Oleh: Herry Kabut
Pemerintah Kabupaten Manggarai Timur tampaknya sangat berambisi untuk membangun pabrik semen di Luwuk, Desa Satar Punda, Kecamatan Lamba Leda. Ide tentang pembangunan pabrik semen ini berangkat dari keresahan pemerintah daerah terhadap masalah pengangguran di Kabupaten Manggarai Timur. Pemerintah Kabupaten Manggarai Timur meyakini bahwa dengan menghadirkan pabrik semen, masalah pengangguran dapat teratasi. Sebab kehadiran para investor yang mendirikan perusahaan pabrik semen dapat meningkatkan perekonomian dan menciptakan lapangan kerja warga setempat. Lantas, pertanyaan yang muncul ke permukaan adalah “benarkah pengangguran merupakan persolan pokok di Kabupaten Manggarai Timur?
Lasarus Jehamat, dalam tulisannya di Voxntt.com yang berjudul “Memeriksa Urgensi Pabrik Semen di Manggarai Timur” menunjukkan kepada kita data tentang pengangguran di Manggarai Timur. Data Badan Pusat Statistik (2019) menunjukkan bahwa pada tahun 2018, terdapat sekitar 68% penduduk Kabupaten Manggarai Timur tergolong sebagai angkatan kerja dan proporsi penduduk yang bekerja mencapai 67% dari total penduduk usia kerja. Sementara, angka penggangguran sebesar 1,07% dari total penduduk usia kerja. Dari data yang sama, penduduk miskin di Manggarai Timur sebanyak 74,800 orang atau 26,80%.
Data di atas menggambarkan bahwa tingkat pengangguran di Manggarai Timur sangat rendah, sebaliknya tingkat kemiskinan di sana masih tergolong tinggi. Sepintas, catatan angka pengangguran yang sedemikian kecil itu masih menjadi perhatian serius Pemerintah Daerah Manggarai Timur. Karena alasan itu, pabrik semen sebaiknya diterima dan dibangun di Desa Satar Punda. Mulia nian pemerintah daerah yang ini (Jehamat, dalam Voxntt.com, 28 Februari 2020).
Strategi perampasan sumber daya dan kewenangan desa
Kealpaan pemerintah daerah dalam membuka dan mempelajari data BPS terkait angka pengangguran di Manggarai Timur mengakibatkan mereka tampak berambisi untuk membangun pabrik semen di Desa Satar Punda. Dalam rangka mewujudkan ambisi ini, Pemerintah Daerah Kabupaten Manggarai Timur menghalalkan segala cara. Menurut saya, setidaknya ada dua strategi yang dimainkan oleh Pemerintah Daerah Manggarai Timur dalam melanggengkan pembangunan pabrik semen ini.
Pertama, mematikan partisipasi masyarakat Desa Satar Punda. Dalam rangka mewujudkan pendirian pabrik semen, Bupati Manggarai Timur, Andreas Agas dengan senang hati mengundang perwakilan warga Kampung Lingko Lolok, Desa Satar Punda, untuk menghadiri pertemuan terkait rencana pembangunan pabrik tersebut. Bahkan pertemuan antara Bupati Andreas Agas dan perwakilan warga Kampung Lingko Lolok telah dilakukan sebanyak dua kali.
Dalam pertemuan tersebut, Bupati Andreas Agas mempersilahkan warga Kampung Lingko Lolok untuk memilih dua opsi antara lain: mendukung atau menolak kehadiran pabrik semen. Selama pertemuan itu, Bupati Andreas Agas tidak memaksa warga agar mendukung kehadiran pabrik itu. Namun, ia hanya meminta warga untuk berpendapat tentang kehadiran pabrik semen tersebut. Salah satu permintaan warga adalah menolak relokasi atau pemindahan kampung Lingko Lolok bila kegiatan penambangan dilakukan. Usai menggelar pertemuan tersebut, warga Lingko Lolok kemudian berbalik arah mendukung pabrik semen di kampung mereka. Sebelumnya, warga telah menyatakan sikap penolakan terhadap kehadiran perusahaan bernama PT. Singah Merah itu. Anehnya, pertemuan tersebut dilakukan di Cekalikang yang merupakan kampung asal Bupati Andreas Agas (Beritaflores.com, 1 April 2020).
Terhadap pertemuan ini, saya teringat akan sebuah buku yang ditulis oleh Danil Dakidae yang berjudul “Menerjang Badai Kekuasaan: Soe Hok Gie”. Dalam buku tersebut, Danil Dakidae menulis bahwa “Soe Hok Gie dan kawan-kawannya tidak pernah mau jika diundang oleh Soekarno untuk berdiskusi tentang bangsa karena bagi Soe Hok Gie di sana (istana), kita akan selalu mengatakan “Ya” walau sebenarnya “Tidak”. Itu artinya, persekongkolan terselubung ada di sana”. Dengan menimbang sikap Soe Hok Gie, saya menduga bahwa ada persekongkolan terselubung dalam pertemuan antara Bupati Andreas Agas dan perwakilan warga Lingko Lolok.
