Labuan Bajo, Berita Flores– Kabar suka cita bagi ahli waris almarhum Ibrahim Hanta! Pengadilan Tinggi Kupang akhirnya mengeluarkan putusan banding yang memperkuat kemenangan mereka dalam sengketa tanah seluas 11 hektar di Keranga, Kelurahan Labuan Bajo, Kecamatan Komodo, Manggarai Barat, NTT.
Putusan yang diumumkan pada Selasa, 18 Maret 2025, dalam perkara nomor 1/PDT/2025/PT KPG, menegaskan kembali keputusan Pengadilan Negeri Labuan Bajo yang sebelumnya memenangkan ahli waris almarhum Ibrahim Hanta sebagai pemilik sah tanah tersebut. Sengketa ini melibatkan ahli waris almarhum Nikolaus Naput dan Santosa Kadiman selaku pemilik Hotel St Regist Labuan Bajo sebagai pihak Tergugat.
*Putusan Banding Memperkuat Kemenangan*
Tim kuasa hukum ahli waris almarhum Ibrahim Hanta, yang diketuai Dr (c) Indra Triantoro, S.H., M.H., mengonfirmasi bahwa mereka telah menerima putusan banding secara online melalui e-court. Menurut Indra, amar putusan ini sangat jelas menunjukkan bahwa kliennya kembali menang.
Putusan itu diberitahukan kepada masing-masing Penasihat Hukum atas perkara yang diregister di Pengadilan Tinggi 6 Januari 2025, putusan banding No.1/PDT/2025/PT KPG, tanggal putusan banding 18 Maret 2025, dengan amar putusan banding, mengadili :
1. Menerima permohonan banding dari Pembanding atau semula Tergugat III, Pembanding II dan Pembanding III, semula Tergugat I dan Tergugat II.
2. Menguatkan putusan Pengadilan Negri Labuan Bajo Nomor 1/Pdt.G/2024/PN Lbj tanggal 23 Oktober 2024, yang dimohonkan banding.
3. Menghukum Pembanding / semula Tergugat III, Pembanding II dan Pembanding III, semula Tergugat I dan Tergugat II, Terbanding II semula Tergugat IV, Turut Terbanding I semula Turut Tergugat I, dan Turut Terbanding II semula Tergugat II, untuk membayar biaya perkara dalam kedua tingkat peradilan, yang dalam tingkat banding ditetapkan sejumlah Rp.150.000,- (seratus limapuluh ribu rupiah).
Hak Atas Tanah Semakin Kuat
Indra menegaskan bahwa kemenangan ini meneguhkan hak kepemilikan kliennya atas tanah yang dipersengketakan.
“Dari sini sudah jelas, pada tingkat Pengadilan Negeri Labuan Bajo kami menang, dan sekarang di tingkat banding di Pengadilan Tinggi Kupang kami juga menang. Artinya, hak kepemilikan klien kami semakin kuat secara hukum,” katanya.
Sebagai dosen hukum perdata di Universitas Teknologi Indonesia di Bali, Indra juga mengapresiasi putusan ini sebagai bentuk transparansi hukum yang membela rakyat kecil.
“Kami berterima kasih kepada Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Kupang yang telah memberikan pertimbangan hukum secara transparan dan objektif,” imbuhnya.
Saat ini, kata Dia bahwa objek sengketa telah dipasangi plang dan spanduk oleh keluarga ahli waris alm. Ibrahim Hanta sebagai penanda yang melarang pihak mana pun menguasai atau mengelola tanah tersebut secara sepihak.
“Kami mengimbau pihak lawan agar tidak melakukan tindakan yang melanggar hukum. Kepemilikan tanah ini sudah sangat jelas berdasarkan dua putusan pengadilan yang sah,” pungkas Indra.
Dengan kemenangan ini kata Indra, ahli waris almarhum Ibrahim Hanta semakin yakin bahwa perjuangan panjang mereka telah membuahkan hasil yang adil.
Sementara itu Jon Kadis, SH, anggota tim Kuasa Hukum lainya menjelaskan bahwa putusan banding ini belum inkracht dan belum dapat dieksekusi, karena peraturan memberi peluang kepada Tergugat/Pembanding selama 14 (empat belas) hari kalender dihitung mulai sehari setelah pemberitahuan putusan banding.
“Hak Tergugat/pembanding untuk menggunakannya atau tidak. Jika Tergugat tidak menyatakan kasasi atas putusan tersebut, maka putusan itu sudah inkrahct”, jelas Jon Kadis, S.H., rekanan Indra di Labuan Bajo.
Apakah masih ada celah atau argumen Tergugat untuk kasasi?
Menurut Jon, alasan itu tentu Tergugat yang lebih tahu. Tapi sebagai Advokat yang melihat kasus ini secara obyektif, fakta-fakta yang ada, baik para saksi maupun dokumen, pihaknya melihat tidak ada lagi argumen sebagai alasan untuk kasasi.
