RUTENG, BERITA FLORES – Pemerintah Kabupaten Manggarai, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) telah menetapkan Pilot Project Program Petani Merdeka dengan mendorong petani menggunakan pupuk non subsidi di tengah situasi kelangkaan pupuk bersubsidi.
Peluang penggunaan pupuk non subsidi menjadi salah satu solusi awal yang digagas rezim Hery-Heri di tengah keterbatasan alokasi pupuk bersubsidi, meskipun berisiko membebani petani, terutama pada harga pupuk non subsidi yang lebih mahal. Supaya tidak terbebani dengan harga pupuk non subsidi, para petani ditawarkan untuk mengakses Kredit Usaha Rakyat (KUR).
Hal ini dibahas oleh Bupati Manggarai Herybertus G.L Nabit dan Wakil Bupati Manggarai Heribertus Nabit, dalam Rapat Koordinasi (RAKOR) terkait peluang penggunaan pupuk non subsidi, di Aula Ranaka, Kantor Bupati Manggarai, pada Jumat (4/6/2021).
Untuk diketahui informasi perkiraan harga (toko) pupuk non subsidi di Kabupaten Manggarai tahun 2021 sebagai berikut: Urea 50 Kg harga konsumen Rp.400.000/Sak; NPK Hibaflof 50 Kg harga konsumen Rp.350.000/Sak; NPK Prumavit 25 Kg harga Konsumen Rp.250.000/Sak; SP 36 50 Kg harga konsumen Rp.350.000/Sak. (Info harga pupuk non subsidi: Toko Sentra Tani Manggarai).
Program Petani Merdeka Dikritik
Pendiri Lembaga Pusat Pengkajian Kebijakan Pembangunan Daerah (LPPKPD), Heribertus Erik San mengatakan, Pemerintah Daerah Manggarai perlu terlebih dahulu melakukan studi komprehensif dan kajian yang mendalam sebelum mengimplementasi program tersebut, terutama terkait aspek nasib petani sebagai sasaran program.
Erik menjelaskan, sebagai-bagian dari kontrol publik, wacana Program Petani Merdeka yang diinisiasi oleh Pemda Manggarai ini, mendapatkan beberapa catatan kritis dan dapat menjadi bahan masukan untuk perbaikan program tersebut.
Pertama kata dia, petani akan terbebani dengan cicilan dan bunga kredit KUR pembelian pupuk non subsidi yang mahal. Dalam program Petani Merdeka, petani ditawarkan untuk mengakses Kredit Usaha Rakyat (KUR) guna pembelian pupuk non subsidi.
“Alasan tawaran kredit KUR agar memudahkan petani mendapatkan uang untuk pembelian pupuk non subsidi. Bukannya meringankan petani, tawaran ini akan semakin membebankan dan membuat petani terjerit karena kewajiban membayar cicilan dan bunga kredit KUR,” kritik Erik.
Ia menguraikan, sepanjang musim tanam maupun panen petani akan membayar cicilan kredit maupun bunga kredit KUR pupuk non subsidi tersebut. Persoalannya apabila petani misalnya gagal panen atau hasil panen kurang karena berbagai faktor (alam/cuaca/hama/pupuk), sementara pada saat yang bersamaan mereka dituntut untuk membayar kredit KUR.
“Lalu bagaimana solusi pembayaran atau pelunasan kreditnya (?) “Kerja/usaha petani dapat dikatakan hanya untuk bayar cicilan dan bunga kredit pupuk non subsidi setiap musim tanam dan panen?,” ungkap dia.
Padahal, uang hasil panenan petani seyogianya digunakan untuk membiayai kebutuhan hidup rumah tangga, sembako, pendidikan anak, kesehatan, social kemasyarakatan, dan lainnya.
Kedua, lanjut Erik, perbaiki sistem manajemen pendistribusian dan penggunaan pupuk terlebih dahulu. Ia mengatakan, program pemerintah dalam mendorong penggunakan pupuk non subsidi melalui program Petani Merdeka tidak akan menjawab masalah kelangkaan pupuk yang terjadi. Apabila masalah sistem manajemen pendistribusian dan penggunaan pupuk tidak diselesaikan dengan tuntas.
“Yang menjadi akar persoalan kelangkaan pupuk bersubsidi selama ini, salah satunya sistem manajemen di lapangan yang buruk,” beber dia.
Menurut Erik, mulai dari proses pendataan Rencana Defenitif Kebutuhan Kelompok (RDKK), pendistribusian hingga masalah pengawasan internal dan eksternal:
Rencana Defenitif Kebutuhan Kelompok (RDKK). Dalam pengisian DRKK petani dipandu oleh Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL) setempat.
Akan tetapi dalam pelaksanaannya, masih ditemukan beberapa titik lemah dalam pengisian RDKK, antara lain: (a) keterlambatan dalam mengisi RDKK karena tidak ada petugas Penyuluh Petani Lapangan (PPL) yang mendampingi petani atau tidak ada dana khusus bagi petugas; (b) data RDKK tidak diperbaharuhi setiap musim tanam, masih menggunakan data RDKK tahun sebelumnya.
Padahal kata dia, setiap musim tanam tentu ada lahan garapan tambahan atau dialih-fungsikan, sehingga luas lahan berbeda dan mempengaruhi jumlah kebutuhan pupuk bersubsidi; (c) petani tidak serius mengisi RDKK, karena menurut mereka tanpa mengisi RDKK mereka tetap mendapat jatah pupuk bersubsidi, dan seandainya tidak masuk dalam RDKK mereka tetap bisa membeli pupuk di kios/pengecer resmi; (d) pupuk yang diusulkan dalam RDKK tidak terserap sepenuhnya, hal ini disebabkan jumlah pupuk bersubsidi yang ada di RDKK lebih banyak dibandingkan yang dibutuhkan, ataupun sebaliknya jumlah pupuk bersubsidi kurang, tidak sesuai alokasi permintaan.
