Oleh: Rofinus Taruna Baru
Indonesia telah melangkah pada tonggak sejarah baru, salah satuya ditandai dengan lahirnya undang-undang nomor 6 tahun 2014 tentang desa. Kebijakan ini mengandung cara pandang baru yang menegaskan bahwa desa bukan sekadar wilayah administratif semata. Namun desa merupakan โnegara kecilโ yang mempunyai wilayah, kekuasaan, pemerintahan, institusi lokal, penduduk, tanah, dan sumberdaya ekonomi. Cara pandang baru ini memberi harapan dan peluang terhadap visi pembaharuan desa menuju perubahan yang jauh lebih besar dan lebih baik daripada sebelumnya.
Begitu pun bagi perempuan, di mana kebijakan ini dapat menjadi momentum bagi perempuan di desa untuk mengoptimalkan perannya dalam rangka mengubah posisinya dari obyek menjadi subyek pembangunan di desa. Seperti diketahui bahwa selama ini perempuan selalu mengalami peminggiran hak-haknya dalam keseharian.
Para perempuan diharapkan mampu menyumbangkan ide, gagasan, pemikiran, dan kerja nyata untuk ikut membangun desa. Kehadiran mereka dalam forum-forum musyawarah akan mewarnai arah pembangunan manusia. Secara kodrat, perempuan lebih peka daripada laki-laki. Kepekaan yang dimiliki semestinya menghasilkan program kerja pembangunan desa yang lebih menyentuh masyarakat. Nyata nya tidak mudah menghadirkan mereka. Para perempuan sudah sibuk urusan di rumah. Peserta musyawarah di dominasi oleh kaum pria. Usulan-usulan kegiatan pembangunan cenderung maskulin.
Posisi perempuan terlebih perempuan desa masih melekat pada posisi yang terpinggirkan. Konstruksi sosial yang mengutamakan dominasi kekuasaan hanya pada laki-laki masih menjadi masalah yang harus dihadapi perempuan. Begitupun ketika berbicara mengenai perempuan desa maka masih akan menemui persoalan minimnya akses, partisipasi, kontrol, dan manfaat bagi perempuan dalam berbagai bidang.
Pada tahun 2015 menyebutkan bahwa populasi Indonesia pada 2018 mencapai tak kurang dari 264,2 juta jiwa, di mana 132,7 juta jiwa atau 50,2 persennya adalah laki-laki, sementara 131,5 juta jiwa atau 49,8 persennya adalah perempuan. Sekitar 26 persen pekerja perempuan adalah pekerja sektor rumah tangga. Selain itu, sebagian besar pekerja perempuan adalah pekerja dengan keterampilan menengah hingga rendah, yang proporsinya mencapai 89 persen atau sekitar 43,8 juta jiwa (Warta Ekonomi 6 Mei 2019)
Peran Perempuan
Undang-Undang nomor 6 tahun 2014 tentang desa memiliki misi dan semangat mendorong pengelolaan pemerintahan desa secara demokratis. Salah satu ruang berdemokrasi di desa yang disediakan oleh undang-undang nomor 6 tahun 2014 tentang desa adalah musyawarah desa (Musdes). Musyawarah desa adalah forum tertinggi di desa yang memiliki peran dan fungsi strategis dalam membahas, merumuskan dan memutuskan berbagai hal terkait dengan visi, misi, dan kebijakan desa dalam menjawab tantangan yang dihadapinya.
Musyawarah desa yang dimaksud dalam undang-undang nomor 6 tahun 2014 tentang desa ini merupakan forum permusyawaratan yang diikuti oleh BPD, pemerintah desa, dan unsur masyarakat desa untuk membahas hal-hal strategis. Hal strategis itu sebagaimana diatur dalam pasal 54 undang-undang nomor 6 tahun 2014 tentang desa di antaranya: Pembuatan Perdes, RPJMN, RKP, penataan desa, kerja sama desa, rencana investasi yang masuk desa, pembentukan BUM Desa, aset desa, dan kejadian luar biasa lainnya. Sesuai dengan amanat undang-undang nomor 6 tahun 2014 tentang desa dalam Musyawarah desa kita mengenal delapan azas diantaranya: (1), Musyawarah mufakat.(2),Keadilan.(3),Keterbukaan. (4),Transparan.(5), Akuntabel. (6), Partisipatif. (7), Demokratis. (8). Kesetaraan.
