Oleh: Rofinus Taruna Baru
Negara Indonesia merupakan negara demokrasi. Setiap lima tahun sekali sejumlah daerah yang ada di Indonesia melakukan proses Demokrasi. Pada tahun ini, terdapat 270 daerah yang menyelenggarakan Pilkada, dengan rincian; 9 provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota di Indonesia (Detik.com, 23 Juni 2019).
Pilkada merupakan salah satu proses demokrasi yang bertujuan untuk mendapatkan kekuasaan. Sesuai dengan konsepnya, kekuasaan adalah kemampuan seseorang atau sekelompok manusia untuk mempengaruhi tingkah laku seseorang atau kelompok lain sedemikian rupa, sehingga tingkah laku itu menjadi sesuai dengan keinginan dan tujuan dari orang yang memiliki kekuasaan itu (Miriam Budiardjo,2002).
Sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, kepala daerah dipilih secara langsung oleh rakyat melalui Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah atau disingkat Pilkada. Pemilihan Kepala Daerah di sejumlah daerah di Indonesia tentunya melibatkan banyak pihak dengan tujuan untuk meraup suara sebanyak-banyaknya. Salah satu pihak yang kemungkinan diincar oleh para kandidat (paslon) adalah tokoh penting di desa yakni Pemerintah Desa.
Dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa, Pemerintah Desa terdiri dari Kepala Desa, Sekretaris Desa (Sekdes), Kepala Seksi (Kasi), Kepala Urusan (Kaur) dan Kepala Dusun (Kadus). Dalam kontestasi Pilkada, Pemerintah Desa dituntut untuk menjaga netralitasnya. Para Pemerintah Desa diminta untuk berlaku netral dan tidak terlibat aktif dengan ikut serta menjadi juru kampanye pasangan kandidat tertentu. “Netral dalam artian tidak berpihak dari segala bentuk pengaruh mana pun dan tidak memihak kepentingan siapa pun.
Batasan netralitas Pemerintah Desa, yakni tidak terlibat dalam kegiatan kampanye untuk mendukung calon kepala daerah/wakil kepala daerah; tidak menggunakan fasilitas yang terkait dengan jabatan dalam kegiatan kampanye; tidak membuat keputusan dan/atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon selama masa kampanye; tidak mengadakan kegiatan yang mengarah kepada keberpihakan terhadap pasangan calon yang menjadi peserta pemilu sebelum, selama, dan sesudah masa kampanye meliputi ajakan, imbauan, seruan, atau pemberian barang kepada anggota keluarga dan masyarakat.
Namun, dalam beberapa kasus, netralitas menjadi tantangan tersendiri bagi pemerintah desa dalam menyikapi pemilihan umum ataupun Pilkada. Hal ini dapat dilihat dari adanya kasus yang memperlihatkan keberpihakan pemerintah desa terhadap kandidat tertentu. Misalnya, sebanyak 16 kepala desa dan perangkat desa di Jawa Tengah direkomendasikan agar diberi sanksi karena bersikap tidak netral dalam proses Pemilu 2019 (Detik.Com, 3 Maret 2019). Padahal, netralitas pemerintah desa sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa. Pasal 29 Huruf G Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 “Menegaskan bahwa para Kades dilarang berpolitik apalagi menjadi pengurus partai politik”, jika larangan ini dilanggar maka akan dikenai sanksi administratif berupa teguran lisan dan/atau teguran tertulis.
Tugas Pokok dan Fungsi Pemerintah Desa
Dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa ditegaskan bahwa Pemerintahan Desa mempunyai tugas yang termanifestasi dalam empat kewenangan desa, yaitu; penyelenggaraan pemerintahan desa, pembangunan desa, pemberdayaan masyarakat desa, dan pembinaan masyarakat desa. Pertama, penyelenggaraan pemerintahan desa, antara lain pengaturan kehidupan masyarakat, seperti pembuatan peraturan desa (Perdes), pembentukan lembaga kemasyarakatan, pembentukan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes), dan kerjasama antardesa. Kedua, pembangunan desa, antara lain: penyediaan sarana prasarana fasilitas umum desa seperti: jalan desa, jembatan desa, irigasi desa, pasar desa. Ketiga, pemberdayaan masyarakat desa, antara lain; pemberdayaan UMKM, peningkatan kapasitas para pelaku BUMDes, pelatihan dan pembinaan untuk para petani, dan lain sebagainya. Keempat, urusan pembinaan kemasyarakatan, antara lain: pemberdayaan masyarakat melalui pembinaan kehidupan sosial budaya masyarakat seperti: bidang kesehatan, pendidikan, serta adat istiadat.
