Air tenang menghanyutkan. Itulah quote yang biasanya diberikan kepada orang yang pendiam tetapi memiliki wawasan dan pengetahuan yang dalam. Diam menandakan tenang. Orang tenang itu tidak grasa-grusu. Orang tenang itu waras, tidak marah-marah sembarang di jalanan. Pikiran dan tindakannya penuh perhitungan taktis sekaligus strategis.
Begitulah kira-kira jabaran kecil dari gaya bahaya “air tenang menghayutkan”. Mungkin atas dasar filosofi “air tenang”, Pemda Manggarai Timur (Matim) membuat terobosan inovatif. Acara pelantikan Eselon II diselenggarakan di Tepian Danau Ranamese. Tanggal 13 Desember 2019, ada 9 orang ASN dilantik.
Pada saat pelantikan itu, Bupati Manggarai Timur Agas Andreas, SH., M.Hum menggarisbawahi filosofi “air tenang” Danau Ranamese. Ia berpesan, jiwa kepemimpinan para Eselon II yang dilantik mesti tenang dan asri seperti danau.
Jika diresapi secara mendalam, pesan Bupati Agas Andreas itu penting dan mendasar. Ketenangan merupakan sikap dasar seorang pemimpin. Ketenangan itu dekat dengan bijaksana. Ketenangan itu sahabat keberhasilan.
Pemimpin yang tenang pasti menghasilkan keputusan atau kebijakan yang baik. Sebab dalam ketenagannya ia memikirkan dan merencanakan sebuah kebaikan bersama. Risiko kecil, tetapi hasil kebijakan itu dinikmati banyak orang.
Pemimpin yang tenang itu tidak memikirkan dirinya sendiri. Pemimpin yang tenang itu selalu mempercayakan orang lain (staf/kabid) dalam menyukseskan sebuah kebijakan atau kegiatan. Ia tidak banyak mencampuri urusan teknis sampai yang kecil-kecil. Ia hanya mengontrol dan mengarahkan agar semua rencana berjalan dengan lancar.
Output yang baik pada perencanaan atau kebijakan bermula dari kepemimpinan yang tenang. Pemimpin yang grasa-grusu pasti akan merusak sistem kerja pada birokrasi. Apa yang disentuhnya pasti jadi lumpur, bukan jadi emas. Padahal, dalam sebuah birokrasi dibutuhkan pemimpin yang bisa mengayom (anggom) semua staf dan anggotanya. Sebab, sukses seorang pemimpin itu ada di pikiran, imajinasi dan kerja para staf.
Seperti pada staf birokrasi yang (pasti) mendambakan figur pemimpin yang tenang, masyarakat Manggarai Timur pun berharap pemimpin yang ada setiap Dinas situ memiliki sikap dan cara pikira yang tenang. Dasarnya, pelayanan publik akan semakin baik bila para Kadis (Kepala Dinas) membuat kebijakan dari pikiran yang tenang. Jadi, tak ada lagi produk kebijakan yang terkesan buru-buru, tidak siap, amburadul dan asal buat.
Maka benarlah titah Bupati Agas Andreas agar pada Kadis harus punya jiwa kepemimpinan yang tenang. Semua akan tercapai apabila dimulai dari ketenangan. Ketenangan Danau Ranamese mestinya menggenangi alam pikiran dan tindakan para Eselon II yang baru dilantik.
Belajar dari Danau Ranamese itu mengingatkan kita pada ungkapan filsuf China Lao Tzu, “ alam tidak terburu-buru, namun semuanya tercapai”. Al’ajalah minasy syaithan: tergesa-tergesa atau terburu-buru itu pekerjaan setan. Hanya ketenanganlah senjata yang bisa menangkis setiap arus kritik-politis yang kesetanan (:pasang badan tanpa data, Analisa dan perskpetif konstrutif).
Dalam kritik-politis, Manggarai Timur di-fait accompli menjadi daerah “seolah-olah”, a heap of delusions”. Seolah-olah, semua yang direncanakan dan dibuat oleh pemerintah itu buruk, tidak visioner dan tidak mendatangkan kebaikan bersama. Apa saja dikritik biar yang pengkritik mendapat simpati (politis). Dengan lensa cekung, pembangunan di-framing untuk meraba-raba kesalahan (lalu diamplifkasi).
Atas gejolak politik pembangunan itu, seorang pemimpin butuh sikap dan pikiran tenang. Melihat dan membaca soal dengan tidak gegabah mengambil sikap. Resposif tetapi tetap arif. Komunikasi dan koordinasi menjadi “vena pulmonalis” yang membawa oksigen ke otak. Otak bisa berpikir positif, konstruktif dan solutif dalam ketenangan.
Selebihnya, masyarakat mengucapkan selamat menjalankan tugas kepada para pemimpin OPD yang sudah dilatik. Bekerjalah sesuai aturan dengan semangat pengabdian yang tinggi bagi masyarakat. Jika kejujuran adalah kemewahan terakhir seorang pemimpin, maka mulailah itu dengan ketenangan. Pemimpinan tenang, Matim aman.
Akhirnya, mari bekerja bersama-sama dan sama-sama bekerja. Itulah etos “seber”yang mesti didorong dalam proses pembangunan Manggarai Timur. Jangan bekerja sendiri sebab rumah Matim tak bisa berdiri hanya satu kaki; jangan bermimpi sendiri sebab “Lawelujang” tak bisa terbang dengan satu sayap.
Alfred Tuname
Esais, Warga Manggarai Timur