Beberapa waktu lalu, Di Manggarai Barat Flores, Polisi menyita ribuan liter Sopi karena dianggap menciptakan masyarakat pecandu alkohol yang doyan mabuk dan bikin kekacauan.
Sebaliknya di Kupang, Ibu Kota Provinsi Nusa Tenggara Timur, Gubernur Victor Bungtilu Laiskodat bekerja sama dengan Universitas Nusa Cendana dan PT NAM Kupang meluncurkan Sophia, Sopi Asli.
Sophia merupakan pengelolaan lanjutan dari arak lokal yang dihasilkan masyarakat NTT. “Bahan Sophia berasal dari Insana dari Timor Tengah Utara, Aimere, Alor dan Adonara,” tulis Tempo.co.
Sophia berkadar 40 % alkohol dan disebut Gubernur Laiskodat akan menyaingi Vodka Rusia. Sebotol Sophia dijual dengan harga Rp 400 ribu sampai dengan Rp 1 juta.
Sopia toh sopi itu sendiri. Sopi yang diberi label.
Sopi merupakan arak lokal di Pulau Flores dan Nusa Tenggara Timur umumnya yang disadap dari Pohon Lontar atau Pohon Enau, dimasak kemudian menjadi alkohol cair.
Sejak zaman Belanda, sopi sudah dikenal dengan nama “Zoopje.”
Pertengahan Bulan September 2019, saya memandu perjalanan seorang Pengusaha asal Brussel Belgia bernama Bernad Mpuyard untuk mengunjungi beberapa kampung tradisional di Flores.
Di Aimere, Kabupaten Ngada, kami berjumpa Nasfer, pria paruh baya. Ia lahir dari Bapa yang berasal dari Bajawa dan ibu dari suku Sabu. Usahanya memasak sopi sudah jadi pekerjaan warisan dari kakeknya.
Di pondok Nasfer yang beratap pelepah lontar, kami disuguhkan beberapa botol sopi untuk dicicipi. Dia menawarkan mulai dari yang berkadar alkohol 15 %, 30 %, 50 % sampai 60 %.
Saya mencoba Sopi yang berkadar 60 % menggunakan “cangkir” yang terbuat dari tempurung kelapa.
“Wow, rasa dan aromanya beda. Keras tapi nikmat.”
Sopi berkadar 15 % dijual seharga Rp 30 ribu sebotol ukuran medium, yang 30 % seharga Rp 50 ribu, yang 50-60 % dijual seharga Rp 100 ribu sebotol.
Sopi berkadar 15 % rasanya manis layaknya Wine. Orang-orang sering meraciknya dengan “Pinang Raci” (pemanis dan pemberi warna).
Sementara, yang berkadar 50 sd 60 % lazim disebut bakar menyala (BM), karena memang akan menyala kalau iseng dibakar.
Selain sopi, Nasfer juga menjual Gula Cair, Gula Tepung dan Gula Batu berbahan cairan Nira Lontar.
Sopi Rendaman
Betapa kagetnya Bernad, tamu asal Belgia itu, rupanya Nasfer juga memiliki racikan Sopi disebut “sopi rendaman.”
Rendaman yang lazim seperti paria, gingseng, akar sera, kulit kayu manis itu biasa, tetapi yang tidak lazim yang direndam dalam sopi adalah bayi rusa, kuda laut (sea horse), dsb.
Bernad menolak mencicipi rendaman kuda laut dan embrio rusa, karena baginya itu tak lazim.
“Saya lebih suka yang biasa,” katanya.
Bernad menuturkan, di beberapa tempat di Eropa, ada yang melakukan hal serupa. Kodok jenis tertentu direndam dalam sebotol Alkohol. Tetapi rendaman kuda laut dan bayi rusa sungguh tidak lazim bagi di Eropa.
Di UKM milik Nasfer, proses pembuatan sopi dapat disaksikan langsung para pembeli. Air sadapan lontar yang dikumpulkan dari masyarkat sekitar ditampung kemudian dimasak menggunakan priuk tanah.
