JAKARTA, BERITA FLORES — Tepat 10 Desember 2018 PT Pertamina (Persero) berulang tahun yangke-61. Perusahaan energi plat merah ini justru mendapat kado pahit. Kinerja keuangan Pertamina makin menurun tajam. Pertamina hanya mendapat laba Rp5triliun pada kuartal III-2018.
Capaian ini turun drastis dibanding periode sama 2017 yang sempat menembus $1,99 miliar setara Rp26,8 triliun (kurs Rp13.500 per dolar AS). Sampai akhir tahun lalu, Pertamina masih mengantongi laba bersih $2,55 miliar setara Rp34,4 triliun. Namun, laba bersih Pertamina sudah merosot jika dibandingkan dengan 2016 yang mencapai $3,16 miliar.
Deputi Bidang Usaha Pertambangan, Industri Strategis, dan Media Kementerian BUMN, Fajar Harry Sampurno beralasan tergerusnya laba Pertamina disebabkan oleh tingginya harga minyak dunia. Di sisi lain, subsidi yang diberikan oleh pemerintah tak ada perubahan sehingga berdampak pada bisnis hilir. Apalagi Pertamina juga harus mengimpor LPG, minyak mentah, dan BBM.
Kondisi harga minyak mentah yang lebih tinggi pernah terjadi pada periode 2011 sampai dengan 2014. Harga minyak dunia menembus level psikologis $100 per barel. Pada April 2011 misalnya, harga minyak jenis Brent menyentuh $123,07 per barel. Pada Maret 2012 harga minyak Brent menyentuh $124,93 per barel.
Saat itu, Pertamina masih mampu mengempit laba yang besar meski dihadapkan dengan gejolak harga minyak. Pada 2011 misalnya, laba Pertamina mencapai $2,4miliar. Tahun berikutnya, keuntungan bersih Pertamina tumbuh 15 persen menjadi$2,76 miliar. Torehan laba Pertamina pada 2013 mencapai $3,07 miliar.
Kenaikan laba tersebut disokong peningkatan produksi migas serta pertumbuhan positif bisnis niaga migas. Produksi minyak dan gas Pertamina sepanjang 2013 mencapai 465.220 barrels of oil equivalent per day (boepd). Di mana, produksi minyak naik sebesar 202 ribu barel per hari dan produksi gassebesar 1.528 mmscf per hari.
Peningkatan produksi tersebut diikuti dengan penambahan cadangan minyak yang mencapai 237,31 juta barel. Pada tahun itu, Pertamina masih harus mengalami kerugian sebesar Rp5,7 triliun pada bisnis LPG non subsidi ukuran 12Kg.
Pada 2014, keuntungan Pertamina terjun payung menjadi hanya $1,53 miliar disaat ada tren penurunan harga minyak dunia. Laba Pertamina pada 2015 kembali merosot menjadi hanya $1,44 miliar. Pada hal harga minyak Brent sudah melandai dengan titik terendah senilai $37,72 per barel pada Desember 2015. Dari dua kondisi tersebut, menunjukkan saat harga minyak naik atau turun, Pertamina tetap saja menghadapi persoalan keuangan, yang pemicunya bisa dari beban keuangan mulai inefisiensi hingga persoalan subsidi.
Masalah Kronis Beban Hilir
Kenaikan harga minyak dunia yang menjadi berkah bagi perusahaan migas lain, justru menjadi petaka bagi Pertamina. Ini karena, beban hilir yang ditanggung lebih besar sedangkan produksi di hulu juga terus menurun. Kenaikan harga minyak dunia mendorong meningkatnya harga pokok produksi di sektor hilir, seperti bisnis pengolahan, pemasaran dan niaga, serta bisnis LNG milik Pertamina.
Akibatnya, beban pokok penjualan mengalami kenaikan. Tahun lalu, kenaikan beban pokok dan beban langsung lainnya di sektor hilir Pertamina mencapai 26,8 persen dari $27,94 miliar menjadi $35,44 miliar. Secara keseluruhan, beban pokok penjualan dan beban langsung lainnya serta beban usaha Pertamina pada 2017 naik 26,1 persen dari $30,29 miliar pada 2016.
Ini yang kemudian menekan laba kotor perseroan sehingga mengalami penurunan 12 persen menjadi $7,51 miliar dari sebelumnya $8,54 miliar pada 2016. Hasil akhirnya, laba bersih pun tergerus dari $3,16 miliar menjadi hanya $2,55 miliar(PDF). Pada hal penjualan dan pendapatan usaha Pertamina mencapai $42,96 miliar pada 2017. Angka itu naik 17,8 persen dibanding 2016 yang sebesar $36,49miliar.
