RUTENG, BERITA FLORES – Cabang Kejaksaan Negeri (Cabjari) Manggarai di Reo segera membentuk Rumah Restorative Justice sebagai sarana sosialisasi dan implementasi program penyelesaian perkara melalui pendekatan keadilan khususnya tindak pidana ringan (Tipiring).
Restorative justice merupakan upaya penyelesaian perkara di luar jalur hukum atau peradilan dengan mengedepankan mediasi antara pelaku dengan korban.
Hal itu merupakan tindak lanjut surat Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum Nomor: B-913/E/Ejp/03/2022 tanggal 25 Maret 2022 tentang pembentukan Rumah Restorative Justice dan arahan Jaksa Agung RI pada acara launching Rumah Restorative Justice 16 Maret 2022 lalu.
Dalam hal melaksanakan penghentian penuntutan, harus berdasarkan keadilan restorative yang membutuhkan nilai-nilai keadilan dan kearifan lokal yang berkembang di tengah masyarakat.
“Rumah Restorive Justice itu nantinya akan digunakan sebagai tempat melestarikan kearifan lokal dan tempat berlindung bagi para pencari keadilan,” kata Kacabjari Manggarai di Reo, Riko Budiman, dalam kegiatan pra launching yang dihadiri Camat Reok, Ahmad Pahu dan Sekcam Reok, Theobaldus Junaidin, Kamis (14/4/2022).
Paling penting, menurut Riko, rumah tersebut akan dijadikan tempat pelaksanaan musyawarah mufakat dan perdamaian untuk menyelesaikan masalah tindak pidana ringan (Tipiring) yang terjadi di tengah masyarakat yang dimediasi oleh jaksa dan disaksikan oleh para tokoh masyarakat, tokoh agama dan tokoh adat setempat.
“Sehingga kasus-kasus yang tergolong pidana ringan yang terjadi di wilayah hukum Cabjari Manggarai di Reo tak perlu dilimpahkan sampai ke tahap penuntutan pengadilan, cukup diselesaikan secara damai di Rumah Restorative Justice melalui jalur mediasi,” jelas Riko.
Riko juga menjelaskan, pemahaman tentang Restorive Justice perlu diketahui bersama. Artinya, tidak semua kasus dibawa ke pengadilan. Kejaksaan dan masyarakat bisa menyelesaikan kasus itu di luar pengadilan.
“Restorative Justice artinya ada pemulihan keadaan semula dari sebuah kasus tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga korban dan pihak-pihak terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil di luar pengadilan,” jelas Riko.
Menurutnya, penerapan Restorative Justice harus sesuai dengan jenis kasus pidana. Artinya, tidak semua kasus pidana juga masuk dalam Restorive Justice.
Sebuah kasus pidana bisa masuk dalam Restorative Justice harus memenuhi beberapa syarat dulu sesuai Peraturan Kejaksaan Nomor 15 Tahun 2020, antara lain: pertama, tindak pidana yang baru pertama kali dilakukan. Kedua, kerugian di bawah Rp2,5 juta. Ketiga, adanya kesepakatan antara pelaku dan korban. Keempat, tindak pidana yang hanya diancam dengan pidana penjara tidak lebih dari lima tahun.
“Jadi itu syarat-syarat kasusnya. Jenisnya juga masih tergolong pidana ringan sehingga tidak perlu sampai ke tahap penuntutan pengadilan,” terang Riko.
Ia menambahkan, keberadaan Rumah Restorative Justice juga diharapkan mampu menekan angka jumlah orang masuk penjara, sehingga kasus pidana yang sifatnya ringan bisa diselesaikan di rumah itu. Sepanjang masih bisa diselesaikan di luar pengadilan, maka jaksa akan mendorong agar sebuah perkara bisa diselesaikan secara kekeluargaan.
“Hari ini kita masih pra launching. Ke depan kita akan berkoordinasi dengan kecamatan untuk mencari tempat dan rumah yang strategis yang bisa dijadikan Rumah Restorative Justice,” tutup Riko.
Camat Reok, Ahmad Pahu pada kesempatan itu juga menyambut baik program yang digagas oleh pihak Kejaksaan ini, sebab menurut dia, kasus yang selama ini terjadi sering sampai ke pengadilan, bahkan ada yang di penjara.
Ia pun berharap keberadaan Rumah Restorative Justice nantinya bisa menekan angka kriminalitas dan mengurangi penuntutan kasus-kasus pidana lain yang sifatnya baru sekali dilakukan.
“Kami berharap kasus-kasus ringan bisa selesaikan saja di sini secara kekeluargaan, terutama kasus-kasus seperti KDRT, pencurian, kekerasan dan lain-lain,” kata Ahmad. (RED).