Oleh:
Soeratman, S.H.
(Advokat/Konsultan Hukum)
Dewasa ini tidak sedikit para pejabat pemerintah harus berurusan dengan lembaga anti rasua (KPK) karena melakukan perbuatan tindak pidana korupsi, hampir isntitusi pemerintah di negera ini telah hilang kesuciannya karena pecah perawannya akibat tersandung kejahatan tindak pidana korupsi. Kepala Desa Misalkan, sebagai Pajabat Pemerintah juga tidak luput dari kejahatan korupsi, ICW mendata 1.053 perkara tindak pidana korupsi dengan 1.162 terdakwa. Perangkat desa, menempati posisi tiga profesi paling banyak melakukan korupsi. Peringkat pertama ditempati oleh pejabat pemerintah provinsi/kota/kabupaten dengan 319 terdakwa atau 27,48%, disusul swasta dengan 242 terdakwa atau 20,84%, dan ketiga perangkat desa dengan 158 terdakwa atau 13,61 %. (detiknews, Minggu 28 April 2019).
Beragam modus dilakukan oleh pejabat pemerintah dalam hal ini Kepala Desa untuk mengambil uang negara demi kepentingan pribadi. Namun tidak semua modus yang dilakukan oleh Kepala Desa digunakan untuk mencuri uang negara, tidak dapat diproses langsung oleh Aparatur Penegak Hukum (APH), misalnya KPK, Kejaksaan dan Kepolisian, karena ada mekanisme-mekanisme tertentu yang harus dilakukan terlebih dahulu sebelum APH masuk menyentuh dan merampas hak dan kemerdekaannya. Lalu modus seperti apakah sehingga Kepala Desa terlebih dahulu harus dilakukan pemeriksaan secara adminitrasi? Di bawah ini akan dijelaskan lebih lanjut.
Undang-undang No 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemrintahan menjelaskan bahwa keputusan dan atau tindakan Badan dan atau Pejabat pemerintahan terhadap warga masyarakat tidak dapat dilakukan dengan sewenang-wenang. Asas-asas umum pemerintahan yang baik merupakan dasar bagi pejabat pemerintah dalam menjalankan tugas dan fungsinya sebagai penyelenggaraan negara seyogianya dapat ditegakan dengan baik demi terwjudnya prinsip good governance.
Selain itu, pejabat pemerintah perlu memperhatikna Asas Legalitas, asas perlindungan hak asasi manusia, dan asas tidak menyalahgunakan kewenangan, asas tidak menyalahgunakan kewenangan sendiri diatur dalam UU No 30 Tahun 2014 yaitu Pasal 10 ayat (1) huruf e. “Asas ini mewajibkan setiap badan dan/atau pejabat pemerintahan untuk tidak menggunakan kewenangannya untuk kepentingan pribadi atau kepentingan yang lain dan tidak sesuai dengan tujuan pemberian kewenangan tersebut, tidak melampaui, tidak menyalahgunakan, dan/atau tidak mencampuradukkan kewenangan.” Dan dipertegas dalam Pasal 17 UU No 30 Tahun 2014, bahwa, badan dan/atau pejabat pemerintahan dilarang menyalahgunakan wewenang, larangan itu meliputi larangan melampaui wewenang, larangan mencampuradukkan wewenang, dan atau larangan bertindak sewenang-wenang.
Badan dan atau pejabat pemerintahan dikategorikan melampaui wewenang apabila keputusan dan/atau tindakan yang dilakukan melampaui masa jabatan atau batas waktu berlakunya wewenang, melampaui batas wilayah berlakunya wewenang; dan/atau bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Badan dan/atau pejabat pemerintahan dikategorikan mencampuradukkan wewenang apabila keputusan dan/atau tindakan yang dilakukan di luar cakupan bidang atau materi wewenang yang diberikan, dan/atau bertentangan dengan tujuan wewenang yang diberikan. Badan dan/atau pejabat pemerintahan dikategorikan bertindak sewenang-wenang apabila keputusan dan/atau tindakan yang dilakukan tanpa dasar kewenangan, dan/atau bertentangan dengan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.
Badan atau pejabat pemerintahan dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya diawasi oleh Aparatur Pengawasan Internal Pemerintah (APIP), maka apabila terdapat penyalahgunaan wewenang dilakukan Badan atau pejabat pemerintahan, maka berdasarkan Pasal 20 UU Nomor 30 tahun 2014 APIP akan melakukan tindakan pertama dengan melakukan penyelidikan guna untuk mengetahui apakah penyalahgunaan yang dilakukan itu tidak terdapat kesalahan, terdapat kesalahan administratif, atau terdapat kesalahan administratif yang menimbulkan kerugian bagi negara.
Dari hasil penyelidikan dilakukan oleh APIP ternyata badan atau pejabat pemerintah terbukti melakukan penyalahgunaan wewenang, sebelum hasil penyelidikan itu berlanjut ke tahap selanjutnya yaitu litigasi dan ditangani oleh Aparatur Penegak Hukum, badan atau pejabat pemerintahan yang merasa dirugikan dari hasil penyelidikan APIP dapat mengajukan permohonan ke Pengadilan Tata Usaha Negara untuk membuktikan ada atau tdiak unsur penyalahgunaan wewenang dalam keputusan dan atau tindakan yang dilakukan. Sebagaiman diatur dalam Pasal 2 ayat (1) Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No 4 tahun 2015 tentang Pedoman Beracara dalam Penilaian Unsur Penyalahagunaan Wewenang. Bahwa PTUN berwenang untuk menerima memerikasa dan memutus permhonan penilaian ada atau tidak ada penyalahgunaan wewenang dalam keputusan atau tindakan pejabat pemerintahan seblum dilakukan proses pidana. Hakim PTUN menjatuhkan Putusan atas permohonan dimaksud, dalam jangka waktu paling lama 21 (dua puluh satu) hari kerja sejak permohonan diajukan.