Menurut saya, sikap yang ditunjukkan oleh Bupati Andreas Agas menegaskan bahwa sang bupati lupa kalau desa sudah mempunyai payung hukum sendiri dan terpisah dari pengaturan pemerintah daerah yaitu Undang-Undang Desa Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa. Kedudukan desa bukan lagi sebagai organisasi pemerintahan yang berada dalam system pemerintahan kabupaten/kota (local state government), namun sebagai pemerintahan masyarakat, hybrid antara self-governing community dan local self-government.
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa membawa semangat menuju berkembangnya kemandirian desa atau desa mandiri dan memperkuat desa sebagai subyek pembangunan. Dari sisi arena politik, desa menjadi arena bagi warga untuk menyelenggarakan pemerintahan, pembangunan, pemeberdayaan dan kemasyarakatan. Dari sisi kewenangan, desa mempunyai kewenagan asal-usul; desa berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berskala lokal yang ditetapkan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dari sisi posisi pembangunan, desa merupakan subyek pemberi manfaat yang mampu menjalankan emansipasi lokal dalam pelayanan publik dan pengembangan asset lokal.
Dari sisi keuangan, negara melakukan redistribusi anggaran kepada desa yang bersumber dari APBN dan APBD untuk penyelenggaraan kewenangan desa dengan jumlah signifikan yang mendorong desa melakukan pendekatan fasilitasi, emansipasi, konsolidasi (Sutoro Eko, 2014: iv). Oleh karena itu, pemerintah daerah (dalam hal ini Pemerintah Daerah Manggarai Timur) tidak mempunyai hak untuk mengatur apalagi mengintervensi Desa Satar Punda untuk menerima ataupun menolak pendirian perusahaan pabrik semen ini. Sebaliknya, Pemerintah Daerah Manggarai Timur hanya mendukung rencana pembangunan yang terjadi di Desa Satar Punda.
Sikap yang ditunjukkan oleh Bupati Andreas Agas juga sebenarnya merusak demokrasi di Desa Satar Punda. Mengapa demikian? Demokrasi yang dijalankan di desa adalah desa demokrasi komunitarian. Wujud dari demokrasi komunitarian adalah musyawarah mufakat (dalam konteks budaya Manggarai sering disebut Lonto Leok). Dalam konteks pembangunan desa, keputusan menerima atau menolak pabrik semen dapat dibicarakan pada saat musyawarah rencana pembangunan desa. Musyawarah desa adalah musyawarah antara Badan Permusyawaratan Desa, Pemerintah Desa, dan unsur masyarakat yang diselenggarakan oleh Badan Permusyawaratan Desa untuk menyepakati hal yang bersifat strategis. Dengan demikian, Bupati Andreas Agas tidak mempunyai kewenangan untuk mengadakan musyawarah (pertemuan) dalam rangka membahas rencana pembangunan pabrik semen di Desa Satar Punda.
Lagipula, musyawarah desa sejatinya membutuhkan partisipasi dari setiap masyarakat. Bukan seperti yang dilakukan oleh Bupati Andreas Agas yang hanya mengundang tiga (3) orang perwakilan warga Lingko Lolok seperti pertemuan yang digelar pada Minggu, 14 Maret 2020 dan 15 orang perwakilan warga pada pertemuan Minggu, 22 Maret 2020. Pertemuan yang dilakukan antara Bupati Andreas Agas dengan perwakilan warga Kampung Lingko Lolok bukan merupakan perwujudan musyawarah mufakat karena pertemuan tersebut hanya dihadiri oleh segelintir orang. Padahal, kehadiran setiap orang dalam musyawarah ataupun pertemuan sangat dibutuhkan guna mempengaruhi kebijakan apalagi kebijakan tersebut menyangkut kemaslahatan bersama warga Desa Satar Punda. Persis, pada titik inilah Bupati Andreas Agas melakukan kekeliruan (kalau tidak mau dikatakan blunder) dan mematikan partisipasi warga Desa Satar Punda dalam merancang pembangunan desa.
Kedua, membiarkan masyarakat bergantung pada uang kompensasi perusahaan. Dalam memuluskan pembangunan pabrik semen ini, salah satu cara yang dilakukan adalah menjanjikan uang kompensasi untuk warga yang berada di kawasan eksplorasi pabrik semen. Dalam kasus di Desa Satar Punda, warga setempat dijanjikan oleh pihak perusahaan mendapatkan uang kompensasi senilai Rp150 juta untuk setiap kepala keluarga. Sementara uang kompensasi ini akan dibagikan secara bertahap. Bahkan tahap pertama telah dibagikan kepada setiap kepala keluarga sebesar Rp10 juta pada Kamis, 26 Maret 2020 di Reok, Kecamatan Reok, Kabupaten Manggarai. Dana ini juga belum termasuk dalam jual beli tanah dengan pihak perusahaan PT Singah Merah. Uang ini merupakan tanda ikatan antara perusahaan dengan warga Desa Satar Punda.
