Oleh: Herry Kabut
Sejak awal 1980-an di kalangan pelajar dan ilmuwan politik berkembang dua asumsi. Pertama, bahwa kebijakan berperan penting. Artinya, pilihan kebijakan yang diambil oleh pemerintah menentukan keberhasilan dan kegagalan pembangunan. Sejak 1980-an, para ilmuwan politik percaya bahwa “a country is poor because of poor policy”. Slogan ini mau mengatakan bahwa pembangunan di masyarakat terbelakang bisa dipercepat melalui perbaikan mutu pembuatan kebijakan, baik nasional maupun internasional.
Kedua, telah terjadi “non-market failure” dalam proses pembangunan Indonesia. Kalau sampai akhir 1970-an para ahli ekonomi-pembangunan yakin bahwa banyak kerepotan dalam proses pembangunan, misalnya merebaknya kemiskinan dan meluasnya kesenjangan pendapatan, terutama disebabkan oleh “market failure”, sejak pertengahan 1980-an semakin banyak analis yang justru melihat penyebab utamanya adalah kegagalan pemerintah (atau lembaga non-pasar) untuk menyesuaikan mekanisme kerjanya terhadap dinamika pasar.
Argumen yang dianut oleh kelompok teoritisi baru yang menyebut diri “new political economy” inilah yang mendorong dilakukannya upaya reformasi administrasi negara di berbagai bagian dunia akhir-akhir ini (Mas’oed, 2008: 53-54). Dalam konteks Indonesia, RUU Cipta Lapangan Kerja (CILAKA) kemungkinan besar dipengaruhi oleh dua asumsi ini.
Baca: Di Tumbak, Aktivitas Tambang Digagalkan Meski Warga Sudah Terima Rp25 Juta
Sekadar mengikuti alur pemikiran kontemporer itu, tulisan ini bermaksud membangun cerita yang mengaitkan rancangan kebijakan pemerintah yang termaktub dalam RUU Cipta Lapangan Kerja (CILAKA) dengan dinamika yang sedang dan akan terjadi di desa. Dengan kata lain, tulisan ini mau melihat implikasi RUU Cilaka terhadap dinamika desa. Saya menggunakan polemik wacana pendirian pabrik semen di Desa Satar Punda, Kabupaten Manggarai Timur sebagai pintu masuk untuk melihat implikasi RUU Cilaka terhadap dinamika di desa.
Sekilas Tentang RUU Cilaka
Pada 13 Februari 2020 Pemerintah Indonesia mengajukan secara resmi Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Lapangan Kerja sebagai rancangan undang-undang inisiatif pemerintah kepada DPR RI. RUU Cipta Lapangan Kerja ini menggunakan model Omnibus Law dalam teknis penyusunannya yang melingkupi sebelas bidang kebijakan. Dari batang tubuhnya, RUU ini terdiri dari 174 pasal akan tetapi secara substansi rancangan ini memuat perubahan, penghapusan, dan pembatalan atas 79 undang-undang yang terkait dengan pembangunan dan investasi.
Sejak diwacanakan sebagai sebuah inisiatif hingga penyerahannya ke DPR, RUU ini telah menimbulkan berbagai reaksi di masyarakat.
Baca: Mahasiswa Tolak Pabrik Semen Desa Satar Punda
Dalam merespon perkembangan tersebut, Eko Cahyono, melalui tulisannya di Tempo.co yang berjudul “Omnibus Law dan Tsunami Investasi” mengatakan bahwa RUU Cilaka yang menggunakan model Omnibus Law mempunyai dua mantra utama yaitu; interkoneksi dan integrasi, serta faktor penunjangnya, menghilangkan “sumbatan leher botol”.
Dua mantra ini mengasumsikan bahwa sumber-sumber ekonomi nasional tidak akan dapat produktif dan efisien pertumbuhannya tanpa saling ketersambungan melalui pembangunan infrastruktur. Faktor penunjangnya adalah menyederhanakan, mengoreksi, hingga menghilangkan segala regulasi yang “dianggap” akan menghambat aliran investasi (Eko Cahyono, Tempo.co, 19 Februari 2020).
Polemik Pabrik Semen di Desa Satar Punda
Pendapat Eko Cahyono ini sangat relevan dengan situasi yang sedang terjadi di Provinsi Nusa Tenggara Timur, khusunya di Kabupaten Manggarai Timur. Saat ini, di Kabupaten Manggarai Timur sedang terjadi pro-kontra pembangunan pabrik semen di Desa Satar Punda. Akar dari wacana pembangunan pabrik semen ini sebenarnya berasal dari penetapan Labuan Bajo sebagai destinasi wisata super premium.
