oleh Alfred Tuname
Dalam Pilkada Mangarai Timur, seorang calon wakil bupati dalam sebuah kampanye mengatakan, apabila pembangunan Manggarai Timur belum maksimal, maka yang disalahkan adalah wakil bupatinya karena fungsi pengawasannya tidak berjalan.
Pernyataan itu terekam jelas dalam pemberitaan media online. Pernyataan tersebut cukup “provokatif” dan memancing kebingungan nalar politik publik. Sebab, sang calon wakil bupati yang membuat pernyataan tersebut ternyata adalah adalah seorang mantan anggota DPRD Manggarai Timur.
Sebagai seorang politisi, seharusnya mantan anggota dewan terhormat itu tahu tugas dan wewenang bupati dan wakil bupati. Tugas seorang wakil bupati adalah membantu bupati manakala bupati sedang berhalangan. Tugas wakil bupati bukan mengawasi, melainkan memberikan saran dan pertimbangan kepada kepala daerah dalam pelaksanaan Pemerintahan Daerah.
Tugas pengawasan itu seharusnya diemban oleh para anggota dewan terhormat. Fungsi controling lembaga legislatif mestinya diaktifkan secara maksimal. Tujuannya, agar proses pembangunan daerah berjalan secara baik dan adil.
Jadi, pernyataan calon wakil bupati yang adalah mantan anggota dewan Manggarai Timur itu sebenarnya “pukul tiang kena tembok” atau ia sedang menerasikan “hoax” kepada publik. Hoax itu informasinya nol, kalau mengutip Rocky Gerung (dekat dengan kata “joak” dalam kamus keseharian orang Manggarai). Hoax dibeberkan demi mendapatkan simpati, dengan mengkritik orang lain.
Maksudnya mengkritik calon lain, ternyata justru kena diri sendiri. Sebab dengan pernyataanya seperti itu, sang mantan anggota dewan Manggarai timur itu sendang “menelanjangi” dirinya sendiri. Bahwa sebagai mantan anggota dewan, ia tidak pernah memahami fungsi controling lembaga legislatif. Sebagai calon wakil bupati, ia sendiri tidak pernah membaca Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, di dalamnya juga mengatur tugas dan wewenang bupati dan wakil bupati.
Contoh di atas merupakan salah satu anomali dalam “free speech” politik dalam kampanye. Tanpa persiapan dan pemahaman materi kampanye, seorang politisi cenderung mencari-cari kesalahan orang lain. Kesalahan orang lain dibeberkan secara publik untuk mendapatkan pembenaran diri.
Dalam budaya tradisi lisan orang Manggarai, ada ungkapan (go’et), “néka sina gintang toé kira girat”. Ungkapan ini berisi petuah, janganlah menonjolkan kesalahan atau kekurangan lain, tidak sadar akan kesalahan dan keburukan sendiri.
Ungkapan di atas mesti dipegang teguh oleh para politisi yang gemar berorasi politik (kampanye). Tujuan kampanye adalah mendapatkan perhatian dan simpati publik. Kampanye yang logis dan menyejukan akan mendapatkan simpati publik. Antipati akan berlipat ganda apabila materi kampanye hanya berisi cemoohan dan litani kesalahan orang lain.
Seorang politisi yang gemar membeberkan litani kesalahan orang lain sejatinya dia sedang tidak percaya diri. Mugkin saja, tak ada yang bisa ia banggakan dari dirinya sendiri. Politisi seperti itu pun tak pernah beranjak dari tradisi gosip politik menuju tradisi literasi politik.
Politisi kita memang belum kuat dalam tradisi literasi politik. Tradisi membaca dan menulis masih belum akrab di benak mereka. Politisi lebih senang membaca RAB proyek dibandingkan literasi politik, sosial, budaya, hukum, et cetera. Akibatnya, mentalitas politisi kita cenderung bermental “proyek” ketimbang bermental pembangunan (politik, budaya, sosial, hukum dll).
Memang, semau itu tidak lepas dari akar budaya kita yang akrab dengan budaya lisan. Akan tetapi, dengan budaya lisan tersebut, kita tidak serta-merta tangkas membicarakan apa saja bekenaan dengan kehidupan orang lain (tombo ata, toming ata). Justru melalui tradisi lisan, kita mengungkapkan pengharapan, penghargaan dan doa. Orang Manggarai menggunakan tombo adak, tombo nunduk, go’et, bundu dan cerita rakyat untuk menghargai sesama manusia, alam dan doa kepada pencipta.
Seorang politisi seharusnya bisa menyeduh nilai dan menggunakan “perkakas” budaya lisan tersebut untuk menyampaikan kampanye politik secara santun dan etis. Dengan menggali dan mengakrabi nilai dan pesan-pesan bijak dalam tradisi lisan lokal (Manggarai), seorang politisi tidak akan mungkin melakukan kampanye negatif terhadap lawan-lawan politiknya.
Memang ada banyak politisi kita yang tidak mengakar dalam budayanya sendiri, sebab kembali-pulang (kole beo) ketika ia hendak beranjak jompo atau pensiun di daerah lain. Tetapi setidaknya, frase “kole beo” itu dimengerti sebagai kembali ke pangkuan ibu budaya. Di dalamnya, ada kekayaan bahasa, budaya, dan artefak yang harus dipahami dan diakrapi seoran politisi. “Kole beo” itu bukan hanya nyanyian lagu, tetapi dalam tindakan dan pikiran seorang Manggarai.
Menjadi seorang politisi di daerah seharusnya mengerti budaya, pikiran dan harapan masyarakat di daerah. Dengan begitu, ia dapat diterima oleh masyarakat. Ia diterima karena ia menggunakan bahasa, kebiasaan dan harapan yang dimengerti oleh masyarakatnya.
Oleh karena itu, seorang politisi nolens volens mesti belajar dan akrab semua kekayaan sosial-budaya dan alam pikiran yang ada di lingkungan masyarkat. Ia harus “rancang rak, rai ati” untuk masuk ke dalam nurani masyarakat. Tanpa itu, seorang politisi akan terus berpikiran dangkal, sumber hoax, dan cenderung menyalahkan orang lain.
“Asu seratus toé ngaséng ngaéng ngaruk sa moko”, kata bundu orang Manus. Seratus ekor anjing tidak akan bisa menangkap seekor babi hutan. Sebab, “anjing menggonggong, kafilah berlalu”.
Akhirnya, jika ingin “berdamai” dengan masyarakat, siapkanlah materi kampanye yang damai dan logis!!
Alfred Tuname
Penulis dan esais