Damai itu kondisi batin. Bukan sebagai hadiah, tetapi sebagai proses menjadi manusia yang beradab. Keadaban masyarakat mensyaratkan perdamaian dan kebaikan bersama.
Damai itu indah bagi mereka yang merasakanya. Karena itu semua manusia pasti menginginkan kedamaian. Begitu pula dengan sesama saudara yang hidup di wilayah batas: Manggarai Timur (Matim)-Ngada. Lama hidup tak menentu, abis menanti kepastian.
Penandatanganan prasasti kesepakatan batas Matim-Ngada (29/11/2019) bukan lagi sekadar “deus ex machina”, melainkan akhir dari kegamangan atas batas wilayah. Prasasti penanda kepastian. Prasasti itu jembatan, bukan tembok. Garis batas hanya sekadar penanda administratif, bukan pembatas aliran darah persaudaraan.
Di batas, persaudaraan itu pasti tetap eksis. Perbauran identitas yang ada sejak sediakala mesti jadi bekal persaudaraan dan perdamaian. Damai itu ditetapkan di hati, dipraktikan dalam aktivitas lintas batas. Dengan perdamaian, hidup akan lebih baik. “Perdamaian sebagai perjalanan harapan…”, pesan Paus Fransiskus pada 12 Desember 2019. Damai membuat setiap orang dalam harapan menjadi lebih baik.
“Nobody can bring you peace but yourself”, tulis sastrawan Ralph Waldo Emerson. Diri sendiri-lah yang menciptakan damai. Orang-orang di batas Matim-Ngada sudah mau hidup damai. Mereka hidup dalam harapan untuk menjadi lebih baik dan lebih sejahtera. Meraih damai, menanti janji sejahtera. Itu saja.
Anehnya, ada kualitas ekternal yang penuh dengki, iri, rakus, lapar dan tamak, yang tampak gelisah perihal damai itu. Politisi yang lapar kekuasaan akan memanipulasi konflik; pengamat yang rakus tak becus melihat soal; penulis yang penuh dengki pasti merilis provokasi, et cetera.
Dengan pengalaman dangkal, politisi coba pasang badan atas penyelesaian soal yang tak butuh intrik politik. Dengan amatan picik (:melihat dengan “teropong” sedotan), pengamat mengulas konflik privat, sebagai persoalan publik. Dengan perut lapar, penulis dengki meramu kata agar bisa jadi pesawat yang menerbangkannya ke Jakarta (:kumpul data) atau agar jadi sekarung beras.
Paradoksnya, sementara mereka mengeksploitasi soal masyarakat batas untuk setumpuk beras dan kekuasaan, orang-orang di batas justru sedang menikmati kedamaian atas kepastian dan harapan yang mereka terima. Saat ini, orang-orang di batas sedang menikmati Natal 2019 yang penuh damai. Mereka sedang makan dan minum sembari menanti rahmat tahun 2020 dengan segala kelimpahan perhatian pemerintah.
Doa kita, Natal 2019 menjadi “liturgi” pembebasan dari kemiskinan dan keterisolasian; Tahun Baru 2020 menjadi “liturgi” sukacita dalam kesejahteraan.
Filosofisnya, bagi masyarakat batas Matim-Ngada, tahun 2019 adalah tahun kepastian hukum (:prasasti); tahun 2019 adalah tahun keadilan pembangunan (Rp 100 Milyar untuk infrastruktur). “Kohabitasi” kepastian hukum dan keadilan pembangunan akan menjadi kado Natal dan hadiah Tahun Baru terindah.
Semua itu terlaksana karena pemerintah sudah berbuat; para pemimpin sudah bikin solusi; masyarakat sudah berpartisipasi. Tak perlu ada lagi intrik politik, tak usah bikin ilusi “historis”.
Kita semua ingin damai, bukan dengan cara berperang (:kekerasan), melainkan dengan pemerataaan pembangunan dan ekonomi. Semua itu pasti sudah ada di benak para pemimpin dan kebijakan pemerintah daerah.
Jadi tak perlu pasang badan karena itu akan menjadi tembok pemisah persaudaraan; tak usah membuat tulisan provokatif karena itu akan menjadi teralis berduri mengusik keakraban bermasyarakat.
Pesan damai Paus Fransiskus perlu kita resapi lagi. “Dunia tak memubutuhkan kata-kata kosong melainkan saksi meyakinkan, pembawa damai yang terbuka untuk dialog yang menolak pengucilan atau manipulasi”. Dunia tidak butuh provokator, melainkan aktor perdamaian.
Bupati Manggarai Timur Agas Andreas, Bupati Ngada Paulus Soli Woa, Gubernur NTT Viktor B. Laiskodat adalah aktor perdamian itu. Mereka tak boros kata, tetapi kaya nalar untuk melahirkan resolusi. Mereka tak “berulah”, tetapi mengubahkan konflik menjadi kekuatan untuk terus membangun masyarakat.
Seandainya masih ada orang yang gelisah melihat perdamaian di batas Matim-Ngada, mati kita berdoa untuk mereka. Sisipkan ujud damai Natal kita untuk mereka. Seandainya masih ada orang yang gemar memanipulasi situasi di batas itu, ampunilah mereka sebab kita tahu mereka sedang melakukan intrik politik.
Lalu, mari kita terus mengusahakan perdamaian. Damai itu butuh komitmen dan kreativitas. Komitmen atas janji (pacta sunt servanda), kreatif dalam membangun (kesejahteraan). Dalam semangat itu, harapan akan kebaikan bersama menjadi kenyataan.
Akhirnya, salam damai Natal buat saudara-saudari kita di batas. Kalau Tuhan datang membawa pedang, maka itu bukan untuk berperang, melainkan untuk memisahkan gembala dan penyamun; pemimpin otentik dan pemimpin picik.
Alfred Tuname
Warga Manggarai Timur