Oleh: Fersyn Waku
Di tengah pandemic covid-19, mungkin banyak di antara sesama kawan-kawan mahasiswa mengalami titik jenuh dengan praktik Pendidikan via virtual. Tidak hanya karena pengeluaran semakin bertambah untuk membeli kuota, terlebih-lebih adalah proses dialektika tidak berjalan seperti yang diharapkan, yakni saling bertatap muka, bertukar pikiran, bahkan berdebat soal teori di ruang kelas.
Sementara itu, kesadaran manusia tempo ini patut dipertanyakan. Kesadaran manusia dalam merespon maslah ekonomi, sosial, politik serta berbagai macam permasalahan lainnya pada era ini mengalami kemunduran. Hal yang demikian semakin diperparah bukan hanya soal minimnya literasi, tetapi pada substansinya hal tersebut dipicu ketika kita tidak menyadari eksistensi kita sebagai manusia terutama kalangan terdidik.
Paulo Freire dalam bukunya Education: The Practice of Freedom, yang diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia mengatakan, Manusia utuh adalah manusia sebagai subyek. Sebaliknya, manusia yang hanya beradaptasi adalah manusia sebagai obyek. Adaptasi merupakan bentuk pertahanan diri yang paling rapuh. Seseorang menyesuaikan diri karena ia tidak mampu mengubah realitas.
Kita tidak bisa memahami dunia tanpa kita sebagai subyek. Untuk itu, subyek tidak hanya dipahami hanya sebatas diksi, tetapi dunia tidak mempunyai historis tanpa adanya perubahan yang dilakoni oleh subyek (manusia). Paulo Freire melihat, mengkin tragedi terbesar dari manusia modern ialah bahwa mereka dikuasai oleh kekuatan-kekuatan mitos dan dimanipulasi oleh iklan-iklan yang jitu, kampanye ideologis, dan sebagainya. Hal seperti itu katanya, terkait pendidikan yang hanya melakukan pengalihan pengetahuan serta menyebarkannya.
Menurutnya, pendidikan yang bersifat dialog adalah cenderung menggugah kesadaran manusia. Karena itu, dia menolak pendidikan yang melakukan pengalihan pengetahuan dan secara tak sadar dengan cara tersebut justru meninabobokan kemampuan kritis para murid.
Itu tadi sekilas cerita pendidikan dalam kacamata Paulo Freire. Ketika kita sandingkan dengan situasi pendidikan di Indonesia saat ini dan merujuk pada pengertian tadi, mungkin peribahasa yang tepat untuk dipakai ialah “Jauh Panggang Dari Api”. Karena mengubah realitas tak lain adalah didasari oleh pendidikan kritis. Tetapi manusia bisa berfikir kritis dan sigap menanggapi masalah-masalah sekitar apabila ia mendapat asupan pendidikan yang menggugah hatinya untuk bergerak.
Pendidikan di Indonesia saat ini justru sebaliknya dengan secara tidak sengaja menempatkan manusia sebagai obyek. Manusia sebagai obyek ini saya kaitkan dengan melihat situasi pendidikan dalam dunia kampus saat ini.
Yang mana dalam perkuliahan ketika dalam proses interaksi antara pengajar dengan mahasiswa, seringkali pengajar monoton dalam memberikan materi. Hal ini justru menimbulkan kita sebagai penonton yang seolah-olah sedang melihat gocekan dari pemain bola yang sedang tampil di televisi.
Permasalahan seperti ini hampir dialami disetiap kampus. Tentu tidak baik apabila hal demikian tidak ditanggapi secara serius, dan dibiarkan. Kampus hari ini telah dibajak oleh kapitalis yang menjadikan kampus sebagai lahan untuk mencari nafkah, atau sebagai tempat komersialisasi. Masalahnya, hal tersebut tidak berkorelasi secara positif dengan kualitas mahasiswa.
