RUTENG, BERITA FLORES- Surat keputusan (SK) nomor HK/417/2022 tentang penetapan lokasi perluasan PLTP unit 5-6 di Poco Leok yang diteken Bupati Manggarai Heribertus G.L Nabit, kini mendapat sorotan berupa kecaman hingga aksi demontrasi dari publik.
Pasalnya SK tersebut diterbitkan Bupati Nabit secara sepihak tanpa melalui mekanisme koordinasi dengan berbagai pihak sebagai pemangku kepentingan.
Penerbitan SK secara sepihak oleh Bupati Heri Nabit diakui Wakil Bupati Manggarai, Heribertus Ngabut.
Wabup Heri Ngabut membeberkan pengakuan itu ketika beraudiensi dengan massa unjuk rasa yang berasal dari Poco Leok.
“Jujur saya memang belum pernah dilibatkan, tapi tidak apa-apalah. Karena bagi saya, karena ini tentu ada prosedur dari aspek kepemerintahan dan yang punya hak untuk mengeluarkan SK, itu kewenangan absolute seorang bupati,” ujarnya kepada wartawan pada Kamis, 10 Agustus 2023.
Bupati Manggarai, kata dia, berani membuat SK penetapan lokasi tentu didasari kesepakatan.
Sebab itu, akan ditelusuri kembali semua pihak yang menjadi bagian dari kesepakatan tersebut.
Lalu menanggapi tuntutan masyarakat Poco Leok yang meminta mencabut SK tersebut, Wabup Heri Ngabut berjanji akan berkoordinasi dengan Bupati Nabit .
Ia juga mengimbau agar aktivitas proyek goethermal di Poco Leok dihentikan sementara waktu.
Ia beralasan, jika aktivitas proyek geothermal Poco Leok tetap dilakukan di tengah kencangnya gelombang penolakan, maka akan menimbulkan luka demi luka.
“Jadi, kita coba potong dulu. Istrahat dulu, sambil kita diskusikan kembali persoalan ini dengan Pa Bupati, pihak PLN atau Ulumbu, dan pihak-pihak lain yang terlibat di sana. Sabar dulu dan pelan-pelan, karena menurut saya kalau itu tetap dipaksakan, tidak ada guna diskusinya karena luka akan bertambah,” pinta Wabup Heri Ngabut.
Saat ini SK sepihak Bupati Nabit itu memang menjadi kekuatan bagi pihak PLN yang dinilai brutal dan serampangan dalam melakukan aktivitas survei lokasi dan pematokan lahan pengeboran proyek geothermal unit 5-6 Poco Leok.
Sebagaimana diberitakan berbagai media selama ini dan diakui Warga Poco Leok sendiri bahwa pihak PLN terus mengerahkan aparat Kepolisian, TNI, dan Sat Pol PP secara besar-besaran untuk mengawal setiap aktivitas proyek geothermal di Poco Leok, sehingga bentrok yang selalu mengorbankan masyarakat tidak bisa dihindari.
Warga Poco Leok, dalam siaran pers yang yang diterima Beritaflores.com mengatakan bahwa di tengah meluasnya gelombang penolakan warga atas perluasan penambangan panas bumi ke Poco Leok, pemerintah dan PT PLN justru terus berupaya paksa mempercepat proses perluasan PLTP Ulumbu ke Poco Leok.
Selain itu, rentetan upaya paksa percepatan proses perluasan wilayah operasi PLTP Ulumbu tersebut tanpa sepengetahuan dan seizin warga adat selaku pemilik ulayat.
Pendekatan keamanan yang represif melalui keterlibatan Polisi, TNI, dan Sat Pol PP justru memicu eskalasi konflik di Poco Leok.
Akibatnya, sebagian warga penolak mendapat tindak kekerasan fisik dan intimidasi, hingga sebagiannya dilarikan ke fasilitas kesehatan (Puskesmas) setempat.
