Oleh Alfred Tuname
Menuju Pilpres 2019, temperatur politik Indonesia kian panas. Head to head kubu Jokowi-Amin versus Prabowo-Sandi terus menunjukan bendera politik saling serang. Tampak ada filosofi “menyerang adalah pertahanan paling ampuh”. Siapa bisa bertahan, dialah sang pemenang.
Dalam politik saling sertang tersebut, Jokowi tampil sebagai petahana. Statusnya sebagai presiden, Jokowi tampak lebih enteng menikmati politik Pilpres 2019. Berbagai serangan dan tuduhan politik datang bertubi-tubi. Tujuannya, character assassination dan melemahkan antibodi elektabilitas Jokowi yang kian tinggi.
Jawabannya, hanya tindakan. Tak ada banyak kata, Jokowi hanya menjawabnya dengan terus bekerja dan memaksimal posisinya sebagai presiden. Tagline “kerja, kerja, kerja” melekat kuat di pikirannya.
Ketika Jokowi asik bekerja, Tim Nasional Jokowi-Amin tampak pening menampik semua isu yang diarahkan kepada Capres Joko Widodo dan Cawapres Ma’ruf Amin. Hoax dan rekayasa politik diciptakan untuk meruntuhkan kedigdayaan petahana.
Yang paling heboh adalah hoax dan rekayasa politik Ratna Sarumpaet dengan “titik serang” adalah Presiden Jokowi. Hoax Ratna Sarumpaet itu juga menyikut politisi Partai Demokrat Benny K. Harman yang menuduh presiden “memelihara preman”. Tetapi semua alur rekayasa politik itu menjadi kabur setelah Ratna Sarumpaet kedapatan melakukan operasi plastik.
Atas semua bola api politik yang diarahkan kepada kandidat nomor 2, Jokowi-Amin, tim pemenangnya tidak bermetal plastik. Panas tak melelehkan mental para tim pemenangan Jokowi-Amin. Benteng intelektual, jaringan, media dan dana yang kuat membuat garis-garis optimisme semakin menebal.
Sementara kubu Jokowi-Amin mengambil posisi bertahan, kubu Prabowo-Sandi melakukan strategi perang Sun Tzu: “memukul lawan dengan kekuatan lawan itu sendiri”. Jadi ada semacan persepsi dari kubu Prabowo-Sandi bahwa kekuatan atau legitimasi Jokowi sebagai kepala negara kurang digunakan secara maksimal. Karena itu, setiap kelemahan pemerintah diekspoitasi untuk merebahkan elektabilitas kubu Jokowi-Amin.
Kubu Prabowo-Sandi terus mengangkat isu soal kesejahteran masyarakat. Kemiskinan dan disparitas pendapatan masyarakat menjadi “hook” politik yang dianggap bisa melemahkan pemerintah Jokowi. Selain itu, isu ekonomi seperti volatolitas kurs dollar dan inflasi harga sembako menjadi isu yang mematikan kubu Jokowi-Amin.
Tetapi isu-isu “rasional” tersebut justru dianggap sebagai kritikan yang semakin menggeliatkan kerja pemerintah. Semua unsur pemerintahan, baik pihak kementerian maupun pemerintah daerah, bergerak cepat merumuskan kebijakan untuk “menyelamatkan” ekonomi dalam negeri. Sebab, kritikan kubu Prabowo-Sandi adalah “suntikan vitamin B-12” yang mengaktifkan impuls saraf-saraf untuk berpikir cepat dan tepat.
Terbaca, yang mengeluh soal ketimpangan ekonomi dan inflasi bukan bukanlah masyarakat, tetapi justru para elite-elite politik. Publik pun menilai ada dagelan politik, yakni elite yang bergelimang harga yang justru banyak mengeluh. Boleh jadi, para elite tersebut sedang cari panggung (marketing politics). Atau bahasa politiknya, mereka sedang “prihatin”, melu ngerasa’ke.
Sikap “melu ngerasa’ke” itu ungkapan moral setiap orang. Tetapi sikap itu mudah terpental di musim politik. sikap itu terbaca sebagai gerakan “empty gesture”: semacan gerakan kosong yang kurang ada tepat sasaran. Publik sudah bisa berasumsi bahwa semua persoalan ekonomi justru bermula dari ketidakstabilan politik yang diciptakan oleh elite politik sendiri.
Manuver politik identitas seperti aksi “212” atau alumni “212” atau kelompok-kelompok yang mengatasnamakan agama, menjadi faktor penghambat kestabilan politik dan sosial. Situasi nasional tampak choas. Tak ada rasa aman, baik dari sosial maupun ekonomi.
Kondisi nasional yang tidak stabil itulah yang ekonomi nasional semakin tidak menentu. Dollar akan lari jika ekonomi tidak stabil. Investasi mancet. Pariwisata hilang. Devisa rendah. Harga barang impor (:raw material) naik.
Sebelum Pilpres, tak ada teriak soal utang luar negeri; tak ada keluhan soal inflasi; tak singgung soal disparitas ekonomi, dll. Para elite duduk manis. Persoalan negeri dianggap itu urusan pemerintah, sejauh tidak bersinggungan dengan urusan para elite politik tersebut.
Menjelang Pipres, semua dituduhkan kepada pemerintah. Semua salah pemerintah. Sembari bermain “lempar batu sembunyi tangan”, para elite memobilisasi massa dan politik identitas sebagai mosi tidak percaya kepada pemerintah. Situasi nasional makin ruwet. Bukan salah kebijakan ekonomi, tetapi rekayasa politik indentitas yang membuat kondisi ekonomi dan nasional makin buruk.
Apa dibalik semua itu? Kekuasaan. rekayasa dan intrik diarahkan demi kekuasaan. Dan Pilpres 2019 seperti sebuah taman politik: semua jenis predator politik berkumpul dan “saling makan”. Politik bukan soal lagi substansi bernegara, tetapi digotong pada soal siapa punya isu, siapa punya hoax, siap punya massa, siap punya dana, etc.
Memindahkan para predator politik itu ke ruang politik yang beradab dan etik adalah pekerjaan yang susah. Penggunaan “bius” etika dan moral atau kerangkeng politik rasional pun tidak beguna. Persisnya film Jurassic World: Fallen Kingdom (2018), usaha memindahkan dan menyelamatkan semua jenis predator purba dari Isla Nublar justru membuat mereka semakin liar.
Persis seperti itulah politik nasional kita hari ini. Liarnya Pilpres 2019 membuat semakin was-was dan cemas. Tetapi dengan tetap beratap pada “kapsul” politik yang rasional, publik mampu mempertahan Indonesia yang satu dan beradab.
Akhirnya, welcome to jurassic world: Pilpres 2019!
Alfred Tuname
Penulis Buku “le politique” 2018