“Fakta bahwa penguasaan tanah 11 ha itu sudah mulai sejak 1973, dan dikukuhkan dengan surat keterangan pemilikan itu oleh kuasa Penata adat 2019 demi pemenuhan dokumen administrasi pengajuan pembuatan sertifikat tanah itu di BPN (Badan Pertanahan Nadional),”ungkap Jon
Fakta juga terungkap di persidangan di PN, pertama, dimana para saksi Tergugat sendiri, antara lain Emeltus Jemau, sopir pribadi Niko Naput dan John Bosco orang suruhan Hj Ramang Ishaka, menyebut tanda fisik dan batas tanah Niko Naput itu sama sekali sama sekali tidak sama dengan ciri tanah 11 ha alm. Ibrahim Hanta.
Kedua, surat alas hak mereka 10 Maret 1990 tak ada aslinya, apalagi itu diperkuat oleh hasil investigasi Kejaksaan Agung RI, bahwa SHM-SHM atas nama anak Niko Naput dan Niko Naput sendiri, baik yang tumpang tindih di atas 11 ha tanah alm. Ibrahim Hanta maupun di luar batasnya, semuanya cacat yuridis dan cacat administratif.
“Sehingga tepatlah bila hakim PT Kupang menguatkan putusan PN Labuan Bajo. Nah, kalau dilanjutkan upaya kasasi, apa alasannya? Saya pastikan tidak ada. Sehingga secara obyektif, sebaiknya perkara ini sudah selesai sampai di sini, supaya kita memberi waktu bagi pertumbuhan investasi di kawasan super premium Labuan Bajo ini”, tutup Jon.
Berita sebelumnya bahwa Pengadilan Negeri (PN) Labuan Bajo telah memutuskan perkara ini pada 23 Oktober 2024, dengan menyatakan bahwa Sertifikat Hak Milik (SHM) atas nama Paulus dan Maria F. Naput tidak sah. Keputusan ini didasarkan pada fakta bahwa SHM tersebut salah lokasi, salah ploting oleh BPN, dan tidak memiliki dasar hukum asli. Dengan demikian, tanah 11 hektare di Kerangan dinyatakan sah milik ahli waris IH.
Namun, pihak Niko Naput (Tergugat) masih bersikeras mempertahankan klaim mereka dengan mengandalkan surat alas hak bertanggal 10 Maret 1990.
Indra Triantoro mengungkapkan bahwa SHM atas nama Paulus Naput dan Maria Naput digugat karena tidak sah karena Kliennya tidak pernah menjual tanah ini, dan dokumen alas hak mereka yang bertanggal 10 Maret 1990 pun cacat hukum. Lokasi yang mereka klaim berbeda dengan tanah 11 ha yg sedang sengketa ini.
“Yang jelas-jelas lokasi tanahnya di tempat lain, batas-batasnya sangat beda dari tanah 11 ha Kerangan. Bahkan, mereka tidak mampu menunjukkan dokumen asli saat diperiksa oleh Satgas Mafia Tanah Kejagung RI, yang akhirnya menyimpulkan bahwa dokumen itu tidak memiliki keabsahan hukum,” jelas Indra.
Mikael Mensen, salah satu dari keluarga besar ahli waris IH, menegaskan bahwa upaya mempertahankan surat alas hak yang hanya berupa fotokopi adalah sia-sia.
“Kalaupun ada aslinya, tanah yang dimaksud dalam surat itu bukan tanah 11 hektare ini. Pada tahun 2018-2019, saat kami mengajukan SHM, mereka malah menggunakan surat alas hak almarhum IH yang diterbitkan pada Maret 2019 oleh oknum BPN. Itu jelas tidak berlaku. Sekarang mereka kembali mengandalkan surat 10 Maret 1990 yang juga tidak sah. Ini tanah leluhur kami. Hati-hati, karma akan menimpa siapa pun yang berusaha merebutnya secara tidak benar,” tegas Mikael.
Muhamad Rudini, sebagai ahli waris, bahkan menantang pihak lawan untuk menghadirkan saksi fakta yang dapat membuktikan sebaliknya.
“Kami bisa hadirkan lebih dari 100 saksi yang mengetahui bahwa tanah ini milik kami. Tanah ini sudah kami pagari, kami tanami, dan kami rawat sejak lama. Sementara mereka hanya mengandalkan fotokopi surat yang bahkan lokasinya tidak jelas,” tegas Rudini.
Rudini menegaskan bahwa pihak ahli waris Ibrahim Hanta belum pernah menjual tanah ini sebagian maupun seluruhnya kepada pihak lain, termasuk tidak menjual kepada yang namanya Nasar Supu atau siapapun.
“Setahu saya dan banyak orang di Labuan Bajo tahu, bahwa tanah Nasar Supu itu hanya 4 ha, lokasinya di bagian selatan tanah kami, di pantai Kerangan. Bahkan saksi fakta mereka sendiri di ruang sidang memberi keterangan batas tanah mereka berdasarkan surat fotocopy 10 Maret 1990 itu tidak sesuai dengan fisik 11 ha itu. Saksi mereka sebut tanah Niko Naput itu masih alami, tanpa pagar, tanpa pondok, tidak ada pohon kelapa, tidak ada jati, jambu mente, batas laut, hutan pohon kedondo, jalan raya. Itu bukan ciri tanah 11 ha milik kami, itu lokasi di luar entah dimana. Tanah kami ya, cirinya jelas: sedang dikuasai, dipagari, ada pondok dan segala sesuatu yang ditanam di atasnya”, beber Rudini.