BORONG, BEF–Persoalan tapal batas antara Kabupaten Ngada dengan Kabupaten Manggarai Timur terus menuai polemik. Pasca penandatanganan kesepakatan batas baru antara Bupati Nagda, Paulus Soliwoa dan Bupati Manggarai Timur, Agas Andreas bersama Gubernur NTT, Viktor Bungtilu Laiskodat terkait perbatasan wilayah dua kabupaten mendapat sorotan publik.
Bahkan terjadi penolakan secara masif dari berbagai kalangan pasca keputusan Gubernur Nusa Tenggara Timur, Viktor Bungtilu Laiskodat bersama Bupati Manggarai Timur dan Bupati Ngada di Kantor Gubernur, pada Selasa, 14 Mei 2019 lalu.
Informasi diperoleh Beritaflores.com, perubahan pilar batas antara dua kabupaten sangat merugikan Kabupaten Manggarai Timur. Di mana, 1,5 kilometer wilayah Kabupaten Manggarai Timur mulai dari teluk Labuan Kelambu sampai di bukit Buntal dicaplok Kabupaten Ngada.
Aliansi Gerakan Manggarai Raya Jabodetabek menilai Bupati Manggarai Timur, Agas Andreas telah membuat keputusan prematur dan sangat gegabah. Lebih dari itu, sikap bekas Wakil Bupati Manggarai Timur dua periode itu dinilai sebagai sebuah langkah mundur akibatnya terjadi kecelakaan sejarah.
“Ingat ada faktor sejarah dan kita memiliki sejumlah dokumen hukum. Posisi kita sangat kuat soal tapal batas. Saya melihat kesepakatan terbaru itu sangat politis. Ini kecelakaan sejarah,” ujar Ketua Aliansi Gerakan Manggarai Raya Jabodetabek, Gusti Lesek kepada wartawan melalui WhatsApp, Jumat 28 Juni 2019.
Gusti menjelaskan bahwa, kecelakaan sejarah yang ia maksudkan, adalah pengabaian fakta historis berupa peta topografi tahun 1916 dan 1918, fakta yuridis-normatif berupa keputusan bersama pemerintah kabupaten Manggarai Timur dan pemerintah Kabupaten Ngada pada tanggal 20 Januari 1973 dan dikukuhkan dengan Keputusan Gubernur NTT No 22 Tahun 2003.
Selain itu, kata Gusti, keputusan terbaru Gubernur NTT itu mengangkangi kesepatakan budaya, kesepakatan adat orang Manggarai Raya tentang cahir gendang (pembagian wilayah secara adat Manggarai) yang terjadi pada masyarakat adat di wilayah perbatasan.
Gusti mengatakan, orang Manggarai Raya memiliki satu kesatuan kultur atau budaya yang telah melekat dalam sejarah. Ada kesepakatan bahwa walaupun Kabupaten Manggarai, Manggarai Barat dan Manggarai Timur merupakan daerah otonom, akan tetapi tetap merupakan satu kesatuan budaya sebagaimana telah diikrarkan pada acara cahir gendang 30 Juli 2009.
Pada 28 Mei 2011, kata politisi Partai Hanura itu, tiga pemda menggelar rapat di Ruteng difasilitasi oleh Bupati Manggarai, Christian Rotok. Menurut dia, salah satu kesepakatan adalah Manggarai Raya masih merupakan satu kesatuan budaya dan penyelesaian masalah tapal batas antara Manggarai Timur dengan Ngada tetap berkoordinasi dengan pemerintah, DPRD serta masyarakat Manggarai Raya.
“Menariknya saat itu, mereka sepakat bahwa batas wilayah adalah final sesuai fakta historis (berupa peta topografi tahun 1916 dan tahun 1918) dan fakta yuridis-normatif tahun 1973 serta fakta politis berupa kesepakatan 30 Juni 2007 di Jakarta. Mereka sepakat menolak dengan tegas penentuan tapal batas berdasarkan aspirasi dan suara masyarakat,” ungkap dia.
Ia mengungkapkan, pasca kesepakatan tersebut, tidak ada perubahan soal tapal batas hingga era Bupati Manggarai Timur, Yoseph Tote. Mereka teguh mempertahankan kesepakatan sejarah, hukum dan adat. “Mengapa sekarang Bupati Agas begitu berani, padahal selama 10 tahun dia mendampingi Yoseph Tote. Ini yang harus kita gali secara bersama-sama,” tegasnya.
Tim Advokasi Aliansi Gerakan Manggarai Raya Jabodetabek, Plasidus Asis Deornay,S.H menegaskan, tapal batas Kabupaten Manggarai Timur dengan Kabupaten Ngada harus mengacu pada Undang-Undang (UU) Nomor 36 tahun 2007 tentang pembentukan Kabupaten Manggarai Timur. Ia menambahkan, pihak Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) RI tidak boleh mengangkangi amanat UU tersebut.
Asis mendesak Mendagri, Tjahyo Kumolo agar segera membatalkan kesepakatan bersama antara Bupati Manggarai Timur, Agas Andreas bersama Bupati Kabupaten Ngada tertanggal 14 Mei 2019 di Kupang.
Menurut Asis, kebijakan tersebut tidak mengacu pada kesepakatan tahun 1973. Padahal dokumen kesepakatan itu telah diserahkan sejak lama ke Kemendagri RI.
“Kesepakatan itu tidak mengacu pada undang-undang Pembentukan Daerah (UUPD) yang tidak dilengkapi dengan lampiran peta batas wilayah-wilayah yang benar dan sesuai dengan kaidah perpetaan. Peta lampiran UUPD adalah peta yang bersifat legal. Artinya apa yang digambarkan pada peta tersebut memiliki kekuatan hukum yang bersifat final dan mengikat,” tandas Asis.
Ia meminta secara tegas kepada Mendagri untuk tidak secara prematur menerbitkan Permendagri tapal batas antara dua kabupaten di Flores itu dengan menggunakan rujukan kesepakatan bersama 14 Mei 2019 di kantor Gubernur NTT-Kupang.
“Membuka ruang dialog kepada kedua belah pihak dengan melakukan pendekatan musyawarah-mufakat. Untuk memwujudkan rasa keadilan dan kepastian hukum, Mendagri dimohon untuk menetapkan keputusan tapal batas sesuai dengan fakta-fakta sejarah dan ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku umum,” pungkas advokat kelahiran Manggarai Timur itu. (EFREN POLCE/FDS/BEF).