Uap cairan lontar yang dimasak dialirkan melalui batang bambu dan dikumpulkan sampai memenuhi jeriken. Uap itulah yang menjadi sopi. Proses ini bisa memakan waktu sehari.
“Kadar alkohol sopi disesuaikan dengan lamanya tingkat pengolahan,” ujar Nasfer.
Nasfer mengatakan, sebelum Sophia diluncurkan pemerintah Nusa Tenggara Timur melakukan sosialisasi bahwa arak lokal akan dilegalkan dan diberi merek dagang.
Namun ia tidak setuju, jika para pengolah sopi hanya menjadi pemasok bahan sopi untuk kemudian dikemas di Kupang. “Nanti namanya bukan lagi Sopi Flores, tapi Sopi Kupang,” katanya.
Nasfer menuturkan, selama ini sopi miliknya dikirim ke Maumere, di sana pengusaha mengemasknya, lalu yang kemudian yang dikenal adalah sopi Maumere. Padahal sumbernya dari Aimere, Kabupaten Ngada.
Saya pun bertanya kepada tamu asal Belgia soal, apa yang dia rasakan sehabis mencoba Sopi Flores?
Katanya, “Sopi Flores beraroma buah. Beda dengan jenis alkohol dari merek-merek terkenal. Dan rasanya tidak kalah nikmat dengan merek-merek terkenal,” ungkap Bernard.
Bertahan Hidup
Dengan berjualan sopi, Nasfer bisa membiaya kehidupan sehari-hari dan membiaya pendidikan anak-anaknya.
Dia berharap, dengan upaya Pemerintah NTT melegalkan sopi, kesejahteraan pengusaha sopi akan membaik.
Ia pun bercita-cita untuk memiliki merek dagang sendiri seperti Sophia di Kupang.
Petugas medis acapkali mewanti-wanti bahwasanya kadar methanol dalam sopi bisa merugikan kesehatan hati, jantung, saraf, ginjal dan macam-macam.
Dan pihak keamanan, mensinyalir bahwa banyak keributan disebabkan karena para pecandu sopi yang mabuk.
Pemerintah juga berargumen, sopi harus dilegalkan, dibikin mahal, dan dijual kepada kalangan khusus untuk mengangkat derajat industri sopi rumahan. Dari alkohol rumahan dan murahan menjadi alkohol berkelas ekspor. Tak tanggung-tanggung, Gubernur NTT ingin mengekspor Sophia ke negeri-negeri jiran.
Bagian dari Adat
Di Kampung Tololela, Desa Nangabhara, Kabupaten Ngada, saya bercakap seorang dengan penikmat sopi bernama Andreas Bhara.
Ia menuturkan, Sopi menjadi bahan yang penting dalam acara adat selain beras, babi, kerbau dan kain adat.
Misalnya dalam acara Ka’ Sa’o (peresmian rumah adat) dan Rheba (Reuni Keluarga Besar) tiap klan akan menyiapkan sopi untuk dibawa ke tempat acara atau pesta.
“Sopi bagi penting tiap kali acara adat,” tuturnya.
Namun bagi Andreas, sopi hanyalah pelengkap perjumpaan. Dan bagi orang Ngada, baik laki-laki dan perempuan, menjadi lazim untuk mencicipi sopi sembari makan.
“Itu biasa di sini,” lanjutnya.
Sopi diminum bukan untuk mabuk, melainkan dinikmati sebagai penyemangat saja.
Saat Kampung Tololela terlelap dan bulan penuh menghampiri lereng Inerie, saya menatap sebotol sopi.
“Ada kehidupan yang dipertahankan dalam sebotol sopi ini, namun jangan kebanyakan karena kalau mabuk, kita lupa bahwa bisa jatuh dan terlelap di tanah.”
Usai renungan singkat yang tak perlu itu, saya mengambil cangkir yang terbuat dari tempurung kelapa, mencicipi pelan-pelan sebotol sopi itu bersama rombongan perjalanan dan Pak Andreas sekeluarga.
Saya berhenti saat bantal memanggil saya untuk tidur. (*)
Penulis: Fian Roger, Pegiat Jurnalisme Warga di Ruteng, Flores.