Pendidikan seperti ini secara tidak langsung menjadikan mahasiswa akan terbungkam dengan metode pengajaran yang meninabobokan. Bahkan menciptakan ruang Antidialog. Sangat memprihatinkan dengan kondisi seperti ini. Tridharma Perguruan Tinggi yang merupakan dasar dalam dunia Kampus hanya menjadi slogan semata, karena mahasiswa telah dibuat pasif.
Kebebasan berpendapat dibatasi, berorganisasi juga dibatasi yang sebenarnya wadah yang selalu menumbuhkan kesadaran atau sikap kritis mahasiswa. Tentu ini menjadi peluang masuknya asistensialisme atau istilah yang digunakan di Amerika Latin untuk menunjukan kebijaksanaan-kebijaksanaan membantu secara finansial atau sosial yang sementara memerangi gejala-gejala, tetapi bukan sebab-sebab, dari apa yang dianggap “penyakit” sosial.
Hal tersebut tidak baik karena hanya memerangi gejala, sementara akar persoalan dari masalah tersebut dengan sengajanya rakyat tidak ikut berpartisipasi. Asistensialisme menolak adanya dialog dan memaksa manusia untuk bungkam dan pasif, dan menolak kemungkinan manusia untuk berkembang atau “membuka” kesadaran mereka.
Begitupun dengan pendidikan yang selalu meninabobokan mahasiswa, secara tidak sadar regenerasi bangsa semakin tak tahu akan perannya. Karena sebelumnya mereka hanya menjadi pendengar saja dalam ruang kelas yang antidialog.
Kampus Merdeka Ala Nadiem Makarim
Melansir media Kompas.com Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim meluncurkan kebijakan yang bertajuk kampus merdeka. Kampus merdeka mengusung empat kebijakan di lingkup perguruan tinggi: Pertama, Sistem akreditasi perguruan tinggi. Kedua, Hak belajar tiga semester di luar prodi. Ketiga, Pembukaan prodi baru. Keempat, Kemudahan menjadi Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum (PTN BH). Dari keempat poin tersebut, tak ada menyinggung soal demokrasi. Demokrasi sederhananya adalah dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Sejatinya dalam kampus pun demikian.
Sejalan dengan demokrasi, Paulo Freire menekankan bahwasannya pendidikan kritis terjadi apabila yang menjadi subyek dan sekaligus obyeknya adalah mahasiswa itu sendiri, bukan birokrasi kampus apalagi pemilik kampus tersebut. Dan wacana “Kampus Merdeka” tersebut memberikan wewenang kepada birokrat kampus (subyek) dan mahasiswa tak lebih hanya mengikuti saja (obyek). Hal yang sama juga dalam metode pengajaran yang mestinya dibenahi lagi. Bagaimana sebenarnya metode pengajaran yang interaktif dalam ruang kelas yang seringkali tidak diterapkan dalam ruang kelas.
Mungkin hal ini dianggap sepele, tetapi perlahan membuat manusia akan terlena dengan segala perkembangn dan menjadi generasi nyaris tak punya harapan. Karena selalu dininabobokan dengan pengajaran yang monoton. Dan bahkan masih ada yang takut mengkritik pengajar dengan alasan takut nilainya dikasih bawa standar dan mungkin pengajarnya anti kritik. Seolah-olah sesuatu momok menakutkan bagi mahasiswa.
Padahal kritik sebenarnya perlu diterapkan demi melakukan pembenahan kembali baik dari cara mengajar maupun kualitas dari para pengajar.
Sementara Presiden Joko Widodo, dalam pidatonya di Sentul International Convention Center (SICC), pada (14/072019) salah satu visinya ialah pembangunan Sumberdaya Manusia (SDM) sebagai kunci Indonesia maju di masa depan.
Nihil apa yang dimaksud Presiden Jokowi terjadi, ketika disatu sisi metode pengajaran dalam dunia kampus tidak dilakukan pembenahan. Bagaimana SDM akan dibangun, sementara dalam pengajarannya selalu meninabobokan.