Brutalitas aparat keamanan itu, ungkap Warga Poco Leok, salah satunya terjadi pada 20 Juni 2023, ketika PT PLN dan BPN/ATR Manggarai hendak mematok lahan/tanah warga.
Warga penolak yang terdiri atas empat (4) orang perempuan dan lima (5) orang laki-laki mengalami kekerasan karena ditendang dan didorong hingga terjatuh ke selokan. Seorang perempuan juga mengaku organ kewanitaannya dipegang oleh Polisi.
Dampak dari ulah keputusan Bupati Nabit itu, saat ini hak-hak masyarakat adat Poco mulai terpinggirkan, kehidupan tengah terancam, hingga ditengarai akan kehilangan ruang hidup seperti rumah adat, sekolah, gereja, hutan, lahan pertanian dan perkebunan, hingga pemukiman.
Kini, riakan tangis dan luka masyarakat Poco Leok terus menjerit, berdarah-darah, berjuang sepanjang waktu mempertahankan hidup dari upaya paksa pengeboran proyek geothermal di wilayah mereka.
Sebab itu, Warga Poco Leok mendesak Bupati Manggarai untuk mencabut SK bernomor HK/417/2022 dan segera mengambil langkah konkret untuk menghentikan seluruh proses survei dan pematokan lahan untuk perluasan proyek panas bumi Ulumbu ke Poco Leok oleh Dinas ATR/BPN Manggarai.
Senada dengan Wabup Heri Ngabut, Matias Masir selaku Ketua DPRD Kabupaten Manggarai juga mengaku lembaga yang dipimpinnya tak pernah dilibatkan dalam diskusi SK penetapan geothermal di wilayah Poco Leok.
“Saya sangat kesal dengan pemerintah. Intinya begini, bukan soal kami tutup mata, tidak. Kami akan memperjuangkan kepentingan masyarakat. Siapa saja, kami akan berjuang,” ungkap Matias.
Ia mengatakan “pemerintah tidak pernah berdiskusi dengan DPRD soal penetapan SK itu. Penetapan SK kami tidak tahu, yang kami tahu sekarang ini setelah terjadi, nasi sudah jadi bubur.”
Sementara menanggapi aksi unjuk rasa yang dilakukan warga Poco Leok, Ketua DPRD Kabupaten Manggarai itu pun memberikan respon positif.
Baginya, perjuangan masyarakat Poco Leok sangat luar biasa dan patut diberi apresiasi. Ia berharap, mudah-mudahan dengan berjuang bersama ke depan, maka pemerintah harus pertimbangkan kembali soal SK itu.
“Yang pertama saya tentunya apresiasi kepada warga poco leok yang telah menyampaikan aspirasinya kepada pemerintah. Luar biasa saya berikan apresiasi perjuangan dari masyarakat itu,” imbuh Matias.
Terkait desakan warga Poco Leok yang meminta DPRD segera menyurati Menteri ESDM, PT PLN, Kapolri, dan Bupati Manggarai, ia menegaskan pihaknya terlebih dahulu melakukan kajian terhadap persoalan proyek geothermal Poco Leok yang saat ini sedang bergulir.
Namun karena kondisi saat ini sampai 24 Agustus mendatang lembaga DPRD konsen membahas agenda KUA-PPAS untuk tahun anggaran 2024, sehingga ia mengambil keputusan menunda agenda pembahasan geothermal Poco Leok.
“Sehingga kemarin secara lembaga, saya menyurati koordinator demo dari Poco Leok, itu saya tunda dulu. Tapi nanti tetap saya lakukan diskusi secara lembaga,” tutup Matias.
Untuk diketahui, Beritaflores.com telah menghubungi Bupati Heri Nabit guna mendapatkan klarifikasi. Namun hingga berita ini diturunkan yang bersangkutan belum kunjung memberikan respon.
Penulis: Heri Mandela