Oleh: Petrus Selestinus,S.H
Saatnya Pemprov dan Kabupaten Se-NTT Memiliki Perda yang Mangatur Kewenangan Menolak Penempatan Pejabat dari Pusat ke NTT
Kasus “Wisata Halal” Shana Fatina, seharusnya menjadi momentum bagi Pemerintah Provinsi NTT dan Pemerintah Daerah Kabupaten atau Kota seluruh NTT, untuk segera memiliki perangkat hukum berupa Peraturan Daerah (Perda) untuk mengatur mekanisme penerimaan, penempatan dan penolakan pejabat dari Pusat ke Provinsi NTT dan/atau ke Kabupaten/Kota di seluruh NTT. Terutama untuk mengetahui terlebih dahulu rekam jejak pejabat tersebut apakah pejabat yang bersangkutan pernah terpapar Radikalisme,Terorisme dan Intoleransi, apakah pejabat itu memiliki kesusilaan yang baik atau tidak dan apakah pejabat itu pernah terlibat dalam KKN atau tidak ketika yang bersangkutan menjabat di tempat lain sebelum ditempatkan di NTT.
Perda ini sangat urgent bukan saja karena NTT selama ini dijadikan destinasi penempatan pejabat yang sedang tidak disukai di Pusat (tong sampah besar tempat pembuangan pejabat yang berperilaku buruk), akan tetapi lebih dari pada itu Perda dimaksud juga, harus mengatur pula tentang pembentukan Badan Khusus yang bersifat ad hoc dengan wewenang untuk melakukan penelitian rekam-jejak pejabat ybs. dan mekanisme penelusuran rekam jejak pejabat ybs. baik menyangkut mengenai integritas moral dan kejujuran, soal KKN, termasuk apakah terafiliasi atau terinfiltrasi dengan Radikalisme, Terorisme dan Intoleransi atau tidak di lingkungan kerja sebelumnya disertai dengan Hak dan Wewenang Daerah untuk menolak pejabat yang bersangkutan.
Jika dari hasil penelitian rekam-jejak pejabat yang bersangkutan, ternyata ditemukan bukti-bukti bahwa terindikasi tidak memiliki integritas moral dan kejujuran yang baik, pernah terlibat KKN dan terafiliasi atau terpapar Radikalisme, Terorisme dan Intoleransi, maka Gubernur, Bupati atau Walikota dan DPRD berwenang menolak pejabat ybs. atas dasar hasil penelitian rekam-jejak dimana ybs. ternyata terbukti memiliki rekam-jejak dan berperilaku buruk serta berafiliasi atau terpapar Radikalisme, Terorisme dan Intoleransi. Oleh karena itu Perda ini sangat penting karena infiltrasi radikalisme, terorisme dan intoleransi di kalangan ASN dan Pejabat sudah sangat mengkhawatirkan.
Dasar hukum dan dasar pertimbangan perlunya Perda untuk mencekal atau menolak penempatan pejabat dari Pusat ke NTT yaitu UU Tentang Pemerintahan Daerah (Otonomi Daerah) dan perlunya kewaspadaan Pemerintah Daerah akan berkembangnya Radikalisme, Terorisme dan Intolerasi di kalangan Pejabat dan Aparatur Sipil Negara, sehingga memerlukan kehati-hatian dan kewaspadaan semua pihak dalam rangka menjaga keutuhan NKRI, Pancasila, Bhineka Tunggal Ika dan UUD 1945, sebagi pilar-pilar penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Kasus Wisata Halal yang hendak dicoba diterapkan oleh Shana Fatina, seorang Kepala BOP di Labuan Bajo, yang mendapat resistensi sangat luas dari masyarakat NTT dan Pemprov NTT termasuk masyarakat NTT Diaspora, kiranya membuka mata semua pihak untuk aktif menjaga NTT dan daerah manapun di Indonesia sebagai bagian integral dari NKRI agar bebas dari radikalisme, terorisme dan intoleransi yang sangat mengancam Ideologi negara yaitu : Pancasila, Bhineka Tunggal Ika, NKRI dan UUD 1945.
Sikap tolak Gubernur dan Wakil Gubernur NTT terhadap program Wisata Halal di Labuan Bajo adalah bagian dari sikap patriotisme dua orang pemimpin NTT (VIKTOR BUNGTILU LAISKODAT dan JOSEPH NAI SOI) yang wajib kita dukung, sehingga bukan saja program Wisata Halal yang ditolak akan tetapi seorang Shana Fatinanya-pun harus dipulangkan ke Jakarta, demi menjaga kondusifitas keberagaman budaya, etnis dan agama di NTT tidak terkoyak-koyak hanya karena kesalahan seorang Shana Fatina.
Penulis adalah Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) & Pengamat Masalah Sosial Budaya di NTT