Hal ini diungkapkan oleh sebuah kajian yang dilakukan oleh lembaga Sunspirit for Justice and Peace. Dalam kajiannya, lembaga Sunspirit for Justice and Peace mengungkapkan bahwa wacana pendirian pabrik semen di Desa Satar Punda bukan hanya merupakan bentuk malpraktik kekuasaan di lingkup Pemerintah Daerah Manggarai Timur. Wacana pendirian pabrik semen ini juga merupakan bagian dari skema besar pembangunan pariwisata super premium Flores yang berpusat di Labuan Bajo. Dengan demikian, kedepannya pasti banyak muncul proyek lain yang menyokong skema besar itu. Proyek-proyek ini beroperasi dalam relasi kuasa perusahaan dan lembaga supranasional, pemerintah pusat (oligark Jakarta), pemerintah daerah, dan lain-lain.
Dengan melihat fenomena yang terjadi di Kabupaten Manggarai Timur, saya berasumsi bahwa RUU Cilaka membawa celaka bagi desa. RUU Cilaka selain membahayakan buruh, juga membahayakan petani, masyarakat adat, dan sumber-sumber agraria di desa. RUU Cilaka sarat dengan kepentingan investor dan pemodal, memuluskan konservasi tanah pertanian, mempermudah perampasan demi kepentingan bisnis berbasis agraria, perkebunan, kehutanan, tambang, dan properti, dan pembangunan infrastruktur. Lantas, bagaimana RUU Cilaka membawa celaka bagi desa?
Mohtar Mas’oed, dalam bukunya yang berjudul “Politik, Birokrasi, dan Pembangunan”, mengungkapkan bahwa secara garis besar bisa diidentifikasi tiga pola pemikiran dan praktik pembangunan yang berkembang di Indonesia yang masing-masing mekankan pendekatan yang berbeda, yaitu; “politik sebagai panglima” (PSP), “ekonomi sebagai panglima” (ESP), dan “moral sebagai panglima” (MSP). Namun, menurut saya, dalam konteks RUU Cilaka, ada dua pendekatan yang sangat dominan dalam pembangunan Indonesia yang pada gilirannya membawa celaka bagi desa, yaitu “politik sebagai panglima” (PSP) dan “ekonomi sebagai panglima” (ESP).
Pertama, politik sebagai panglima. Pendekatan ini memprioritaskan pertimbangan politik dalam proses pembangunan dan menekankan peranan negara, yang diwakili para birokratnya sebagai aktor utama pembangunan. Negara yang didukung oleh mekanisme kekuasaan politik dan dituntun oleh ideologi “statist”, dipandang sebagai satu-satunya pelaku yang mampu melakukan intervensi ke dalam proses pembangunan ekonomi demi mengatasi berbagai “bottlenecks” (kemacetan) yang dihadapi oleh proses itu. Karena itu pembangunan yang berhasil hanya mungkin kalau dijamin oleh negara yang kuat. Dengan kata lain, esensi dari proses pembangunan adalah pembinaan kekuatan negara (Mas’oed, 2008: 31).
Dalam konteks wacana pembangunan pabrik semen di Desa Satar Punda, Bupati Andres Agas meminkan peran yang cukup apik sejauh ini dalam memuluskan pendirian pabrik semen ini. Dalam memainkan perannya, Bupati Andreas Agas memainkan strategi turun tangan, campur tangan, dan cuci tangan atas pendirian pabrik semen di Desa Satar Punda.
Strategi turun tangan yang saya maksud adalah sosialisasi pendirian pabrik semen yang dilakukan Bupati Andreas Agas di Desa Satar Punda pada 21 Januari 2020. Dalam sosialisasi tersebut, Bupati Andreas Agas menjelaskan bahwa dia mendapatkan informasi dari Gubernur Nusa Tenggara Timur (NTT) bahwa untuk menciptakan lapangan kerja, Pemprov NTT akan membuka dua perusahaan pabrik semen di Manggarai Timur dan di Timor (Beritaflores.com, 21 Januari 2020). Persis, pada titik inilah, Bupati Andreas Agas menerapkan strategi turun tangan. Sebab sekalipun dia menyadari bahwa pendirian pabrik semen ini merupakan program provinsi, dia tetap bersedia menjadi penghubung (atas nama sinergi) antara warga Desa Satar Punda dengan Pemerintah Provinsi NTT.
Setelah sosialisasi pendirian pabrik semen ini mendapat respon yang “kurang baik” dari warga Desa Satar Punda, Bupati Andreas Agas segera mencari strategi lain, yaitu “campur tangan” atas pendirian pabrik semen ini. Strategi “campur tangan” yang saya maksud adalah mengundang perwakilan warga Kampung Lingko Lolok, Desa Satar Punda, untuk menghadiri pertemuan terkait rencana pembangunan pabrik tersebut.
