RUTENG, BERITA FLORES – Konsorsium Difabel Manggarai mengedukasi masyarakat 10 desa di Kabupaten Manggarai, Flores-Nusa Tenggara Timur (NTT) mengenai STBM GESI (Sanitasi Total Berbasis Masyarakat yang Berkesetaraan Gender dan Inklusi).
Kegiatan yang bertajuk Monitoring dan Supervisi STBM GESI Tingkat Desa ini digelar mulai akhir April hingga awal Mei 2022 lalu di 10 desa di Kabupaten Manggarai antara lain; Desa Todo, Desa Nao, Desa Dimpong, Desa Bangka Ruang, Desa Wae Mantang, Desa Bere, Desa Wae Renca, Desa Ladur, Desa Lando, dan Kelurahan Pagal.
Ketua Konsorsium Penyandang Disabilitas Kabupaten Manggarai, Sabinus Ngadu mengatakan kegiatan ini merupakan lanjutan dari kegiatan sebelumnya yang digelar di beberapa kelurahan di Kecamatan Langke Rembong.
Pada prinsipnya, pihaknya mengajak masyarakat untuk memahami dan menghormati keberadaan penyandang disabilitas di Kabupaten Manggarai.
Dalam kegiatan tersebut, pihaknya menjelaskan bahwa STBM GESI adalah sanitasi total berbasis masyarakat yang dilakukan dengan cara pemicuan dengan menjamin partisipasi yang setara dan bermakna dari perempuan, penyandang disabilitas, lansia, masyarakat miskin, anak dan masyarakat marginal lainnya.
“Materi yang kita sampaikan ini tentang bagaimana mengenal dan melibatkan penyandang disabilitas dalam setiap kegiatan di lingkungan masyarakat,” ujarnya kepada wartawan di Ruteng Senin, 23 Mei 2022.
Guru SLBN Tenda Ruteng itu mengungkapkan, edukasi mengenai STBM GESI ini bertujuan agar masyarakat bisa memahami kebutuhan dan bisa mengenal karakter dari teman-teman penyandang disabilitas di daerah itu.
“Karena selama ini masyarakat terkadang menganggap remeh kemampuan teman-teman difabel. Bahkan dalam melaksanakan tugas sering kali masyarakat meminta agar difabel tidak mengerjakannya karena dianggap tidak mampu,” ungkap dia.
Padahal kata dia, dalam melaksanakan lima pilar STBM GESI misalnya, masyarakat wajib melibatkan penyandang disabilitas di dalamnya sehingga masyarakat umum memahami apa yang menjadi kebutuhan kaum difabel.
“Contoh dalam mengerjakan pemicuan STBM, teman-teman difabel diminta agar tidak turun ke lokasi. Bahkan difabel diminta untuk menunggu dan hasil pekerjaan akan diberitahu karena mereka dianggap tidak mampu. Padahal harus kami ikut dalam pekerjaan itu, sehingga kami memberitahu apa yang kami butuhkan dalam pembangunan yang inklusif,” jelas dia.
Sabinus mengajak masyarakat Manggarai agar menghormati dan memberi ruang yang seluas-luasnya kepada kaum difabel untuk menentukan masa depan mereka sendiri. Untuk itu, ia berharap cara pandang masyarakat terhadap kaum difabel dapat diubah setelah mendapat materi STBM GESI saat kegiatan di desa.
“Contoh, membuat jamban yang aksesibel, lalu tidak melibatkan difabel. Masalah ini yang sering terjadi. Bila melibatkan difabel, maka fasilitas yang dibangun tersebut bisa menjawab kebutuhan teman-teman difabel,” papar dia.
“Contoh juga dalam membuat tangga, kemiringannya harus sesuai standar yang dibutuhkan difabel, misalnya lebarnya berapa sehingga tidak terkesan asal buat. Tidak bisa pakai kira-kira,” tambah Sabinus.
Ia juga mengajak masyarakat dan pemerintah daerah agar bisa memperhatikan kebutuhan para penyandang disabilitas meskipun tanpa didorong oleh NGO (Non Government Organization)
“Kami mengajak masyarakat untuk melibatkan penyandang disabilitas. Kami juga berharap jangan karena ada konsorsium difabel, Plan Indonesia, dan PKK baru melibatkan difabel dalam kegiatan,” tegas dia.
Kegiatan ini juga melibatkan para kepala desa, camat, PKK Kecamatan, PKK Kabupaten, dan Tim STBM. (RED).