Oleh: Dr. Nyoman Rae, S.H.,M. H. C. L. A.
Dalam menghadapi situasi Covid-19, Negara sedang menghadapi dua hal yakni Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dan kebijakan kehidupan baru atau New Normal.
Keduanya sama-sama memiliki risiko dan dilematis, mau tetap mempertahankan PSBB atau New Normal ala negara-negara di Eropa.
Keduanya lebih kepada pertimbangan keadaan baik kesehatan massal, ekonomi, sosial maupun keamanan.
Dua gagasan kebijakan ini menjadi urgensi dan menuntut Negara melakukan kebijakan yang tepat dan terukur dengan kekhasan etika politik.
Etika politik sesungguhnya adalah mengarah hidup pada suasana yang baik, tenang bersama orang lain dan untuk orang lain, dalam rangka memperluas area kebebasan dan membangun institusi dan lembaga-lembaga yang adil (trias politika).
Pengertian ini membantu kita melakukan analisis antara hubungan tindakan individu dengan kolektif dalam kaitan struktur yang ada.
Jika kita menggunakan pemikiran dan perspektif Paul Recouir, dalam etika politik ada terkandung 3 (tiga) tuntutan dalam suasana uregensi: (1). Upaya hidup baik bersama dan untuk orang lain. (2). Upaya memperluas lingkup kebebasan.
(3). Membangun intitusi-institusi yang adil.
Ketiga tuntutan tersebut adalah hubungan korelasi yang saling terkait, yang tidak bisa dipisahkan dan tidak bisa terwujud tanpa menerima pluralistis dan berada dalam wadah lembaga-lembaga atau institusi yang adil.
Hidup baik adalah cita-cita kebebasan yang lahir dari institusi yang adil untuk menghindar warga Negaranya melakukan hal-hal yang dapat merugikan kelompok lainnya.
Kebebasan merupakan syarat fisik, sosial dan politik berperan aktif agar kebebasan dapat diwujudkan secara konkret, atau biasa disebut oleh klayak umum (Democratie Liberties) yang biasa kita temukan dalam kebebasan pers, kebebasan berserikat/berkumpul, kebebasan berpendapat dan kebebasan lainnya.
Sejatinya etika politik sangat erat kaitan dengan perilaku individual sekaligus kolektif (etika sosial) dan dalam etika individual pandangan seseorang dapat langsung diwujudkan dalam sebuah tindakan nyata.
Itu sebabnya politik dapat disebut sebagai seni, sebab ia membutuhkan kemampuan untuk mempengaruhi orang lain dengan pandangan persuasif bukan dengan manipulasi, kebohongan dan kekersan.
Etika politik akan menjalankan perannya untuk melakukan kritis terhadap manipulasi, kebohongan, kekerasan pelanggaran nilai-nilai kebebasan bahkan HAM.
Dalam situasi ini (Covid-19) instusi-institusi dituntut bertindak adil, jauhkan kejahatan-kejahatan individual, kolektif yang akan meninggalkan noda, dosa dan merasa bersalah.
Rakyat tidak akan pernah lupa, sejarah tetap mencatat karena kejahatan suatu yang merugikan yang datang dari luar, institusi-institusi dengan cara magis menimpa dan mencemarkan manusia.
Tuntutan hidup yang baik untuk bersama menempatkan etika di atas dipahami sebagai perwujudan sikap dan perilaku politikus atau warga.
Sebab politikus yang baik adalah politikus yang jujur, baik, dan berintegritas.
Politikus tipe di atas adalah negarawan yang punya keutamaan dan kemandirian moral (Franz M. Suseno).
Dalam sejarah filsafat politik, Sokrates sering dipakai sebagai model yang memiliki kejujuran dan integritas. Politik dipahami sebagai seni yang sopan dan lembut.
Dari apa yang diuraikan di atas, maka segala pembahasan dapat dianalisis dan kesimpulan bermuara kepada politik adalah pertarungan kekuatan.
Filsafat dan etika politik sebagai dunia yang ideal, yang tidak mencerminkan pokitik yang keras itu.
Filsafat politik hanya sebuah angan-angan, sementara praktik politik tetap terus menari-nari dalam sebuah kepentingan.
Penulis adalah Advokat dan Dosen Tetap Universitas Bung Karno dan Universitas Kristen Indonesia.