Tak hanya itu, masalah yang seringkali terjadi dalam dunia kampus hari ini adalah banyaknya pihak kampus melakukan drop out (DO) kepada mahasiswa tanpa didasari alasan jelas. Alasan yang seringkali menjadi acuan untuk mahasiswa di DO ialah karena misalnya melakukan aksi demonstrasi. Hal ini seringkali terjadi. Alih-alih mengapresiasi aksi mahasiswa, rezim justru berupaya membungkam aksi dan suara kritisnya.
Padahal sikap kritis yang ada pada mahsiswa sebenarnya disambut dengan baik, tetapi malah dibatasi. Bahkan kerap kali mendapat tindakan represif dari aparat.
Sementara aksi yang dilakukan mahasiswa seringkali ialah merespon masalah-masalah sosial yang kerap kali terjadi. Terus bagamiana maksud dari kampus merdeka tersebut, ketika merdeka dalam berekspresi dibatasi dengan membungkamnya demokrasi dalam kampus. Ketika semuanya dibatasi maka mahasiswa sebagai agen perubahan hanya sebatas jargon untuk dihafal dari generasi ke generasi berikutnya. Dan hal ini pun membuat mahasiswa seperti budak di zaman feodalisme.
Picu Masuknya Paham Intoleran
Ketika mahasiswa sebagai yang mana sering kita gaungkan sebagai agen perubahan tidak mempunyai kesadaran akan masalah-masalah sosail untuk melawan itu semua, maka tak ubahnya kita seperti di zaman feodalisme atau kita sebut sebagai paternalisme. Sementara momok yang paling menakutkan adalah paham-paham ekstrimisme,fundamentalisme agama dan paham intoleran lainnya sudah masuk dalam wilayah kampus.
Misalnya survei yang dilakukan Setara Insitute pada Februari 2019 menemukan setidkanya ada 10 Perguruan Tinggi Negeri (PTN) yang sudah terpapar paham-paham intoleran tersebut. Antara lain: UI, ITB, UGM, UNY, UIN Jakarta dan Bandung, IPB, UNBRAW, UNIRAM, dan UNAIR.
Indoktrinasi anti Pancasila, anti NKRI dan paham intoleran lainnya muncul karena Pendidikan kritis nyaris tak mereka dapatkan. Sehingga mereka telan mentah-mentah dan tidak bisa memfilter segala informasi ataupun kampanye ideologis yang mempropaganda mereka agar mengikuti aliran intoleran tersebut.
Forum-forum diskusi di kampus nyaris tak ada, karena semuanya tidak didukung pihak kampus yang hanya mementingkan urusan komersialisasi. Munculnya kelompok-kelompok eksklusif ini menyebabkan ancaman besar bagi keutuhan Negara. Apalagi tidak ditanggapi serius. Sementara kampus merupakan tempat para calon pemimpin dan pemikir regenerasi.
Ini juga merupakan akibat dari kampus yang selalu tertutup dengan organisasi-organisasi ekstra. Sementara organisasi intra kampus bukan lagi sebagai wadah untuk berdiskusi tentang masalah-masalah sosial, pemahaman tentang Pancasila, sejarah dan lain-lain. Organisasi intra juga tak lain adalah tangan kanan pihak kampus yang berwatak kapitalis.
Maka Pendidikan yang bersifat kritis perlu diterapkan dalam kampus. Karena orang yang kritis didasari dengan pemahaman tentang sejarah, Pancasila, kebangsaan dan ajaran yang bersifat toleran yang bersifat inklusif. Karena itu, pihak kampus harus inklusif terhadap organisasi ekstra yang berpaham kebangsaan.
Karena kampus bersifat eksklusif tidak memberikan mahasiswa untuk bebas dalam berpikir dan selalu meninabobokan mahasiswa. Akibatnya pemikiran mahasiswa pun tertutup. Sehingga muncul peluang akan masuknya paham intoleran.
“Pendidikan harus menjadi arena pembebasan manusia sehingga mengantar orang menemukan dirinya sendiri, untuk kemudian secara kritis menghadapi realitas sekitarnya dengan kritis dan mengubah dunia secara kreatif”, Paulo Freire dalam Buku Pendidikan Kaum Tertindas.
Penulis adalah Mahasiswa di Universitas Tama Jagakarsa, Jakarta.