Namanya desa Nampar Sepang. Di situ ada kampung Rawuk, Tompong. Tompong adalah nama tempat yang paling terkenal di desa Nampar Sepang. Tompong terletang di pinggir pantai. Letaknya tidak jauh dari Pota, Kecamatan Sambi Rampas, Manggarai Timur.
Tidak semua orang Manggarai Timur mengenal persis Tompong di desa Nampar Sepang. Apalagi pendatang baru yang ingin jadi pemimpin di Manggarai Timur, pasti dia bingung. Kalau kota-kota kecamatan di Manggarai Timur saja dia tidak tahu apalagi beo (kampung) Rawuk, Tompong. Yah, begitulah manusia. Kadang belek (bernafsu) jadi pemimpin, tapi tidak sadar diri. Tetapi dari cerita Tompong, kita bisa tahu siapa pemimpin yang benar-benar siap.
Tompong dapat ditempuh dengan hanya 15 menit dari Pota. Jalan dari Pota menuju Tompong sudah sangat bagus. Hotmix. Maklum jalan strategis nasional Reo-Dampek-Pota juga sampai di Tompong. Karena jalan strategis nasional, urusannya pasti pemerintah pusat. Dananya berasal dari APBN. Kalau ada jalan dan jembatan yang rusak di sepanjang jalan strategis nasional itu, publik wajib berteriak langsung ke pemerintah pusat.
Bisa melalui pemerintah daerah, sejuah itu sebagai aspirasi, bukan menuntut pemerintah daerah turun tangan. Publik yang cerdas pasti bijak melihat soal dan alur kerja serta tanggung jawab pemerintah.
Persis seperti jalan provinsi, pemerintah provinsi-lah yang berhak dan bertanggung jawab atas aset provinsi itu. Jelas publik tak bisa memaksa, sebab porsi anggaran dan skema prioritas membuat aset-aset provinsi kadang “tampak” terabaikan. Tentu saja, pemerintah tidak tutup mata. Orang Latin bilang, omnia tempora habent. Semua ada waktunya.
Ketika semua ada waktunya, maka pembangunan itu mesti bertahap. Seorang pemikir ekonomi Walt Whitman Rostow pernah mengemukakan liner stage of growth theory. Tahapannya, (1) tahap perekomian tradisional, (2) tahap pra kondisi tinggal landas, (3) tahap tinggal landas, (4) tahap menuju kedewasaan, dan (5) tahap konsumsi massa.
Dengan gradasi tahapan itu, pembangunan akan berjalan berkeadilan seraya tidak terjadi gejolak kehidupan bermasyarakat. Bahwa dalam proses tahapan pembangunan itu segela sesuatu mesti dipertimbangankan dengan matriks ekonomi, sosial, politik dan hukum yang pas. Tampak tahapan dan pertimbangan yang pas, pembangunan akan melaju menuju, meminjam istilah Alvin Toffler, “future shock”. Artinya, masyarakat menuju chaos dan konflik akibat kurang berdaya dan rendah persiapan atas perubahan. Analoginya, orang kampung yang baru nginap di hotel bintang lima akan terkaget-kaget menggunakan fasilitas yang serba canggih dan otomatis.
Kembali ke Tompong, desa Nampar Sepang. Konon, sebelum Kabupaten Manggarai Timur terbentuk variasi cerita “unik” muncul tentang Tompong. Orang Tompong dikenal terisolasi dari perkembangan dunia luar. Akses jalan sangat buruk, susah sumber air bersih dan gelap. Ketika ada seseorang yang melintasi jalan, orang-orang Tompong hanya meloi (intip) dari balik jendela dan pintu. Orang luar Tompong pun tak pernah singgah di Tompong sebab takut akan prasangka dan stigma dasyatnya kekuatan “supranatural” masyarakat Tompong.
Itu dulu. Pasca kabupaten baru Manggarai Timur, masyarakat Tombong perlahan-lahan berubah. Lobi pemerintah Yoga jilid I (Yosep Tote-Agas Andreas) berhasil membuat jalan Reo-Dampek-Pota (53 km) menjadi Jalan Strategis Nasional. Dengan dana APBN, jalan itu menjadi hotmix. Jalur Pota-Waeklambu (40 km) juga menjadi Jalan Strategis Nasional. Jalur utara Flores itu dalam pertimbangan sebagai kawasan strategis pariwisata nasional.
Arus mobilisasi dan komunikasi menjadi lancar dan terbuka. Yang terisolasi menjadi terbuka. Keakraban sosial kian renggang, sebab semua serba lancar. Kendaraaan bermotor dan mobil ngalor-ngidul/wetan-kulon dengan kecepatan tinggi. Tak ada lagi para pejalan kaki yang ruis, raes dan raos. Tetapi itulah perubahan perilaku yang harus diterima.
Itulah dampak perubahan sosial dari kelancaran mobilisasi. Belum terhitung perubahan pertumbuhan ekonomi dan pendapatan per kapita masyarakat. Kelancaran akses membuat velositas atau perputaran uang di masyarakat meningkat. Pertumbuhan ekonomi ada berkisar di putaran itu uang itu. Setidaknya, jalur distribusi dan stabilitas harga bawang, ikan, padi, pisang, jangung dan lain sebagainya, dapat terjaga dan stabil.
Masyarakat desa Nampar Sepang merasakan perubahan itu. Di Tompong perubahan sangat terasa. Program nasional dana desa membantu pembangunan desa. Sumber air bersih sudah dekat. Dari Pota, tiang-tiang listrik siap menuju Nampar Sepang sebagai implementasi program Presiden Jokowi, 100 persen elektifikasi nasional. Indonesia Terang, Manggarai Timur juga pasti terang.
Siapa saja bisa bersilaturahmi ke desa Nampar Sepang yang terkenal dengan destinasi wisata Watu Pajung dan danau Rana Ngando. Warga desa Nampar Sepang sudah terbuka dan sangat ramah. Sikap kemanggaraian mereka membuat setiap orang pasti ingin menetap lama di desa Nampar Sepang.
Mayoritas masyarakat Nampar Sepang beragama Islam. Mereka berasal dari turunan suku Rembong. Kedaluan Rembong merupakan kedaluan terbesar di Manggarai Timur. Orang-orang suku Rembong tersebar di wilayah Sambi Rampas, Elar, Elar Selatan dan (bahkan) di daerah Riung/Riung Barat. Agak mirip bahasa Manggarai umum, orang suku Rembong menggunakan bahasa paeq. Kesenian khasnya terdiri dari ninggo, roka kolong, rentok, dorong, mbata, danding dan betong, serta masih banyak lagi.
Orang-orang desa Nampar Sepang sedang berusaha melestarikan seni dan budaya suku Rembong. Tentu, budaya adalah aset pembangunan masyarakat desa. Dengan budaya, kehidupan masyarakat akan harmonis baik dengan sesama, alam dan pencipta.
Akhirnya, sembari orang Nampar Sepang meramu dengan budayanya, setiap orang bisa datang atau nampang di sepanjang bibir pantai desa. Pantai indah dan tenang. Panasnya juga tak berlebihan. Mereka juga menjaga pantai, sebab dari situlah kehidupan mereka. Untuk hidup yang sejahtera, masyarakatnya sudah berubah dan berubah ke arah yang lebih baik.
Alfred Tuname
Penulis dan Esais