Ambros Leonangung Edu
Sebuah drama berjudul Draußen vor der Tür (the Man Outdoor) karya Wolfgang Borchert, mengisahkan pergumulan hidup sang tokoh utama, Beckmann, seorang veteran perang yang hidupnya sangat memilukan usai Perang Dunia II. Perang Dunia II telah mengakibatkan Jerman hancur, perekonomian lumpuh, kematian dan kelaparan menjadi pemandangan di mana-mana. Drama tersebut mengambil latar perang itu, dan gambaran akurat hancurnya kehidupan manusia diwakilkan dalam karakter Beckmann. Ia kehilangan masa depan, bangsa dan negara yang aman, orangtuanya, rumah kebanggaannya, dan orang-orang yang dikasihinya. Ia juga mengalami perasaan tertekan atas kematian para tentara yang menjadi tanggung jawabnya sebagai kolonel. Kisah Beckmann bergulat dengan pertanyaan-pertanyaan di tengah penderitaan manusia: pada saat menderita, siapakah yang bisa memberi harapan? Kepada sesama dan keluarga? Banyak dari mereka sudah mati dalam perang. Kepada Tuhan? Secara eksplisit, Tuhan memang tidak dapat diharapkan. Satu-satunya sandaran terakhir yang dapat dijadikan pegangan dan hiburan adalah diri sendiri. Diri sendiri pada saatnya tidak dapat dijadikan sandaran dari proses pencarian makna terakhir hidup ini. Inilah proses pergumulan manusia dalam deritanya.
Perang dalam kisah Beckman identik dengan perang melawan korona. Akibat keduanya sama-sama berujung pada kematian masif spesies manusia. Data-data statistik kematian akibat pandemi korona terus meningkat setiap saat. Ekses wabah ini tidak main-main. Ketakutan akan ancaman kematian mengintai kita. Perekonomian melambat. Akses terhadap pekerjaan dan penghasilan tertutup. Banyak orang sulit mengais rejeki. Berharap pada negara, negara sedang sangat sibuk dengan penanganan ekstra dan stimulus (bantuan) untuk mengobati rasa dahaga warga biasa di tengah efek buruknya perekonomian. Tetapi, kapabilitas negara tidak sebanding dengan rintihan masyarakat kebanyakan, seperti petani, tukang ojek, buruh, dan pengusaha-pengusaha kecil lainnya. Berharap pada kekuatan diri, tidak ada yang dapat melakukan di tengah peraturan lockdown.
Kita lalu berpaling kepada Tuhan. Mungkinkah Tuhan dapat menghilangkan penyakit ini? Ada yang rasional dalam menghadapi situasi dengan menjalankan kehidupan yang seimbang. Tidak sedikit kaum beragama yang berpikir bahwa musibah korona ujian atau cobaan dari Tuhan. Mereka berpikir, tidak ada sesuatu pun yang terjadi di luar kehendak Tuhan. Korona adalah kecupan manis dari Tuhan agar kita lebih dekat dengan Dia. Tuhan mau membuat perbedaan dengan kejutan-kejutan yang sulit ditebak bahkan oleh para ahli sekalipun. Tuhan melempar kejadian yang tidak kita sukai namun harus diterima sebagai tanda ketaatan total. Anggapan ini dipicu obsesi religiositas yang dominan menolak peran intelek dan ilmu pengetahuan (sains) pada ajaran-ajaran agama. Iman tidak diiringi dengan akal sehat. Iman hanya dimengerti hati. Ilmu tidak berguna untuk memahami Tuhan.
Corona juga telah membawa keraguan, seperti Beckmann dalam drama Draussen vor der Tűr. Saat mengalami putus asa atau depresi sebagai dampak dari rentetan musibah yang tak ada kata akhir, kita menggerutu dan bahkan menggugat Tuhan. Seolah-olah Tuhan menciptakan sebuah batu besar yang Ia sendiri tidak mampu memikulnya. Sikap semacam ini berlaku pada golongan sekuler yang hidup enak di bawah bayang-bayang globalisasi ateistik dan rasionalistik. Antroposentrisme dalam dunia dewasa ini telah memposisikan rasionalitas sebagai paradigma mainstream dalam memecahkan teka-teki alam. Rasio memiliki anak kandung bernama ilmu pengetahuan dan teknologi. Anak kandung ini melahirkan konsep-konsep pembangunan dan sistem perekonomian berorientasi profit. Efek samping dari proses ini adalah sekularisasi, yang artinya lebih percaya pada kekuatan rasio dan skeptis pada kekuatan Tuhan. Namun, percaya pada ilmu dan teknologi tidak memberi apa-apa dalam pengalaman eksistensial seperti korona ini.
