Waspadai Penyusupan Kader-Kader yang Terpapar Radikalisme dan Intoleransi melalui Partai Politik Berbasis Nasionalis-Religius menuju Legislatif
JAKARTA–Partai Politik yang menamakan diri sebagai Partai Nasionalis (Nasionalis-Religius), diminta agar benar-benar mengwaspadai dan memantau secara cermat perilaku politik para kader terpilih menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) baik pusat maupun daerah dalam Pemilu 2019.
Mengapa? karena terdapat dugaan adanya penyusupan caleg-caleg yang berafiliasi atau yang terpapar dengan radikalisme dan intoleransi. Sehingga segala aktivitas politik di DPR RI terkait dengan bidang legislasi harus benar-banar dicermati, agar kelak DPR RI tidak lagi melahirkan peraturan perundang-undangan yang memberi ruang bagi berkembangnya radikalisme dan intoleransi.
Saat ini dikonstatir oleh sejumlah pihak bahwa banyak kader partai politik yang terpapar radikalisme dan intoleransi berhasil masuk ke berbagai instansi Pemerintah di ekskeutif dan yudikatif melalui peran sentral kekuasaan legislatif dan partai politik.
Baik partai politik besar maupun partai kecil yang menamakan diri nasionalis dan religius seperti PDIP, GOLKAR, DEMOKRAT, GERINDRA, PKB, NASDEM, HANURA harus mencermati secara ketat perilaku politik kader-kadernya di legislatif, eksekutif serta yudikatif, karena terdapat fakta di mana sejumlah produk legislasi yang dihasilkan oleh DPR dan sejumlah kebijakan pejabat eksekutif, bukan saja telah memberi ruang dan waktu bagi berkembangnya radikalisme dan intoleransi selama kurun waktu 15 (lima belas) tahun terakhir pasca reformasi, akan tetapi juga sejumlah rumusan pasal dari UU tertentu telah mempersulit atau memperlemah posisi negara ketika negara hendak mengeksekusi kebijakannya untuk menindak Ormas-Ormas Radikal dan Intoleransi yang aktivitasnya nyata-nyata bertentangan dengan Pancasila bahkan mau menggantikan Ideologi Pancasila itu sendiri.
RADIKALISME DAN INTOLERANSI MENGUAT
Salah satu sebab menguatnya Radikalisme dan Intoleransi di Indonesia, adalah karena terlalu longgarnya UU yang mengatur tentang Keormasan dan Kejahatan Sara dalam UU Pilkada dan Pemilu tidak dirumuskan secara komprehensif dan sanksi pidananya-pun sangat rendah. Salah satu contohnya tentang “kejahatan sara” yang meskipun sudah diatur di dalam UU No. 40 Tahun 2008, Tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis dengan ancaman pidana 5 (lima) tahun penjara bahkan 6 (enam) tahun kalau menggunakan Informasi Elektronik, namun rumusan pasal kejahatan sara itu diatur lagi di dalam UU Pemilu atau Pilkada, yang ancaman pidananya hanya 3 (tiga) bulan s/d. 18 (delapan belas) bulan penjara. Selain itu Penegakan Hukum terhadap aktivitas Ormas Radikal dan Intoleran yang mengandung kejahatan sara selama proses Pilkada atau Pemilu sangat minim dilakukan penindakan bahkan dibiarkan berlalu.
Partai Nasionalis-Religius diduga telah disusupi kader-kader yang terpapar atau berorientasi atau bersimpati kepada perjuangan Ormas Radikal dan Intoleransi, karena rekrutmen caleg-caleg di Partai Politik sangat longgar, sehingga memudahkan kader-kader yang sudah terpapar Radikalisme dan Intoleransi menjadi caleg dan terpilih menjadi Anggota DPR RI. Dan di DPR RI inilah mereka diduga kuat secara diam-diam membangun sinergi (kristalisasi) untuk memperkuat posisi perjuangannya memperkuat Radikalisme dan Intoleransi, antara lain melalui penyusunan RUU dan penempatan kader-kadernya di hampir semua institusi negara. Inilah yang membuat posisi Ormas Radikalisme dan Intolerasi semakin kuat dan pada saat yang sama mereka berhasil memperlemah kekuasaan negara melalui pembentukan atau perubahan terhadap UU tertentu.
Akibatnya ketika negara hendak menindak secara cepat aktivitas kelompok Radikal dan Intoleran yang mengancam kedaulatan negara, Ideologi negara Pancasila dan NKRI, maka negara diperhadapkan dengan prosedure yang bertele-tele dan berbelit-belit yang mengarah kepada pelemahan terhadap kekuasaan negara. Salah satu contoh paling aktual adalah mencabut UU No. 8 Tahun 1985, Tentang Ormas dan membuat baru UU No. 17 Tahun 2013 Tentang Ormas, dimana terdapat sejumlah pasal yang mempersulit kekuasaan negara ketika negara hendak menindak Ormas-Ormas Radikal dan Intoleran, yang dalam melakukan aktivitas kemasyarakatannya bertentangan dengan Pancasila atau ingin menggantikan Ideologi Pancasila dengan Ideologi lain (Khilafah).
PRODUK LEGISLASI YANG TERPAPAR RADIKALISME DAN INTOLERAN.