Sikap yang ditujukkan oleh Bupati Andreas Agas dalam pertemuan tersebut menggambarkan bahwa sepertinya dia (Bupati Andreas Agas) tidak sabar mendengar pernyataan persetujuan dari perwakilan warga kampung Lingko Lolok terhadap rencana pembangunan pabrik semen tersebut. Selain itu, sikap yang ditunjukkan oleh Bupati Andreas Agas menggambarkan seolah-olah pendirian pabrik semen tersebut merupakan program Kabupaten Manggarai Timur. Dengan demikian, alih-alih menciptakan dialog yang intens dengan perwakilan warga Lingko Lolok, Bupati Andreas Agas malah merusak demokrasi (pengambilan keputusan) dengan hanya meminta warga untuk berpendapat tentang kehadiran pabrik semen tersebut. Sehingga tidak mengherankan kalau hasil dari pertemuan tersebut adalah warga mendukung pabrik semen tersebut.
Perubahan sikap yang dilakukan oleh beberapa perwakilan warga kampung Lingko Lolok tampaknya justru menimbulkan ketidaknyamanan bagi Bupati Andreas Agas. Sebab perubahan sikap beberapa perwakilan warga kampung Lingko Lolok ini, malah memunculkan gelombang kritik dan protes dari berbagai kalangan yang kontra dengan rencana pendirian pabrik semen ini. Semua kritik dan protes tersebut berisi kecaman terhadap sikap Bupati Andreas Agas. Dengan adanya kritik yang bertubi-tubi, Bupati Andreas Agas mulai mencari strategi lain.
Strategi yang dimaksud adalah strategi “cuci tangan” atas rencana pendirian pabrik semen di Desa Satar Punda. Strategi “cuci tangan” yang saya maksud adalah perihal klarifikasi yang disampaikan oleh Bupati Andreas Agas. Dalam klarifikasi tersebut, Bupati Agas Andreas mengatakan bahwa izin tambang (pabrik semen) merupakan kewenangan provinsi (Gubernur NTT) bukan kewenangan bupati. Dengan demikian, kita dapat mengetahui bahwa Bupati Andreas Agas cenderung mencari posisi aman dalam menyikapi polemik pendirian pabrik semen di Desa Satar Punda.
Ketiga strategi (perubahan sikap) yang diterapkan oleh Bupati Andreas Agas ini menunjukkan kepada kita bahwa pada dasarnya negara memang sedang melakukan pembinaan kekuatan. Pembinaan kekuatan ini dimainkan dengan sangat apik oleh Bupati Andreas Agas sebagai wakil negara dalam menjadi aktor pembangunan di Kabupaten Manggarai Timur. Tetapi, Bupati Andreas Agas tidak menyadari bahwa sebenarnya dia sudah atau hampir kehilangan kewenangan sebagai Bupati Manggarai Timur. Sebab, sebagaimana tertera dalam “Kertas Kebijakan: Catatan Kritis dan Rekomendasi Terhadap RUU Cipta Lapangan Kerja” yang disusun oleh Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada (Maret, 2020), bahwa dari aspek kelembagaan, RUU Cilaka juga mengarah pada adanya sentralisasi perizinan yang dapat berdampak pada tatanan otonomi daerah dan memberikan beban berlebihan bagi pemerintah pusat termasuk dalam hal pengawasan atas perizinan usaha yang telah dikeluarkan.
RUU Cipta Lapangan Kerja mencabut dan menyatakan tidak berlaku pasal terkait kewenangan daerah di UU induknya. Kewenangan yang tercantum dalam pasal tersebut dikembalikan kepada pemerintah pusat, dalam hal ini Presiden. Pengaturan kembali kewenangan tersebut di tingkat pusat dapat melalui berbagai macam cara, salah satunya melalui peraturan pemerintah. Padahal kemampuan pemerintah pusat dari segi kuantitas dan akses ke daerah di seluruh Indonesia sangat terbatas. Dengan demikian, perubahan kewenangan pemerintah dapat dilakukan secara sepihak oleh pemerintah pusat yang berdampak pula terhadap pelemahan kewenangan pemerintah daerah.