Seorang warga yang mendukung kehadiran perusahaan pabrik semen mengakui, ada sebanyak 89 Kepala Keluarga di Lingko Lolok telah menerima uang kompensasi sebesar Rp10.000.000 dari total Rp150 juta yang akan diberikan perusahaan. Bila dikalikan maka total uang yang telah diterima warga Lingko Lolok senilai Rp.890.000.000 hampir satu miliar. Dari uang Rp 10.000.000 tersebut ada yang beli televisi (TV), parabola, dan kursi sofa.
Uang tersebut merupakan DP (down payment) dari pihak perusahaan pabrik semen untuk membeli lahan milik warga kampung Lingko Lolok. Meskipun ada warga lain mengatakan, uang tersebut belum termasuk jual beli tanah dengan pihak perusahaan. Pihak perusahaan pabrik semen membutuhkan lahan seluas 505 hektare bahkan jarak ekplorasi tambang dengan kampung Lingko Lolok hanya 100 meter saja. Sehingga potensi kerusakan kampung bersejarah itu sangat besar. Bahkan pihak perusahaan mengklaim akan mempersiapkan lokasi pemukiman baru bagi warga bila terjadi kerusakan lingkungan.
Ada sejumlah kesepakatan telah dibicarakan dengan pihak perusahaan antara lain; tanah warga dalam lokasi pertambangan dibandrol dengan harga Rp.12.000 per meter persegi. Sedangkan satu pohon komoditi seperti jambu mete dibandrol dengan harga sebesar Rp.500.000 per pohon (Beritaflores.com, 1 April 2020). Persis, dalam hal inilah Pemerintah Daerah Manggarai Timur membiarkan masyarakat menjadi bergantung pada uang kompensasi yang dijanjikan perusahaan. Alih-alih masyarakat menjadi mandiri dan sejahtera, yang didapatkan justru ketergantungan yang semakin tinggi terhadap uang kompensasi dari perusahaan.
Menurut saya, performa pelaksanaan pembangunan pabrik semen tersebut cepat atau lambat akan mengimposisi peran pemegang otoritas desa dan partisipasi masyarakat desa Satar Punda. Pembangunan pabrik semen tersebut menyebabkan modal sosial masyarakat tidak terbangun baik. Uang berubah menjadi motivator utama bergairahnya partisipasi (money driven development) dalam menerima kehadiran perusahaan PT Singah Merah. Partisipasi yang tinggi dalam pembangunan pabrik semen tersebut tidak kebutuhan masyarakat Desa Satar Punda, melainkan menjawab kebutuhan perusahaan PT Singah Merah.
Menggerakan Emansipasi Lokal
Sadar atau tidak, kedua strategi yang dimainkan oleh Pemerintah Daerah Manggarai Timur akan bermuara dua hal sekaligus yaitu perampasan sumber daya dan perampasan kewenangan desa. Hal ini dapat dimaklumi karena Pemerintah Daerah Kabupaten Manggarai Timur masih setengah hati dalam memberikan pengakuan dan kewenangan kepada Desa Satar Punda. Oleh karena itu, kita mesti menemukan cara paling efektif agar Pemerintah Daerah Manggarai Timur dapat mengembalikan sumber daya dan kewenangan yang sedang mereka rampas dari Desa Satar Punda.
Menurut saya, cara paling efektif untuk merebut kembali sumber daya dan kewenangan Desa Satar Punda dari Pemerintah Daerah Manggarai Timur adalah dengan menggerakan emansipasi lokal. Dalam menggerakan emansipasi lokal, membantu Pemerintah dan warga Desa Satar Punda menemukan kekuatan mereka sendiri. Untuk itu wewenang pembuatan keputusan mengenai pembangunan yang sudah dirampas dan dimonopoli oleh Pemerintah Daerah Manggarai Timur, harus dikembalikan kepada Pemerintah dan warga Desa Satar Punda. Lapisan masyarakat yang dalam retorika para elit penguasa selalu disebut-sebut sebagai pelaku pembangunan yang sejati. Karena itu, mekanisme pembangunan yang diandalkan adalah kekuatan rakyat (people’s power). Dalam menggerakan emansipasi lokal ini, kita perlu mengaktifkan lembaga-lembaga komunitas lokal seperti kelompok pemuda dan pemudi atau komunitas lain yang mempunyai kepedulian terhadap Desa Satar Punda.
Penulis merupakan anggota Kelompok Studi Tentang Desa, sedang belajar di Yogyakarta.