Oleh; Rikardus Yonogas Goa
(Researcher Change Operator Manggarai, NTT)
Beberapa hari ini publik diramaikan dengan berita sultan Brunei menerapkan hukum rajam bagi para LGBT. Serentak kebijakan sang sultan pun diprotes di mana – mana. Penyanyi Jhon Elton misalnya, menyerukan untuk memboikot semua Hotel-hotel milik sang sultan. Efek yang diterima adalah sepinya pengunjung hotel milik sang sultan seperti yang ditulis dalam beberapa media daring yang dengan stabil menyoroti hal ini. Tidak hanya itu, bahkan PBB (Perserikatan Bangsa Bangsa) pun mengecam keras tindakan pemerintah Brunei ini.
Tulisan ini hendak menyoroti bagaimana seharusnya kita semua bersikap dalam melihat kasus ini sebagai bagian dari menentukan nasib (self defermination) dari sebuah bangsa tanpa mengabaikan masukan ataupun kritikan khalayak ramai yang sedang mengusahakan jalan terbaik yang perlu ditempuh oleh pemerintahan Brunei.
Sebuah kritikan akan berujung positif jika itu tidak mengabaikan maksud dan tujuan dari sebuah persoalan yang sebenarnya terjadi. Ditinjau dari aspek historis, negara Brunei sendiri adalah negara yang menganut sistem pemerintahan Monarki Absolut. Secara teoritis, pemerintahan Monarki Absolut adalah bentuk pemerintahan di mana seorang pemimpin atau raja memegang kekuasaan penuh untuk mengatur negaranya. Bentuk pemerintahan ini cocok diterapkan untuk negara kecil karena jumlah penduduknya yang sedikit. Pemimpin yang seorang sultan akan sangat memperhatikan kemajuan negaranya. Dengan demikian maju mundurnya negara itu tergantung pada sultan itu sendiri. Namun di Brunei Darussalam ini, meski sultan memiliki kekuasaan mutlak, nyatanya tetap berlaku sistem demokrasi dimana rakyat masih diakui pndapatnya. Sehingga dapat dikatakan bahwa negara Brunei Darussalam tidak hanya bersifat monarki absolut namun juga demokrasi.
Dalam konteks putusan pemerintahan Brunei menerapkan putusan memberikan Hukunan rajam bagi penganut LGBT menurut saya adalah sah-sah saja. Artinya, putusan yang diambil sudah melalui kesepakatan bersama warga masyarakat Brunei Sendiri. Sehingga efek yang muncul dari luar negara Brunei hemat saya adalah pekikan iri hati yang tidak berdasar dan tidak menghormati putusan sebuah negara yang memang diakui keberadaanya di dunia sebagai sebuah pemerintahan yang berhak mengatur dan menentukan nasibnya sendiri.
Menghormati Brunei
Perlu kita ketahui bersama bahwa di dunia ini Brunei bukan merupakan negara yang satu-satunya menerapkan hukuman mati bagi para LGBT. Lembaga Internasional Lesbian, Gay, Bisexual, Trans, and intesex Association (ILGA) bahkan melaporkan tahunan khusus yang mendata seberapa ‘ramah’ hukum negara-negara di dunia dalam menanggapi isu maupun kelompok LGBT.
Menurut ILGA ada enam negara yang sama seperti Brunei menerapkan hukuman mati bagi para penganut LGBT di dunia. Diantaranya adalah Arab Saudi, Yaman, Nigeria, Sudan dan Somalia. Menjadi pertanyaan adalah mengapa kritikan terhadap hukuman mati ini hanya terjadi ketika Brunei menerapkan hukuman serupa keenam negara?
Jhon Elton, George Clooney yang merupakan seorang musisi tidak menyadari persoalan substantif kenapa Brunei menerapkan hukuman mati bagi LGBT. Begitu pun kritikan PBB yang bagi saya adalah kontradiktif dengan pernyataan bahwa persoalan diatas merupakan pelanggaran HAM. Tidak menafikan bahwa hal ini merupakan sebuah pelanggaran akan tetapi Deklarasi Universal HAM yang diumumkan dan diterima dari PBB tertanggal 10 Desember 1948 melalui Resolusi 217 A (III) mengatakan secara tegas bahwa hak dan kebebasan individu dalam setiap pelaksanaanya harus tunduk dan patuh kepada pembatasan yang ditetapkan oleh UU dan Hukum Positif sebuah negara.
Oleh karena itu dalam kasus diatas perlu kita kedepankan sikap menghormati putusan atau aturan berlaku yang diterapkan dalam sebuah negara yang berdaulat. Statement yang dibangun adalah mendudukan posisi korban dan negara adalah dua objek yang tidak dapat dipisahkan. Sebab putusan yang berlaku adalah mengatur kemaslahatan hidup orang banyak dalam satu negara. Mempertimbangkan efek dan memunculkan koridor pesan substantif sangat diharapkan pemerintah Brunei adalah mengusulkan jalan tengah tentang solusi terbaik seperti apa yang perlu dihadirkan dalam menengahi korban LGBT dan aturan yang perlu untuk diterapkan.
Mari Bersikap
Seperti yang sudah disinggung sebelumnya bahwa tulisan ini tidak sedang mendukung pemerintah Brunei atau meminggirkan nasib para LGBT. Namun, yang ditekankan disini pertama, sebuah negara memiliki hak menentukan nasibnya sendiri (Self determination), Integritas teritorial (Territorial Integrity), dan kemerdekan politik (Political Independece). Artinya bahwa keputusan sebuah negara harus kita hormati, tanpa perlu menyudutkan persoalan pribadi pemimpin yang berakibat pada munculnya Bullying tanpa memunculkan substansi konkrit hal apa yang perlu ditawarkan.
Terlepas dari itu semua, LGBT bukanlah persoalan HAM yang memandang bahwa mencintai sesama jenis adalah hak masing-masing individu. Cinta bukanlah alat pembenaran yang kemudian menggugurkan peraturan sebuah negara. Pernikahan sesama jenis adalah contoh dari kacaunya pembenaran cinta. LGBT bisa disembuhkan dengan membantu mengubah psikologi penderita sesuai dengan tubuhnya, bukan mengubah tubuh sesuai dengan psikologinya. Sam Brodie yang pernah melakukan transgender adalah contoh nyata bahwa penyakit ini bisa disembuhkan. Sesat pikir tentang LGBT harus segera diluruskan, sebelum fenomena ini terlampau menjalar. Bukankah begitu pemirsa!