Kedua, ekonomi sebagai panglima. Pendekatan ini lebih mengutamakan peranan pegusaha dan korporasi dalam proses pembangunan. Para aktor ini dibayangkan melakukan alokasi sumberdaya dan pembuatan keputusan ekonomi lain berdasarkan pertimbangan pasar, yaitu mengikuti dinamika kekuatan permintaan dan penawaran. Dengan demikian, mereka juga dianggap berkecenderungan liberal, dalam arti lebih suka bekerja tanpa intervensi pemerintah. Ini terutama nampak jelas pada sikap mereka yang setiap kali terjadi kelesuan ekonomi menuduh kekakuan birokrasi sebagai biang keladinya dan kerena itu menuntut deregulasi atau pelonggaran intervensi negara terhadap proses produksi. Kalau toh negara melakukan intervensi, tujuannya adalah untuk memperbaiki kondisi yang diperlukan bagi akumulasi dan reproduksi kapital.
Dengan mengikuti alur pemikiran pendekatan ini, kita bisa mengetahui bahwa RUU Cilaka memang merupakan rancangan kebijakan yang lahir dari “keluh kesah” pengusaha dan korporasi. Dengan kata lain, RUU Cilaka merupakan paket politik untuk menunjang pembangunan megainfrastruktur, pengembangan kawasan industri, pembentukan kota-kota metropolitan baru, dan ekonomi ekstraksi sumber daya alam. Selain itu, RUU Cilaka merupakan paket politik untuk menunjang reorganisasi dan rekonfigirasi ruang skala global untuk proyek liberalisasi ekonomi pasar melalui ekspansi produksi, distribusi, dan reproduksi kapital.
Dalam konteks wacana pembangunan pabrik semen di Desa Satar Punda, kehadiran PT Istindo dan PT Singah Merah mesti dilihat sebagai upaya liberalisasi pasar melalui ekspansi produksi semen. Data Asosiasi Semen Indonesia (ASI) menunjukkan bahwa kapasitas produksi semen nasional tahun 2018 tercatat mencapai 100 juta ton, sementara konsumsi semen masih tercatat 60-68 juta ton. Menurut Ketua Umum Asosiasi Semen Indonesia (ASI), Widodo Santoso, lonjakan kapasitas produksi industri semen terlihat sejak 2015. Peningkatan itu disebabkan banyak beroperasinya pabrik semen baru yang dibangun, baik oleh investor dalam negeri maupun luar negeri.
Widodo menjelaskan bahwa pertumbuhan industri semen 2011-2012 tercatat cukup tinggi, yakni lebih dari sepuluh persen. Hal tersebut memicu proyeksi investor yang menganggap pertumbuhan akan tetap terjadi di atas sepuluh persen sehingga saat itu banyak investor yang masuk dan mengekspansi produksinya.
Menurut Widodo, ada lompatan kapasitas dari 80 juta (tahun 2015) menjadi 110 juta pada tahun 2018. Sementara, di sisi lain ASI mencatat ada penurunan permintaan sebelas persen di pasar domestik pada bulan Juni (2018). Penurunan permintaan itu membuat kelebihan pasokan makin terasa (JPNN.com, 24 Juli 2018) Dengan demikian, kehadiran PT Istindo dan PT Singah Merah memperlihatkan ekspansi produksi karena produksi semen menjadi surplus sementara permintaan semen malah menurun.
Jika PT Istindo dan PT Singah Merah diizinkan untuk beroperasi dan mendirikan pabrik semen di Desa Satar Punda (yang barang tentu menciptakan surplus), maka langkah yang akan ditempuh pemerintah adalah mendorong peningkatan konsumsi semen melalui beberapa proyek yang sedang berjalan, misalnya pembangunan infrastruktur, properti, dan manufaktur. Pada titik ini, saya sepakat dengan lembaga Sunspirit for Justice and Peace yang mengatakan bahwa pendirian pabrik semen di Desa Satar Punda merupakan bagian dari skema pembangunan megainfrastruktur yang sudah dan akan terjadi di Labuan Bajo sebagai pusat pariwisata super premium Flores.
Celaka Bagi Desa
Sekalipun RUU Cilaka belum disahkan oleh DPR RI, tetapi aromanya sudah tercium di Nusa Tenggara Timur. Penetapan Labuan Bajo sebagai kawasan pariwisata super premium, yang kemudian menjadi pintu masuk bagi upaya perampasan tanah di Desa Wae Sano dan Desa Satar Punda menjelaskan kepada kita bahwa sekalipun RUU Cilaka ini belum disahkan tetapi NTT (secara umum) dan Flores (secara khusus) sudah terkena dampaknya (destruktif). Dampak destruktif yang paling signifikan akan dirasakan oleh desa.
