Oleh Alfred Tuname
Politik selalu tidak bisa lepas dari anasir-anasir budaya lokal. Actus politik perlu tuntunan nilai dan norma budaya. Dengan begitu, politik tidak akan kesepian. Dengan nilai dan norma budaya lokal, politik tidak keblinger, tidak sembarawut. Keadaban politik jutru tercermin dari pelaku politik (politisi) yang menghargai budaya. Saat itulah demokrasi politik merayakan ke-lokal-annya.
Adalah sebuah anomali politik bila politisi tidak mengerti budaya atau bahkan tidak paham ritus, bahasa dan simbol. Itu artinya, ia tidak lahir dari masyarakat atau bahkan jauh dari kebiasan dan rutinitas budaya. Politik yang tidak paham budaya cenderung terjebak “politisasi budaya” atau justru terlempar jauh dari nilai dan norma budaya dalam berpolitik.
Berbeda dengan itu, seorang politik yang mengerti dan paham soal budaya lokal, ia akan sengat menghargai setiap detail persoalan dan kekayaan budaya lokal. Ia pun akan sangat paham akan kekuatan hegemonik budaya dengan semua atribut simboliknya. Dari dan dalam budaya itulah seorang politisi dituntun untuk berpolitik secara santun. Tuntunan itu termanifetasi dalam nilai dan pesan moral-moral yang merupakan kearifan lokal.
Nilai-nilai dan kearifan lokal itu ada ketika para tetua adat duduk bersama, lonto leok, memberikan petuah dan membikin ritual sakral untuk para calon pemimpin. Pada peristiwa itu, berlangsunglah percakapan budaya yang menjadi input politik. Tujuannya, bukan semata pada sikap moral-spiritual dukungan politik, melainkan juga berurusan dengan warisan keadaban dan kesantunan berpolitik.
Semua itu terjadi di rumah adat. Orang Manggarai menyebutnya mbaru tembong, gendang atau niang. Bagi orang Manggarai, rumah adat merupakan simbol kekuasaan adat. Sebagai simbol kekuasaan, rumah adat dimiliki oleh segenap warga komunitas adatnya sendiri dan dipimpin oleh tetua adat (tua golo, tua teno, tua panga dan tua kilo). Hegemoni tetua adat berpengaruh pada ritus dan habitus hidup masyarakat adatnya.
Segenap ritus dan habitus hidup masyarakat adat menjadi medan kohesi orang-orang yang hidup di dalam struktur adat tersebut. Talcot Parsons dalam The Structur of Social Action (1983), menyebutkan bahwa kohesi sosial dapat tercipta dengan adanya sistem sosial yang utuh melalui adabtasi (adaptation), pencapaian tujuan (goal attainment), integrasi (integration) dan pemeliharaan pola (latency). Dari sinilah hegemoni adat dan budaya orang Manggarai terus terjaga yang tercermin dalam ungkapan “gendang one lingko pe’ang”
Atas kesadaran itulah, pasangan calon Agas Andreas, SH., M.Hum dan Drs. Jaghur Stefanus atau Paket ASET memasuki Pilkada Manggarai Timur (Matim) tahun 2018 dengan terus melakukan cultural aproachment dalam mengukuhkan komitmen politik. Paket ASET memasuki roh budaya sekaligus menjadikannya “sendi” berpolitik. Nilai, pesan moral dan kemitmen budaya pun menjadi sandi-sandi politik Paket ASET dalam Pilkada Matim 2018.
Hal itudilakukannya dengan mengikuti ritual selek atau pengukuhan pasangan calon Agas Andreas, SH., M.Hum dan Drs. Jaghur Stefanus dalam Pilkada Matim 2018 di rumah-rumah adat orang Manggarai. Mulanya, pada tanggal 19 Februari 2017 di gendang Rembong, Kecamatan Kota Komba. Saat itu, para tetua dan masyarakat adat Rembong termasuk hadir pat wa’u Mokel (Mukun, Ngusu, Deru, Manus) bersatu mengukuhkan secara adat pasangan calon Agas Andreas, SH., M.Hum dan Drs. Jaghur Stefanus sebagai calon bupati dan wakil bupati Manggarai Timur untuk Pilkada Matim 2018.
Pada tanggal 5 Agustus 2017, pasangan calon Agas Andreas, SH., M.Hum dan Drs. Jaghur Stefanus di-selek oleh pat wa’u Mokel di Gendang Mokel, Kecamtan Kota Komba. Saat itu, pat wa’u Mokel bersehati dalam ritual adat mendorong dan mengukuhkan Paket ASET untuk sebagai calon bupati dan wakil bupati Matim.