Perempuan telah diberi ruang yang besar dalam paraturan perundangan. Undang-Undang nomor 6 tahun 2014 tentang desa menyebutkan misalnya, menyaratkan perempuan terlibat dalam pembangunan Desa. Dari 100%, perempuan hanya diberikan porsi 30 persen. Di tingkat desa, masyarakat desa tentu sangat dipengaruhi oleh banyak faktor, antara lain adalah: Faktor kebijakan pemerintah dalam hal keterlibatan perempuan dalam pembangunan yang hanya menyediakan sedikit kuota, faktor tradisi adat istiadat dan pemaknaan nilai-nilai budaya dari masyarakat yang lebih mengarah pada patriarki (penekanan pada peran laki-laki), sehingga mengakibatkan kaum perempuan kurang dilibatkan dalam Musyawarah desa. Kaum perempuan berpartisipasi dalam urusan rumah tangga sedangkan dalam hal isu-isu sosial kemasyarakatan menjadi persoalan kaum pria. Fakta pemahaman tradisi adat istiadat dan pemaknaan nilai-nilai budaya yang keliru, kebijakan pemerintah, dan tingkat pendidikan, ini menyebabkan sehingga berimbas pada kebijakan pemerintah desa.
Perempuan warga desa merupakan potensi yang selayaknya tidak hanya diandalkan sebagai sandaran potensi reproduksi biologis dalam hal melahirkan dan membesarkan anak. Tapi, juga perlu didorong untuk memenuhi potensi reproduksi sosiologis dan politik dalam hal mengakses peran dan fungsi kepemimpinan di tingkat lokal atas dasar keadilan dan kesetaraan. Seringkali kehadiran perempuan dalam struktur maupun musyawarah desa hanya untuk memenuhi kuota, yang penting ada perempuan didalamnya. Bahkan terkadang keterlibatannya bukan sebagai orang yang memberikan pendapat atau memutuskan, tetapi sebagai pendukung seperti seksi konsumsi, bagian administratif untuk menyiapkan daftar hadir.
Keterlibatan perempuan dalam forum-forum musyawarah desa kadang bukan karena dirinya sebagai perempuan yang memiliki hak, namun karena suami merupakan aparat pemerintah, atau tokoh masyarakat. Karena jabatan suaminya di desa atau posisi suaminya di masyarakat, perempuan masuk dalam struktur Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) dan terlibat dalam kegiatan-kegiatan desa. Jika bukan bagian dari keduanya, sangat sulit bagi perempuan untuk terlibat dalam posisi strategis desa dan ruang-ruang pengambilan kebijakan desa.
Padahal sudah jelas dalam pasal 27 Undang-Undang Dasar 1945 mengamanatkan secara tegas bahwa, setiap warga negara Indonesia, mempunyai hak dan kewajiban serta kesempatan yang sama untuk memperoleh penghidupan yang layak. Namun kenyataanya, posisi dan peran perempuan dalam pembangunan masih termarginalkan. Implikasinya, walaupun dari segi kuantitas jumlah perempuan lebih banyak dari laki-laki, akan tetapi secara kualitas lebih kecil dari laki-laki.
Pasal 54 ayat (1) undang-undang nomor 6 tahun 2014 tentang desa dan dipertegas dalam Peraturan Pemerintah nomor 43 tahun 2014 Pasal 80 menyebutkan bahwa Musyawarah desa merupakan forum permusyawaratan yang diikuti oleh Badan Permusyawaratan Desa, Pemerintah desa, dan unsur masyarakat desa terdiri dari: Tokoh adat, tokoh agama, tokoh masyarakat, tokoh pendidikan, kelompok tani, kelompok nelayan, kelompok perajin, kelompok perempuan, perwakilan kelompok pemerhati dan perlindungan anak, dan perwakilan kelompok masyarakat miskin. Selain itu musyawarah desa dapat melibatkan unsur masyarakat lain sesuai dengan kondisi sosial budaya masyarakat. Untuk memusyawarahkan hal yang bersifat strategis dalam penyelenggaraan pemerintahan desa. Dua pasal tersebut sudah kuat untuk menegaskan bahwa perempuan harus dan penting berada pada struktur pemerintahan desa, maupun dalam berbagai forum desa.
Penulis adalah Sarjana Ilmu Pemerintahan STPMD โAPMDโ Yogyakarta, Anggota GMNI Komisariat STPMD โAPMDโ Yogyakarta 2017-2018, sekaligus Mantan Wakil Ketua Korps Mahasiswa Ilmu Pemerintahan (KOMAP) STPMD โAPMDโ Yogyakarta 2018-2019.