Di sisi lain, Pertamina juga harus menanggung selisih harga premium yang menjadi tugas distribusi oleh pemerintah. Harga jual premium sampai dengan 2019 nanti, turut menambah beban usaha perseroan. Kebijakan pemerintah soal BBM satu harga juga punya andil. Pertamina sendiri merespons diplomatis persoalan ini.
“Khusus BBM Satu Harga, ini tugas yang harus dijalankan. Apakah ini membebani? Kalau infrastruktur belum ada tentu membebani, biaya operasional mahal,” kata Direktur Utama PT Pertamina Nicke Widyawati dikutip dari Antara.
Pertamina memang dapat masukan tambahan subsidi BBM jenis solar sebesar Rp2ribu per liter. Ditambah lagi, revisi Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 43Tahun 2018, membuat Pertamina harus mendistribusikan premium di Pulau Jawa, Madura dan Bali meski tidak termasuk wilayah penugasan. Volume distribusi yang semula dipatok sebesar 7,5 juta kiloliter pun melonjak dan diperkirakan menjadi 11,8 juta kiloliter.
Penambahan subsidi solar sebesar Rp1.500 per liter itu, menurut Fitch Rating, tidak memberikan dampak signifikan terhadap kinerja keuangan perseroan. Sebab, harga solar dan premium yang dijual Pertamina setelah subsidi, masih dibawah harga pasar sekitar 60-75 persen. “Beban keuangan Pertamina akan bertambah berat karena harga BBM jenis premium dan solar yang tidak mengalami kenaikan. Pada hal, harga minyak dunia mengalami kenaikan,” tulis Fitch Rating dalam laporannya.
Kondisi demikian membuat pendapatan sebelum bunga, pajak, depresiasi nilai tukar dan amortisasi (EBITDA) Pertamina pada 2018, diperkirakan akan turun menjadi sekitar $6 miliar. Padahal, EBITDA Pertamina 2017 mencapai $7 miliar.
Terus turunnya produksi minyak dalam negeri juga menjadi penyebab terpuruknya kinerja keuangan Pertamina. Mengacu data SKK Migas, pada 2008 lifting minyak tercatat 926 ribu barel per hari (bph). Capaian ini terus turun hingga menyisakan 803,8 ribu bph pada 2017. Pada 2015, produksi minyak tergerus signifikan menjadi hanya 786 bph. Belum lagi, jatah minyak dan gas oleh perusahaan kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) lain biasanya akan dialokasikan sebagian untuk ekspor. Dengan begitu, dalam memenuhi kebutuhan konsumsi minyak dalam negeri, Pertamina harus melakukan impor LPG, BBM, dan minyak mentah.
Padahal, Fitch memperkirakan adanya kenaikan volume produksi minyak dan gasPertamina menjadi 928 ribu barel per hari (bph) setara minyak per hari (mboepd) pada 2018. Jumlah itu naik 30 persen dibanding 693 mboepd pada 2017. Penambahan volume produksi didorong oleh produksi dari lapangan Mahakam, yang diambil alih Pertamina pada Januari 2018.
“Volume produksi yang lebih tinggi, bersama dengan harga minyak mentah yang kuat, harusnya bisa meningkatkan keuntungan hulu Pertamina dan agak mengimbangi kelemahan dalam bisnis hilirnya,” tulis Fitch dalam laporan yang sama.
Fitch Rating memperkirakan adanya penurunan terhadap surat utang yang diterbitkan perseroan. Lembaga penilai peringkat berskala internasional ini menuliskan, “Buruknya pelaksanaan reformasi bahan bakar dan subsidi Indonesia selama masa harga minyak mentah yang tinggi, telah sedikit melemahkan profil bisnis Pertamina,” tulis Fitch dalam laporannya.
Fahmy Radhi, Dosen Departemen Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada(UGM) mengatakan, peningkatan produksi harus dilakukan Pertamina untuk keluar dari capaian kinerja yang buruk. Presiden Jokowi juga pernah menyindir persoalan ini. Di saat yang bersamaan, efisiensi biaya produksi juga harus dilakukan Pertamina. Radhi menilai biaya produksi Pertamina lebih tinggi dibandingkan perusahaan migas lainnya.
Sehingga, biaya operasional dan juga produksi perseroan tidak lebih tinggi dan menggerus laba perusahaan. Selain itu, berbagai piutang yang dimiliki Pertamina harus segera dibayarkan termasuk kepada para BUMN. “Kalau perlu, dikenakan pinalti kepada berbagai perusahaan yang terlambat membayar utang minyak dan gas kepada Pertamina,” jelas Fahmy.
Kebijakan pemerintah untuk menghindari konsekuensi politis dengan membebankan urusan subsidi minyak dan LPG kepada korporasi Pertamina akan menjadi kunci. Selain berbagai persoalan internal Pertamina yang harus dibereskan.
Pertanyaannya, sampai kapan keuangan Pertamina terus merosot saat dua masalah itu belum selesai? (Tirto/BEF).