Peluang dan Tantangan Religius
Pertama, wabah korona telah menggugat konsep religiositas serta praktik keagamaan. Praktik keagamaan konvensional yang cenderung ritualistik, yang didasari doa-doa dan kothbah-kothbah bernada saleh, puja-pujian, warna-warni bunga dan arak-arakan meriah, kini mendapat tantangan untuk keluar dari zona euforia ritualistiknya. Agama mau tidak mau membuka sekat dogmatisme untuk terjun kepada persoalan-persoalan praktis seperti korona.
Kedua, kehidupan kaum beragama ketika berhadapan dengan pengalaman kepahitan, maka manifestasi religiositas melalui doa-doa mereka tampak lebih berupa jeritan. Doa sebagai jeritan dapat saja kedengarannya a-religius, bahkan anti-religius, yakni penuh umpatan dan keraguan akan Allah yang mungkin pernah diimani dengan sangat setia. Yang menjadi alamat akhir dari umpatan dan penolakan itu tetaplah Allah, yang tak terbatas dan tak dapat dibatasi. Allah yang menjadi alamat doa adalah Allah yang jelas dipahami atau dimengerti karena kebaikan-Nya, tetapi juga Allah yang memiliki sisi-sisi gelap yang penuh misteri dan belum dipahami (Kleden, 2009).
Ketiga, di masa pandemi ini, orang-orang beragama tampak mendengarkan para ahli dan pemerintah untuk peduli pada keselamatan. Dualisme pandangan sejarah keselamatan bergerak kepada unitas sejarah keselamatan. Keselamatan personal-akhirat (surga) yang selama ini lebih dipedulikan harus berkontrontasi dengan keselamatan duniawi (dunia). Prioritas pada keselamatan surga saja dengan janji-janji manisnya telah mengakibatkan apatisme terhadap situasi konkret. Pada kasus konkret di negara kita, dualisme ajaran keselamatan menciptakan polaritas antara mereka yang saleh dengan yang kafir. Kini kita bergumul dengan keselamatan kini-sini-dunia (komunal-global).
Kita berada dalam suatu masalah, entah mereka yang religius maupun yang sekuler, berhadapan dengan tantangan kita sebagai organisme biologis yang dapat terluka, sakit, menderita dan mati. Kita terikat dengan hukum-hukum dunia fisik. Barangkali, meminjam kata-kata O. Robut, Tuhan bukan tukang sulap yang siap menghilangkan Covid-19 dalam sekejap sesuai keinginan kita; bagi Allah, materi tetap materi dengan hukum-hukum fisikanya. Sakit dan penderitaan adalah efek dari eksistensi ciptaan sebagai makhluk material.
Maka, kepatuhan pada instruksi serta rekomendasi pemerintah dan para ahli, diiringi doa-doa jeritan yang kuat, adalah bentuk negosiasi terbaik untuk menjembatani kontradiksi antara keinginan untuk hidup sehat dan sikap beriman. Dalam kejenuhan berada di rumah (stay at home), dalam menghadapi kekhawatiran atau terlanjur menderita diterpa Covid 19, kita tetap kembali kepada kesejatian diri kita sebagai homo religiousus (manusia beriman) sekaligus ens rationale (makhluk berpikir), dengan tetap mengandalkan Tuhan, meskipun tidak harus menggugat-Nya, tetapi juga mengikuti prosedur-prosedur manusiawi.
Penulis merupakan Dosen Unika Santu Paulus Ruteng, kini menetap di Ruteng, Kabupaten Manggarai
Menurut saya, efek dari Stay at Home amat menusuk iman kita. Dengan situasi itu, semua kepala keluarga, misalnya, setiap saat mengedukasi anggota keluarga untuk yakin bahwa Allah selalu hadir bersama mereka. Itu terlihat dari rajinnya sebuah keluarga berdoa bersama. Sekalipun tidak bermaksud mengabaikan peran Allah dalam perkumpulan bersama di Gereja, seperti tiap hari Minggu, doa atau ibadat di rumah adalah sebuah ‘altar’ yang juga mampu menunjukkan persembahan sebuah keluarga apa adanya. Kini, semua menyadari bahwa gereja kecil, yaitu keluarga, sungguh-sungguh bersemangat membangun relasinya dengan Sang Pencipta selama StayatHome. Kau e Corona, hebat betul. Jika tidak, mana mungkin kami mau ikut prosedur kesehatan pemerintah yang menurut saya, Suara Pemerintah adalah Suara Alla juga. Sukses buatmu to’a hebat.