Sejumlah produk legislasi seperti UU Ormas No.17 Tahun 2013, UU Pilkada, UU Pemilu dll. telah memberi ruang yang sangat leluasa bagi berkembangnya Radikalisme dan Intoleransi di berbagai Intitusi Negara, ditenggarai telah terpapar Radikalisme dan Intoleransi. Oleh karena itu kebijakan Presiden Jokowi menindak Ormas-Ormas Radikal secara cepat dengan terlebih dahulu mengeluarkan PERPU No. 2 Tahun 2017, Tentang Perubahan Atas UU No. 17 Tahun 2013, Tentang Ormas dengan memangkas sejumlah pasal dari UU No. 17 Tahun 2013, Tentang Ormas yang secara kasat mata memberi peluang sangat besar bagi berkembangnya Ormas Radikal, dan Intoleran, sekaligus mempersulit kekuasaan eksekutif negara ketika negara hendak mengeksekusi kebijakannya yaitu menindak Ormas-Ormas Radikal dan Intoleransi yang mengancam kedaulatan negara dan NKRI.
Ini adalah kegagalan pada bagian hulunya yaitu Partai Partai Politik yang menamakan diri sebagai Partai Nasionalis-Religius, yang selama ini bersikap tidak tegas bahkan sangat toleran dan permisif terhadap kelompok Radikal dan Intoleran dalam aktivitas keormasannya dengan belindung di balik alasan HAM. Lemahnya Partai Nasionalis- Religius terhadap kelompok Radikal dan Intoleran, terbukti dari sikap diamnya pimpinan Partai Politik ketika ada warga negara dari kelompok minoritas menghadapi persekusi, intimidasi atau perilaku sara, maka Partai Politik yang mengaku Nasionalis-Religius tak terdengar suaranya untuk membela warga negaranya bahkan kader Partainya yang menjadi korban Kejahatan Sara, Persekusi dll., sekalipun Partai Politik yang berasaskan Nasionalis-Religius tetap diam tak berdaya.
Kelompok Radikal dan Intoleran sering melakukan aksi-aksi dengan kekuatan massa besar ketika suatu proses hukum sedang terjadi. Ini memperlihatan dengan jelas betapa aparat Penegak Hukum sangat hati-hati bahkan bersikap lunak seakan-akan membiarkan aktivitas kelompok Radikal dan Intoleran melakukan tekanan tidak saja kepada Polisi, Jaksa dan Hakim akan tetapi juga Saksi dan Para Pihak yang sedang terlibat dalam proses hukum yang sedang berjalan. Sejumlah contoh kasus bisa diangkat seperti dalam kasus Penistaan Agama yang dituduhkan kepada Ahok, kasus Puisi Ibu Indonesia yang dituduhkan kepada Ibu Sukmawati Soekarnoputri, kasus penghinaan terhadap Pancasila yang dituduhkan kepada Rizieq Shihab, dan kasus Ibu Meiliana di Tanjung Balai Medan yang dipersekusi akibat meminta volume pengeras suara azan di Mesjid dekat rumah tinggalnya dikecilkan, dll.
PARTAI PSI PENDATANG BARU YANG PERSISTENCE MEMBAWA PERUBAHAN
Partai Politik Nasionalis-Religius tetap bergeming, tidak ada upaya secara persistence untuk membela kelompok masyarakat minoritas yang mengalami kejahatan persekusi, diskriminasi atas dasar sara dan kejahatan lainnya, namun mPartai Politik yang menamakan diri Nasionalis-Religius seperti PDIP, GOLKAR, DEMOKRAT, GERINDRA, PKB, NASDEM dan Partai HANURA, nyaris tak terdengar suaranya, bahkan tidak ada satupun Anggota DPR RI dari Partai Nasionalis-Religius itu bersuara lantang untuk membela kelompok minoritas yang sedang dipersekusi, diintimidasi bahkan dikriminalisasi dengan menggunakan tekanan kekuatan massa besar dari kelompok Radikal dan Intoleran selama ini. Kemunculan Partai PSI membawa angin segar perubahan yang ditunggu publik.
Publik melihat sikap kritis, konsisten dan persistence dari Partai Politik PSI dan Ketua Umumnya Grace Natalie sebagai Partai Politik berbasis nasionalis, yang sedikit banyak telah mengobati kekecewaan publik atas perilaku elit politik dari Partai Politik yang menamakan diri Partai Nasionalis-Religius (PDIP, GOLKAR, DEMOKRAT, NASDEM, PKB, HANURA dll. yang masih terus tak acuh dan tetap bergeming terhadap persoalan sosial yang merugikan kebhinekaan kita khususnya kaum minoritas. Oleh karena itu kita patut mengapresiasi PSI, karena meskipun sebagai pendatang baru, PSI dan Grace Natalie telah memperlihatkan garis perjuangan politiknya yang berbeda, tegas, konsisten dan persistence, mau melawan aktivitas kelompok Radikal, Intoleran, dan perilaku diskriminatif atas nama Sara dll.
Penulis: Petrus Selestinus, Koordinator TPDI & Ketua Tim TASK FORCE Forum Advokat Pengawal Pancasila (FAPP)