“Salah satu solusi mengatasi masalah pendataan RDKK ini adalah melibatkan Badan Pengkajian Teknologi Pertanian Daerah (BALITBANGDA) dalam merumuskan berapa dosis anjuran spesifikasi lokasi dan Komisi Pengawas Pupuk dan Pestisida (KP3) dalam proses pendistribusian dan penggunaan pupuk subsidi,”
Ia menegaskan, perlu ada sinergisitas antara beberapa instansi ini dengan PPL sesuai dengan TUPOKSI (Tugas Pokok Fungsi) dalam pendataan dan pengawalan RDKK serta pendistribusian pupuk bersubsidi.
Perbaiki sistem manajemen pendistribusian dan penggunaan pupuk.
Lebih lanjut kata dia, masalah tepat waktu pendistribusian menjadi salah satu penyebab kelangkaan pupuk, di mana produsen dan distributor serta pengecer tidak mengirimkan pupuk sesuai dengan jadwal yang telah ditetapkan (Baca Permentan No.49 Tahun 2020). Untuk distributor di daerah biasanya alasan keterlambatan karena keterbatasan jumlah kendaraan atau luas wilayah.
Bagi Erik, masalah ini bisa diatasi apabila masing-masing lini melaporkan secara berkala atau setiap bulan secara berjenjang. Selain itu, pihak distributor juga bisa membangun kerja sama dengan penyalur/pengecer (Lini IV) untuk langsung mengambil pupuk bersubsidi di gudang pusat distributor/pelabuhan bongkar muat pupuk bersubsidi. Sehingga pupuk bersubsidi tepat waktu diterima oleh kelompok tani.
Optimalkan Pengawasan Internal dan Eksternal
Erik menuturkan, pengawasan pengadaan, penyaluran dan penggunaan pupuk bersubsidi dilakukan oleh seluruh instansi terkait yang tergabung dalam Kelompok Kerja (Pokja) Pupuk di Pusat maupun melalui Komisi Pengawas Pupuk dan Pestisida (KP3) di Provinsi dan Kabupaten/Kota. Konsep pengawasan disusun secara terpadu dan menyatukan konsep perencanaan serta konsep pengadaan dan distribusinya.
“Pengawasan pupuk bersubsidi dilakukan secara terpadu dan terintegrasi antara unsur petani/kelompok tani, unsur pemerintah dan Lembaga Swadaya Masyarakat/NGO, awak media, dan stakeholder lainnya,”
Masih menurut Erik, pengawasan bisa dioptimalkan apabila ada dana operasional yang mencukupi. Sumber dana ini bisa berasal dari Kementerian Pertanian dan Anggaran Pemerintah Daerah setempat. Agar lebih fokus dalam menjalankan tugas pokok dan fungsi KP3, sebaiknya petugas yang ditempatkan adalah petugas tetap bukan petugas yang merangkap menjadi pegawai di Dinas Pertanian setempat.
Selain itu, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) di tingkat lokal perlu diberdayakan oleh Pemerintah Daerah untuk ambil bagian dalam pengawasan pengadaan, penyaluran dan penggunaan pupuk bersubsidi ini. Bahkan Pemerintah Daerah perlu langkah gebrakan baru untuk membentuk tim pengawas eksternal independen langsung di bawah komando Bupati dan Wakil Bupati. Hal ini bertujuan agar Bupati dan Wakil Bupati bisa langsung mengurai akar persoalan dan eksekusi solusi masalah kelangkaan pupuk bersubsidi di tingkat petani.
Ketiga, Pemda Manggarai perlu membangun komunikasi/lobi ke pihak Produsen Pupuk Bersubsidi atau langsung ke Pemerintah Pusat/Kementerian Pertanian dan anggota legislatif/DPR RI Dapil NTT I untuk menambah kuota pupuk bersubsidi di Kabupaten Manggarai. Dengan didukung oleh partai pemenangan Pemilu yaitu PDIP dan komposisi partai koalisi yang “gemuk” di daerah, tentunya Pemerintah Daerah Manggarai Rezim Hery-Heri punya posisi tawar yang kuat untuk akses jaringan ke Pemerintah Pusat tersebut.
“Diharapkan dengan langkah-langkah tersebut Kabupaten Manggarai akan mendapat jatah alokasi pupuk bersubsidi yang cukup. Sehingga petani tidak mengalami kelangkaan pupuk lagi,” pungkas dia.
Oleh karena itu, tegas dia, sebelum implementasi Program “Petani Merdeka” ini, Pemda Manggarai seharusnya mengurai akar persoalan kelangkaan pupuk bersubsidi dulu. Yang perlu didorong oleh Pemerintah adalah efektivitas penggunaan pupuk bersubsidi. Karena harga pupuk bersubsidi murah dan meringankan beban petani.
“Bukan sebaliknya, Pemda menawarkan kredit KUR kepada petani untuk membeli pupuk non subsidi yang sangat mahal tersebut. Langkah ini akan semakin menambah beban keuangan petani di tengah situasi ancaman gagal panen, kelangkaan pupuk serta situasi pandemi Covid-19 yang tidak tahu sampai kapan berakhir,” tutup Erik. (RED).