Masyarakat Adat Torok Golo, Kecamatan Sita, juga melakukan selek untuk Paket ASET pada tanggal 9 Maret 2018. Saat itu, para tetua adat Torok Golo bersatu dan memberi restu adat kepada pasangan calon Agas Andreas, SH., M.Hum dan Drs. Jaghur Stefanus dalam Pilkada Matim 2018.
Selanjutnya, pada tanggal 19 April 2018, para tetua adat Niang Sita dan tujuh panga-nya melakukan ritual selek tanda pemberian dukungan dan restu adat kepada Agas Andreas, SH., M.Hum dan Drs. Jaghur Stefanus dalam Pilkada Matim 2018.
Di balik semua ritual selek adat tersebut, ada warisan kepercayaan animistik bahwa leluhur juga hadir dan terlibat meneguhkan ritual tersebut. Ritual pun menjadi sakral dan mistik dengan darah ayam atau babi sebagai penanda sumpah. Atas dimensi sakral dan mistik tersebut, ritual selek pun dimengerti sebagai “sumpah” adat, berikut tersirat konsekuensi mistik-magis atas pelanggaran “sumpah” tersebut. Oleh karena itu, ritual selek pun tidak bisa dianggap sepele khusus bagi warga masyarakat adat.
Tentu, ada petuah budaya yang lantunkan agar pasangan calon yang di-selek dapat berpolitik etik. Ungkapan metaforis dalam kepok, sanda, mbata, danding yang rayakan sebelum atau setelah ritual selek selalu bermakna pesan yang luhur. Berpolitik mesti bercermin pada pesan dan kearifan lokal tersebut. Sebab laku politik beririsan dengan laku budaya para calon pemimpin.
Itu berarti, pasca ritual magis selek kepada pasangan calon, laku politik pun harus berpegang pada nilai-nilai budaya. Koherensi antara ritual budaya dan nilai-nilai budaya akan melahirkan politik Pilkada yang santun dan berbudaya. Sang calon pemimpin pun matang secara budaya. Jika tak ada koherensi itu, perayaan demokrasi politik akan akrab dengan chaos, konflik, perseteruan, dll. Sebab, seperti bundu orang Manus, tanpa ndate toe mame, tapa teko toe mepo. Artinya, ada kesenjangan pemahaman antara praktik ritual dan pesan budaya dan tujuan etik-politiknya.
Oleh karena itu, strategi politik pemenangan Paket ASET tampak selalu dirayakan dengan mengedapakan aspek nilai, moral dan etika. Hal itu terlihat dari cara kerja dan orasi-orasi kampanye politik. Konten orasi kampanye pun berisi pendidikan politik dan ajakan untuk menggunakan hak politik secara baik. Pemilih yang menggunakan hak politik perlu didasarkan pertimbangan politik yang matang dan hati nurani, tanpa politik uang dan tanpa paksaan. Pesan moral yang selalu didegungkan oleh Paket ASET adalah “ jika pilih ASET, jangan menghina paket lain; jika pilih paket lain, jangan mengejek ASET”. Atau dalam ungkapan Manggarai, neka sina gintang, toe kira girat!
Selain itu, peran tetua gendang Rembong, Mokel, Torok Golo, Sita (juga puluhan gendang lain di Matim) dalam mengukuhkan Paket ASET secara adat merupakan bagian dari skema political voluntarism. Bahwa ada kesukarelaan politik dari para tetua adat untuk mengukuhkan dan memberikan petuah adat kepada pasangan calon Agas Andreas, SH., M.Hum dan Drs. Jaghur Stefanus dalam berpolitik. Tujuannya, terselenggaranya politik Pilkada Matim 2018 secara berbudaya, damai dan santun. Seperti hasil Riset Pemilu KPU Manggarai Timur (2015), “tua adat adalah orang terdepan yang menggerakan masyarakat untuk turut merajut simpul-simpul perdamaian dalam pemilu”.
Pada konteks demokrasi politik, Paket ASET tentu mengharapkan adanya bandwagon effect dari semua proses budaya yang sudah dilakukan. Bahwa dengan posisi hegemonik para tetua adat, ase-kae pang olo ngaung musi komunitas adat dapat mengikuti teladan dan tuntunan politik para tetua adat serta lebih dekat dengan Paket ASET. Urusan pilihan politik adalah urusan nirani yang bebas.
Akhirnya, seber berpolitik, seber juga berbudaya agar agar kesejahteraan dan kedamaian dapat diraih. Eme lonto landing sipi sopok toe cai olo, musi toe cai musi, olo toe cai olo, mempo racang di renggut cemoln, ropo ro’ot lonto. berpolitiklah secara santun dan berbudaya!
Alfred Tuname
Peminat Kajian Budaya dan Penulis Buku “le politique” (2018)