RUU Cilaka (sambila melihat polemik wacana pembangunan pabrik semen di Desa Satar Punda) menggambarkan penetrasi negara ke desa. Desa hanya bisa punya “access” ke sumber daya negara, kalau negara juga dijamin punya “access” ke kehidupan desa. Begitulah melalui program pembangunan desa, negara menuntut monopoli pengabsahan atas lembaga-lembaga dan prosedur yang mempengaruhi kehidupan sosial, politik, dan ekonomi sehari-hari warga desa. Penetrasi itu dilakukan melalui kooptasi terhadap pemerintah desa. Pemerintah desa yang berbeda dengan bentuk birokratik baku yang ditetapkan oleh negara, kehilangan keabsahannya. Bentuk lain kooptasi itu adalah birokratisasi prosedur desa. Saluran yang seharusnya merupakan pembawa suara desa ke negara berubah menjadi saluran komando dari negara terhadap warga desa.
Kepala Desa yang keabsahannya semula tergantung pada kemampuaanya mengelola sumber daya lokal, sekarang semakin tergantung pada sumbe daya dari luar desa. Yaitu, sumber daya yang lebih mudah diperolehnya karena ia merupakan “entry point” dalam hubungan desa-negara. Karena itu tidak heran kalau kepala desa kurang bertanggungjawab kepada warga desa, tetapi lebih tunduk kepada negara. Yaitu, pemilik sumber daya yang sangat besar dan yang menempatkannya pada posisi yang memungkinkannya meraup keuntungan pribadi.
Alih-alih menciptakan keberhasilan pembangunan desa, pemerintah malah melakukan penetrasi yang sangat intens ke desa. Hal ini kemudian membuat kehidupan desa bergantung padanya. Situasi inilah yang semakin mempersulit pertumbuhan demokrasi di desa dan memperparah segregasi politik masyrakat desa dari kehidupan politik bangsanya.
Penetrasi negara-sambil membawa masuk perusahaan-perusahaan untuk mendirikan pabrik semen, resort, dan pembangunan infrastruktur lainnya, di NTT (secara umum) dan Flores (secara khusus) menegaskan bahwa negara tidak mempunyai penghormatan kepada desa. Negara menjadi seperti leviathan yang menjarah dan merampas otonomi desa. Desa yang sebelumnya memiliki otonomi sebagai badan hukum, pemerintahan lokal dan otoritas tradisional dilenyapkan oleh negara, yang tersisa hanya nama, pemukiman dan komunitas lokal (Jerome Belum, 1971). Formasi barunya adalah negara dan warga negara, tidak ada lagi desa sebagai satuan pemerintahan tidak langsung (indirect rule). Diskusrsus dan imajinasi desa (village) berubah menjadi perdesaan (rural) yang kelak melahirkan rural development (Sarah Neal, 2009, Michael Woods, 2011 dalam Sutoro Eko, 2019: viii).
Kekuatan Alternatif
Sementara pendekatan “politik sebagai panglima” dan “ekonomi sebagai panglima” begitu mendominasi arena pembuatan kebijakan pembangunan di Indonesia, Mohtar Maso’oed menawarkan pendekatan lain, yaitu “moral sebagai panglima”. Pendekatan ini mengandalkan pengorganisasian politik berupa gerakan-gerakan sosial yang “issue-oriented” dan yang memiliki aspirasi besar untuk melawan dominasi pendekatan “politik sebagai panglima” dan “ekonomi sebagai panglima”. Berbagai gerakan sosial ini berfungsi memobilisasi kekuatan dari bawah dengan tujuan mengendalikan kondisi-kondisi kehidupan yang fundamental, seperti pemenuhan kebutuhan dasar manusia dan hak-hak azasi lainnya.
Sejalan dengan pemikiran Mohtar Mas’oed, saya mengusulkan emansipasi lokal dalam rangka merebut dan mempertahankan sumber daya dan kewenangan desa. Dalam menggerakan emansipasi lokal, kita mesti membantu pemerintah dan warga desa untuk menemukan kekuatan mereka sendiri. Untuk itu wewenang pembuatan keputusan mengenai pembangunan yang sudah dirampas dan dimonopoli oleh pemerintah supra desa harus dikembalikan kepada pemerintah dan warga desa. Lapisan masyarakat yang dalam retorika para elit penguasa selalu disebut-sebut sebagai pelaku pembangunan yang sejati. Karena itu, mekanisme pembangunan yang diandalkan adalah kekuatan rakyat (people’s power). Dalam menggerakan emansipasi lokal ini, kita perlu mengaktifkan lembaga-lembaga komunitas lokal seperti kelompok pemuda dan pemudi atau komunitas lain yang mempunyai kepedulian terhadap desa.
Penulis adalah anggota Kelompok Studi Tentang Desa, sedang belajar di Yogyakarta