Masyarakat Kabupaten Manggarai Timur menolak rencana pembangunan pabrik semen dan penambangan batu gamping. Bila terlaksana, kedua kegiatan itu bisa berdampak serius terhadap kelestarian mata air di ekosistem karst.
JPIC (Justice, Peace, and integration of creation) OFM (Ordo Fratrum Minorum) Indonesia, Alsis Goa mengatakan, rencana pembangunan pabrik semen dan penambangan batu gamping di ekosistem karst di Desa Satar Punda, Kecamatan Lamba Leda, Kabupaten Manggarai Timur bisa mengakibatkan kawasan itu kehilangan sumber mata air.
JPIC-OFM Indonesia adalah lembaga milik Tarekat OFM di Indonesia yang fokus pada sejumlah bidang karya, yakni animasi, advokasi, sosial karitatif dan pastoral ekologi.
Ekosistem karst, yang menjadi lokasi pembangunan pabrik semen adalah tempat penyimpanan dan regulator air untuk seluruh wilayah pantai utara Flores. Bila fungsi karst sebagai regulator air terganggu, sumber-sumber mata air juga akan mengering. Tanpa sumber air yang cukup, kegiatan pertanian akan terdampak dan akibat selanjutnya, ketahanan pangan masyarakat Flores terancam.
Masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan karst umumnya juga sangat bergantung pada sumber mata air.
“Dengan kondisi ini, bersama warga, bersama komunitas-komunitas kami menolak kehadiran perusahaan tambang juga pabrik semen yang akan beroperasi. Karena lebih banyak mudaratnya daripada manfaatnya, lebih banyak kehancuran yang ditimbulkan daripada kebaikan,” tegas Alsis Goa dalam diskusi virtual pada Kamis, 18 Juni pekan lalu yang digelar oleh Jaringan Anti Tambang (Jatam) Indonesia.
Baca: Tolak Tambang Semen Kian Masif, Gubernur NTT: Kami Berhitung Secara Cermat
Penambangan batu gamping oleh PT. Istindo Mitra Manggarai (IMM) direncanakan di kawasan karst seluas 599 hektare di kampung Lengko Lolok. Sedangkan pabrik semen oleh PT. Semen Singa Merah NTT (PT SSM) akan dibangun di kampung Luwuk. Kedua kampung itu berada di desa Satar Punda. Menurut Alsis Goa belum diketahui secara pasti luas areal pembangunan pabrik dengan investasi senilai tujuh triliun rupiah itu.
Umbu Wulang, Direktur WALHI Nusa Tenggara Timur, mengingatkan Manggarai Timur bisa menjadi daerah baru yang terdampak kekeringan pada musim kemarau, jika ekosistem karst rusak akibat pertambangan.
Mengutip data BNPB 2019, kata Umbu, 851 dari 1,969 desa yang mengalami kekeringan atau sekitar 43 persen, ada di NTT. Dia mengkritik rencana pertambangan dan pembangunan pabrik semen tidak memperhatikan risiko krisis air di NTT.
“Kebijakan pertambangan ini lagi-lagi hanya akan memperparah kekeringan di NTT. Khususnya di daerah Manggarai yang selama ini kita tahu menjadi salah satu daerah yang punya hutan, punya daya dukung air yang memadai karena dia ada di kawasan karst,” kata Umbu dalam diskusi virtual yang sama.
Baca: Sambangi Lokasi Tambang, Uskup Ruteng: Waspada Pengaruh Setan yang Merusak Ciptaan Tuhan
Gubernur Nusa Tenggara Timur dikutip dari Media Indonesia (26/4) menjelaskan pembangunan pabrik semen itu untuk memenuhi kebutuhan semen di NTT yang mencapai 1,2 juta ton per tahun.
Pabrik semen Kupang baru bisa memasok 250 ribu ton atau sekitar seperlima dari total kebutuhan. Kekurangan pasokan sebanyak 950 ribu ton masih didatangkan dari Jawa. Jika produksi semen di Manggarai Timur itu melimpah, dapat diekspor ke Timor Leste dan Darwin, Australia.
Ekosistem Karst Tak Tergantikan
Doktor Cahyo Rahmadi, Peneliti Biologi Gua dan Karst dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) kepada VOA (23/6) mengatakan, pelestarian ekosistem karst berhadapan dengan kecenderungan para pemegang kebijakan daerah yang memilih keuntungan ekonomi jangka pendek.
Mereka memilih mengabaikan potensi kerugian di masa depan yang lebih besar akibat kerusakan ekosistem demi kepentingan pembangunan. Padahal, ekosistem karst tidak tergantikan.
“Jadi kalau untuk beberapa pemanfaatan industri pertambangan harus mengedepankan prinsip kehati-hatian itu tadi. Karena apa, sekalinya dia (karst) sudah rusak tidak bisa dikembalikan lagi,” ujar Cahyo. (Voa Indonesia).