Bila melihat fenomena penegakan hukum yang diterapkan oleh APH dalam menangani kasus korupsi yang melibatkan pejabat pemerintahan seperti Kepala Desa yang nota bene secara kapasitas dan kapabilitas dalam mengelola keuangan desa yang begitu besar dari kucuran Dana Desa tidak mampu sehingga seringkali melakukan perbuatan melawan hukum seperti melakukan penyelahgunaan wewenang berupa kesalahan administratif.
Akan tetapi di lapangan seringkali terjadi Kepala Desa yang melakukan penyalahgunaan wewenang, bahkan belum tahu apakah penyalahgunaan itu mengandung 3 (tiga) unsur yang termasuk dalam ranah pidana yaitu ancaman, suap, dan tipu muslihat untuk memperoleh keuntungan yang tidak sah, maka atas dugaan penyalahgunaan wewenang tersebut diselesaikan melalui proses pidana. Ditangkap oleh KPK atau Kejaksaan dan ditetapkan sebagai tersangka. Padahal sudah dijelaskan dengan jelas dalam Pasal 20 UU No 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerinatahan, sebelum badan atau pejabat pemerintah yang diduga melakukan penyalahgunaan wewenang, APIP sebagai lembaga pengawasan terlebih dahulu melakukan penyelidikan untuk mengetahui apakah ada unsur kerugian keuangan negara atau tidak.
Apabila ada, maka badan atau pejabat pemerintah bisa melakukan upaya hukum dengan menggunakan haknya dengan mengajukan permohonan ke pengadilan tata usaha negara. Bilamana hakim Tata Usahan Negara yang memeriksa tersebut memutuskan menolak
permohonan pemohon dan menyatakan bahwa badan atau pejabata pemerintah tersebut
melakukan penyalahgunaan wewenang, karena mengandung 3 (tiga) unsur yang termasuk dalam ranah pidana yaitu ancaman, suap, dan tipu muslihat untuk memperoleh keuntungan yang tidak sah, maka atas dugaan penyalahgunaan wewenang tersebut diselesaikan melalui proses pidana baru kemudian KPK atau kejkasaan mengambil alih perkara tersebut dengan melakukan penyidikan lebih lanjut.
Dengan begitu, banyak Kepala Desa yang dirugikan karena tidak memberikan kesempatan untuk menggunakan haknya menyelesaikan secara adminitrasi dengan mengajukan permohonan ke Pengadilan Tata Usaha Negara untuk diperiksa dan memutuskan apakah benar atau tidak Kepala Desa melakukan penyalahgunaan wewenang sehingga menimbulkan kerugian keuangan Negara.
Selama ini KPK, Kejaksaan dan Kepolisian tidak memperhatikan UU No 30 Tahun 2014 dalam penegakan Hukum, dan hanya berpedoman pada UU No 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Selain itu, tidak adanya koordinasi yang baik antara Aparatur Pengawasa Intenal Pemerintah dengan APH dalam menyelsaikan persoalan korupsi yang melibatkan badan atau pejabat pemerintahan, menyebabkan badan atau pejabat pemerintahan yang tidak bersalah disalhkan oleh kekacauan prosedural hukum dan ini jatuhnya adalah kriminalisasi. Dan juga terlau rigit atau kaku cara pemberantasan korupsi yang dialakukan oleh APH sehingga mengandalkan tindakan represfi saja, sedangkan tindakan prventif dan persuasif kurang dijalnkan.
Tentu model penegakan hukum seperti ini tidak boleh dibiarkan begitu saja, harus ada tindakan tegas dari Kepala Pemerintah dalam hal ini Presiden untuk mengambil langkah konkret untuk mengevalusai kembali kinerja dari institusi penegak hukum itu khusus dalam penanganan dan penindakan terhadap kejahatan tindak pidana korupsi, Padahal KPK memiliki supervisi untuk mengatasi secara dini agar kejahatan korupsi tidak terjadi di lingkup pejabat pemerintahan dalam melakukan penyelenggraan pemerintah. Begitupun dengan Kejaksaan, instruksi Jaksa Agung RI Nomor: INS-001/A/JA/10/2015 tentang Pembentukan Tim Pengawal dan Pengaman Pemerintahan dan Pembangunan (TP4) Kejaksaan Republik Indonesia, pada prinsipnya TP4D ini bertujuan untuk Mengawal, mengamankan dan mendukung keberhasilan jalannya pemerintahan dan pembangunan melalui upaya-upaya pencegahan/ preventif dan persuasif baik ditingkat pusat maupun daerah sesuai wilayah hukum penugasan masing-masing. Agar kejahatan korupsi dicegah secara dini masih belum berjalan dengan baik.
Penulis merupakan putra kelahiran Reo, Kabupaten Manggarai, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT)