penguburan karena yang hadir di lokasi penguburan saat itu sebagai pelayat bukanlah sebagai masyarakat Fungsionaris Adat Nggorang. Keterangan ini mau menunjukan bahwa mereka tidak memiliki masyarakat adat, mereka hanya berpikir tentang tanah. Dari keterangan tersebut mau menunjukan bahwa kesakralan Fungsionaris Adat Nggorang tidak lebih semacam arisan yang hanya bisa diumumkan pakai microfon. Hal ini juga menimbulkan pertanyaan masyarakat adat Nggorang terkait legalitas pengangkatan yang dinilai cacat adat,” tegas Anton
Selain itu Indra mengungkapkan bahwa, sangat jelas keterlibatan Yohanes Don Bosco yang mengatasnamakan Niko Naput menunjukan lokasi 40 hektar.
“Pertanyaannya apakah Don Bosco ini bagian dari Fungsionaris Adat ataukah wakil dari Haji Ramang yang diangkat berdasarkan calling-calling?,” tanya Indra
Lebih lanjut, Indra mengugkapkan bahwa Saksi ahli Profesor Agraria dan Hukum Adat Universitas Hasanudin Makassar Prof. Dr. Farida Patitingi, S.H., M.Hum yang dihadirkan dalam persidangan di PN Labuan Bajo menjelaskan terkait kepastian hukum adat atas kepemilikan tanah perorangan .
“Kemarin itu saksi ahli katakan bahwa penyerahan secara lisan menurut tata cara adat oleh Fungsionaris Ulayat Itu adalah sah. Jika dibuatkan suratpun oleh Fungsionaris Ulayat, itu juga kuat. Jika ada kekeliruan lokasi, semisal tanah yang diserahkan ternyata sudah milik orang lain, Fungsionaris ulayat bisa membatalkannya,” ungkap Indra
Ia menuturkan bahwa pernyataan saksi ahli tergugat sangat relevan dengan tata cara adat perolehan tanah komunal di wilayah Fungsionaris adat Nggorang.
“Surat keterangan kepemilikan itu adalah sebuah syarat administrasi dan dasar utamanya adalah tetap dengan tata cara adat “kapu manuk lele tuak” yang tidak secara tertulis,” tutup Indra
Hingga berita ini diterbitkan, Santosa Kadiman dan Haji Ramang belum memberikan keterangan resmi meskipun media telah beberapa kali berupaya melakukan konfirmasi.**Redaksi**