Oleh Alfred Tuname
Debat Publik Pilkada Manggarai Timur (Matim) pada 06 April 2018, merupakan sebuah peristiwa politik penting. Menulis peristiwa itu berarti menyimpan ingatan atas politik Matim yang beradab dan aman. Dengan ingatan itu, publik mampu memahami bahwa politik itu bukan perkelahian melainkan pertentangan idea luhur bagi kesejahteraan bersama.
Selebrasi publik atas debat tentu bukan atas hadirnya presenter cantik Brigita Mahohara, melainkan atas pertukaran nafas demokrasi yang terjalin apik di pentas debat. Kebahagiaan publik atas debat tentu juga bukan atas meriahnya suasana saling dukung antara tim pendukung, malainkan ada komunikasi budaya yang ramah antar kandidat. Saling sapa dan senyum pertanda ada keramahan. Keramahan itu menjamin kesantunan politik. Tim pendukung pun mesti demikian. Perbedaan politik itu niscara, kesantunan mesti tetap terjaga.
Tetapi kabar baik tentang laku politik pasangan kandidat yang santun itu luput dari perhatian pemberitaan media. Media kita lebih gemar mengabarkan kandidatnya sendiri dan sorak-sorai tim pendukungnya. Maklum, media terlanjur terlibat jauh dalam politik praktis atas nama “terikat” kontrak kerja sama. Hal itu tampak dari angle berita yang disuguhkan ke publik. Tidak semua media memang, tetapi ada. Tentu hal itu sah-sah saja, sesuai dengan hak, keputusan dan politik redaksi masing-masing media. Hanya saja publik masih merindukan dimensi pendidikan politik yang cerdas dari media, bukan profit media semata.
Lepas dari soal “hak prerogatif” pemberitaan media tersebut, publik tentu berterima kasih kepada KPU Kabupaten Manggarai Timur. Dengan semua ide, daya dan tenaga, KPU telah berhasil menyelenggarakan Debat Publik tersebut secara baik dan aman. Tak ada cekcok, tak ada konflik. Substantsi penyelenggaraanya ada, yakni masyarakat Matim dapat menikmati suasana debat publik baik secara langsung maupun dengan mendengarkan radio RPD Matim. Akses publik tersebut tentu terlaksa berkat komunikasi dan koordinasi yang baik antara KPU dengan kandidat, tim pendukung, Panwaslu, Pemda Matim dan aparat keamanan. Publik memberi apresiasi setinggi-tingginya kepada KPU Kabupaten Manggarai Timur dalam membuka suasana politik yang betul-betul demokratis.
Tahta Untuk Rakyat
Tema besar yang dipakai KPU Matim untuk debat publik adalah “Tahta Untuk Rakyat”. Kalimat itu pernah diungkapkan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono IX, sekaligus judul buku untuk mengenang kehidupan Sultan Yogyakarta itu. Jadi, fundasi historis atas “Tahta Untuk Rakyat” adalah refleksi atas kehidupan Sri Sultan Hamengku Buwono IX yang ikut berjuang merebut kemerdekaan RI dengan menyerahkan semua pikiran, tenaga, harta dan nyawa untuk masyarkat dan pejuang saat itu. Semangat pengorbanan itulah yang hendak diwartakan oleh KPU Matim dalam peristiwa Debat Publik Pilkada Matim.
Pengorbanan (sacrifice) merupakan keutamaan atau virtue seorang pemimpin. Bahwa seorang pemimpin akan diingat dan diteladani atas laku pengorbanan yang ia berikan kepada masyarakatnya. Pemimpin itu tidak lahir dari produk pencitraan media, tetapi muncul dari empati dan simpati. Empati dan simpati itu tidak muncul begitu saja, melainkan resultante dari tindakan dan pengorbanan yang diberikan oleh pemimpin itu sendiri.
Pemimpin yang arogan dan megalomaniak hanya akan ditakuti dan dihindari. Kemunculan pemimpin yang narsistik seperti itu biasanya berasal dari pembelajaran (adabtasi) atas budaya dan konteks sosial yang tak selesai. Semacam pribadi yang gamang dan terjebak “political shock”: ia tak mengerti politik, tetapi ingin kekuasaan; ia tak paham budaya (:bahasa dan ritual), tetapi ingin terkesan berbudaya; ia tak paham regulasi, tetapi ingin mengatur; dll. Dalam kegamangan itu, ia menggunakan kekayaan dan perangkat pencitraan untuk membentuk ulang (defrag) pribadinya yang gamang dan terbelah.
Tentu saja, pesan tersirat dari tema “Tahta Untuk Rakyat” adalah ajakan agar memilih pemimpin yang dekat rakyat, bukan pemimpin yang arogan dan megalomaniak. Pemimpin yang dekat rakyat akan merayakan “tahta” kekuasaan politik bersama-sama dengan rakyat dan untuk kesejahteraan bersama. Perayaan atas “tahta” ada pada kebijakan dan program yang rasional, terukur dan pas di benak rakyat, bukan janji yang ilusif jauh dari rasionalitas kebijakan publik. Kebijakan publik pun harus dekat dengan tujuannya (:baca publik) Itulah demokrasi politik yang otentik: “dari, oleh dan untuk rakyat”.
Latihan Berbudaya
Demokrasi selalu jalan bersama budaya. Debat sebagai jabaran praktik berdemokrasi harus selaras dengan nilai dan keadaban budaya. Artinya, etika, kesantunan dan saling menghormati perbedaan selalu menjadi mengait dalam jalinan rasionalitas ide, visi, misi, program yang diperdebatkan. Debat pun menjadi semacam “latihan berbudaya” bagi calon-calon pemimpin.
Perbedaan pandangan dan ide dalam sebuah debat publik adalah keniscayaan, sejauh itu bisa dipertanggungjawabkan secara rasional. Yang jelas, tak ada yang lebih benar di antara yang benar. Kebenaran dalam debat publik hanya bisa ditakar melalui neraca politis di hari pemilihan. Selebihnya, semua pandangan, ide, visi, misi dan program akan diramu kembali (mungkin) untuk menjadi sebuah acuan strategis pembangunan Matim oleh pasangan calon terpilih.
Dengan demikian, debat publik memiliki arti penting secara politis dan strategis. Debat selain berdampak pada rasionalitas pilihan politik pemilih, juga sebagai silaturahmi politik antar-calon pemimpin yang menggotong visi-misi dan programnya masing-masing. Performa, akurasi data dan penyataan diucapkan saat debat akan menjadi pendidikan dan tuntunan politik bermutu bagi publik Matim.
Pasca debat, kita berharap agar Pilkada Matim 2018 terus berjalan secara baik dan bermartabat. Tak ada praktik kekerasan, teror dan politik uang. Setiap strategi politik pemenangan mesti didasarkan atas etika dan moral politik. Selebihnya, biarkan nalar dan hati nurani yang bekerja.
Pernyataan Joseph Stalin masih berlaku hingga saat ini. “It is enough that the people know there was an election. The people who cast the votes decide nothing. The people who count the votes decide everything”. Mari berpolitik secara beradab agar suara kita bisa menghasilkan pemimpin yang mantab: pro rakyat!
Alfred Tuname
Penulis buku “le politique”