Oleh: Bastian Utu
       Guru SMAK St. Gregorius Reok

Belum lama ini, Gereja Katolik seluruh dunia merayakan misa hari Minggu secara online (live-streaming). Pada perayaan Minggu Palma, umat Katolik disarankan dapat mengikuti perayaan Ekaristi melalui televisi, komputer, Hp, atau alat elektronik lainnya. Misa online yang ditempuh Gereja  Katolik merupakan salah satu alternatif agar umat Katolik seluruh dunia masih merayakan misa di tengah guncangan Covid-19 yang menyebar ke seantero  jagad.

Arahan maklumat Kapolri terkait pencegahan penyebaran Covid-19 “dilarang berkumpul” menjadi misi utama yang dilakukan di setiap lembaga ataupun instansi. Gereja yang juga merupakan tempat berkumpul umat Katolik pada hari Minggu dan hari-hari besar lainnya pun ditutup. Semua lembaga pendidikan, mulai dai PAUD hingga PT diliburkan sementara dan siswa atau mahasiswa belajar dan/atau mengikuti pembelajaran dari rumah. Para mahasiswa di perguruan tinggi mengikuti perkuliahan daring atau mengerjakan sejumlah tugas, pertemauan rekan kerja di setiap instansi dilakukan, misalnya, melalui teleconference, hingga perayaan misa  bagi umat Katolik yang sangat sakral pun dilakukan secara online.

Menghadapi kenyataan misa online”, muncul aneka pendapat publik yang bertebaran di media sosial. Sebagian orang menyatakan bahwa perayaan misa online adalah bentuk keterlibatan Gereja terhadap situasi yang dialami dunia saat ini. Artinya, dalam keeadaan yang serba darurat Gereja tetap menjalankan tugsa kenabiannya untuk menyapa umatnya dari mana saja dan dalam keadaan apa saja. Sementara itu, sebagian yang lain berpendapat bahwa perayaan misa online adalah sebuah aksi pamer.

Mencermati fenomena sosial tersebut, penulis dapat menarik suatu ikhtisar bahwa misa online, selain merupakan suatu kenyataan yang baru, juga menjadi satu tantangan tersendiri bagi umat kristiani Katolik. Justru itu, fenomena tersebut mesti dilihat dalam sudut pandang iman dan akal budi.

Tantangan Iman dan Akal Budi

Dalam arti leksikal, tantangan adalah cobaan. Terkait dengan asumsi terhadap fenomena misa online, tantangan iman dan akal budi sangat penting untuk direfleksikan secara kritis. Pertama, tantangan iman. Perayaan misa online adalah konsekuensi dari penyebaran Covid-19. Perayaan misa online dilakukan untuk menghindari ajang berkumpulnya banyak orang. Perayaan misa online ini tentunya dilihat sebagai salah satu upaya Gereja menyelamatkan manusia dari pandemi Covid-19. Gereja terlebih dahulu melakukan aksi sebelum reaksi berkelimpahan terhadap masalah kemanusiaan.

Dalam potret ini, kita melihat bagaimana iman kita bekerja dari rumah. Jika sebelumnya kita berdoa dan mengikuti perayaan Ekaristi dengan hadir secara fisik di gereja, sekarang kita berada di rumah dan hanya berdoa dan mengikuti Ekaristi melalui media daring. Kita hanya melihat para Imam memimpin misa dan kita mengikutinya di rumah masing-masing. Tentunya ini adalah tantangan iman bagi kita. Apakah kita memberi sepenuhnya waktu terhadap perayaan tersebut? Apakah kita percaya bahwa perayaan tersebut adalah sakral? Apakah kita yakin bahwa kita akan menerima berkat?

Mengutip Frans Magnis-Suseno dalam Iman dan Hati Nurani, iman adalah penyerahan hati kepada yang-Mutlak-Yang Baik dan penyerahan itu terjadi dalam ketaatan hati nurani. Di sini jelas, ber-iman adalah penyerahan hati dan kepercayaan sesungguhnya kepada-Yang Mutlak. Dengan demikian, jika misa online kita hayati dengan iman maka semua yang dilakukan adalah hal yang benar dan sama dalam praktik misa seperti biasanya. Artinya, di sini  hal dapat membedakannya hanyalah “cara dan medianya”. 

Kedua, tantangan akal budi. Akal budi adalah pikiran kita. Beberapa pendapat yang muncul di media sosial menunjukkan bahwa akal budi kita sedang diganggu. Tidak sedikit orang yang juga berpendapat bahwa  kebijakan misa online adlaah sesuatu yang tidak wajar. Pendapat-pendapat tersebut menjelaskan bahwa misa online yang dilakukan adalah bentuk aksi pamer iman. Pada titik ini, hemat penulis, kentara sekali bahwa nalar kita tidak bekerja dengan baik. Menurut Immanuel Kant, moralitas “fakta akal budi” kehilangan rasionalitasnya jika Allah tidak ada. Kant sesungguhnya hendak menyatakan bahwa pekerjaan akal budi adalah kehendak Allah juga. Akal budi tidak akan bekerja jika di dalamnya Allah tidak ada.

Akhir kata, komentar-komentar tidak wajar pada unggahan di media sosial adalah perilaku akal budi yang belum dewasa. Sebagai umat Katolik mestinya kita bersyukur atas kebijakan misa online. Itu berarti, kita tidak membatasi keselamatan Allah atas hidup kita. Sisi lain, kita juga bersyukur walau dalam keadaan dunia yang sedang sakit, kita masih dilayani dengan sungguh, dan merasa memiliki “Gereja” sebagai persekutuan yang Satu, Kudus, dan Apostolik. Selamat merayakan Tri Hari Suci menyongsong perayaan Paskah secara online dalam sukacita.

Previous articleMeski Diprotes, Pemda Manggarai Tetap Lanjutkan Pembersihan Pusat Karantina
Next articleUpdate Corona 9 April: Satu Warga di NTT Positif Covid-19

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here