Dengan mengingat tugas pokok dan fungsinya, maka Pemerintah Desa tidak boleh mencampuradukan segala tugas dan fungsinya dalam ranah politik praktis (dalam hal ini Pilkada).
Ketika Pemerintah Desa mau mengambil bagian dalam ranah politik praktis (menyatakan dukungan terhadap kandidat tertentu), maka mereka harus menanggalkan jabatannya. Dengan kata lain, ketika mereka mau menyatakan dukungan terhadap kandidat tertentu, maka mereka tidak boleh menyatakan dukungan dengan kapasitas sebagai Pemerintah Desa. Hal ini bertujuan agar Pemerintah Desa bekerja secara profesional bukan diskriminatif. Selain itu, hal ini juga bertujuan agar Pemerintah Desa dapat membedakan urusan privat dan urusan publik.
Pemerintah Desa merupakan suatu jabatan politik karena dipilih melalui mekanisme politik lokal. Sebab dalam pelaksanaannya, kepala desa dipilih secara langsung oleh warga desa melalui mekanisme yang khas dari masings-masing desa. Oleh karena itu, Pemerintah Desa dituntut untuk netral dalam menyikapi momentum politik praktis seperti Pilkada. Keberpihakan Pemerintah Desa dalam membantu kandidat tertentu untuk mendulang suara tentunya menghadirkan konsekuensi logis terhadap warga masyararakat. Mislanya, munculnya anggapan atau penilaian dari warga desa bahwa Pemerintah Desa tidak lagi bertanggungjawab kepada mereka tetapi bertanggungjawab kepada kandidat tertentu. Dengan kata lain, Pemerintah Desa bukan lagi merupakan representasi dari warga desa melainkan representasi dari kandidat tertentu.
Kenyataan bercerita seakan hanya sebagian Pemerintah Desa yang paham dan mengerti soal kedudukan dan tupoksinya. Kecendrungan ketidakpahaman inilah yang sering terjadi di pelosok tanah air. Selain itu, netralitas Pemerintah Desa dalam menduduki posisi jabatan politik di desa masih sangat minim. Putusnya mata rantai antara kebutuhan warga desa dengan tupoksinya pemerintah desa akan membuat desa kehilangan jati dirinya. Hal ini tentu saja akan berdampak pada pembangunan desa. Oleh karena itu, keterlibatan setiap elemen sangat menentukan keberlangsungan pembangunan desa. Ambil contoh, keterlibatan pendamping desa. Pendamping desa merupakan salah satu elemen yang dapat membantu Pemerintah Desa dalam memahami tupoksinya. Hal yang dapat dilakukan pendamping desa berupa sosialisasi tupoksi Pemerintah Desa.
Pemahaman Pemerintah Desa akan tupoksinya dapat mengurangi kekahawatiran tentang desa yang dijadikan sebagai arena untuk meraup suara. Sebab secara tidak langsung Pemerintah Desa berpotensi menjadi senjata dari para elit lokal dalam kontestasi Pilkada. Jika Pemerintah Desa dijadikan sebagai senjata untuk meraup suara di desa, maka amanat Undang-Undang Desa yang mengatakan bahwa Pemerintah Desa sebagai kepanjangan tangan dari pemerintah pusat sulit diimplementasikan.
Oleh karena itu, Pemerintah Desa diharapakan memahami betul-betul dan sungguh-sungguh akan tupoksinya. Selain itu, peran warga desa sangat penting dalam mengontrol kinerja Pemerintah Desa. Dengan begitu segala urusan yang menjadi tugas pokok dan fungsi Pemerintah Desa dapat terwujud.
Penulis merupakan Sarjana Ilmu Pemerintahan STPMD “APMD” Yogyakarta, sekaligus Anggota GMNI Yogyakarta Angkatan 2017-2018 dan Mantan Wakil Ketua Korps Mahasiswa Ilmu Pemerintahan (KOMAP) STPMD “APMD” Yogyakarta 2018-2019